Bagian 16
Bussairi D. Nyak Diwa
Selama perjalanan menuju Banda Aceh, sungguh sangat melelahkan. Selain kondisi jalan yang rusak parah, cuaca juga tidak bersahabat. Hujan turun lebat saat kami mulai meninggalkan Kota Blang Pidie. Kondisi ini membuat jalan berlumpur dan licin. Untung mobil yang kami tumpangi adalah mobil jenis jeep yang memiliki gerdang dua, sehingga jika dengan gerdang satu mobil tidak bergerak, maka dengan gerdang dua keadaan ini dapat diatasi.
Empat hari kemudian, setelah sehari semalam kami melewati Kota Meulaboh, sampailah kami pada suatu tempat di mana banyak mobil dan bus berjajar di sepanjang jalan. Semua mobil dan bus itu tidak bergerak, semua menunggu dalam antrean panjang. Di kiri-kanan jalan hanya terdapat pohon-pohon besar dan semak belukar. Tidak ada tanda-tanda kehidupan sebagai tempat hunian manusia atau sebagai perkampungan penduduk, karena tidak ada rumah di sepanjang jalan itu. Dari orang-orang yang duduk di pinggir-pinggir jalan aku memperoleh informasi bahwa di depan sana ada longsoran sehingga kendaraan tidak bisa lewat. Orang-orang sedang berusaha mendorong kendaraan satu persatu agar dapat melewati longsoran itu. Dari informasi mereka saya juga tahu bahwa kami berada di suatu kawasan bukit berlumpur yang sedang longsor. Kurang lebih satu kilometer ke depan terdapat sebuah kampung yang bernama Lhokbuya. Kelak, puluhan tahun kemudian barulah saya tahu bahwa Lhokbuya merupakan nama sebuah kampung di mana seorang penyair yang bergelar “Presiden Rex” berasal. Ya, tempat itu ternyata adalah kampung tempat lahirnya almarhum Hasbi Burman, sang penyair otodidak yang istiqamah menulis puisi hingga akhir hayatnya.
Kurang lebih empat jam, kami baru terbebas dari longsoran itu. Berkat kerjasama awak mobil dan bus dengan para penumpang akhirnya satu persatu mobil dan bus dapat melewati daerah yang rawan itu. Beberapa jam kemudian kami mulai memasuki jalan di pesisir pantai. Perjalanan kembali lancar karena keadaan jalan yang berpasir. Ternyata jalan berpasir dimusim hujan sangat mudah dilalui karena keadaan jalan yang padat.
Sebelum sampai di Gunung Geureutee, gunung yang melegenda karena pemandangan baharinya yang indah luar biasa itu, kami masih harus mengharungi sebuah rakit lagi. Sungai yang lumayan besar dan berada tak jauh dari pinggir pantai itu bernama Lambeuso. Ya, rakit Lambeuso. Di sini, di pinggir-pinggir jalan banyak dijual jeruk bali, pisang salee, dan buah rumbia yang telah diasinkan. Jeruk bali (Boh Giri) Lambeuso memang sangat terkenal saat itu. Selain isinya berwarna merah dan sangat manis, buahnya juga sangat besar dan harganya murah. Maklum, buah hasil perkebunan penduduk lokal itu hanya dikonsumsi oleh orang-orang sekitar atau para penumpang mobil atau bus-bus yang lewat. Sementara untuk dijual ke luar daerah atau ke kota-kota masih terkendala oleh sarana dan prasarana transportasi. Tidak seperti sekarang, semuanya sudah lancar. Boh giri, pisang salee, dan buah rumbia merupakan oleh-oleh yang menjadi primadona dari pantai barat-selatan kala itu. Belum lengkap rasanya jika ke Banda Aceh atau sebaliknya tidak membeli oleh-oleh pisang salee, buah rumbia, atau jeruk bali.
Setelah melewati Rakit Lambeuso, beberapa jam kemudian kami sampai di Kota Lamno. Karena hari sudah mulai senja, kami singgah beberapa saat di sini untuk melaksanakan shalat magrib, makan malam, dan melepas lelah. Setelah melaksanakan shalat magrib di Mesjid di tengah-tengah Kota Lamno, kami memasuki sebuah warung untuk makan malam. Di warung ini aku terheran-heran melihat beberapa (orang) gadis yang menjadi pelayan warung. Terus terang aku terheran-heran, karena sebagai orang kampung yang tinggal di pelosok sana aku belum pernah melihat sosok gadis yang berambut pirang, berkulit putih, dan berhidung mancung seperti palayan di warung itu. Mereka berbicara dengan bahasa Aceh yang sangat lancar. Ukuran tubuh mereka juga di atas ukuran rata-rata tubuh gadis yang kukenal. Saat menjadi mahasiswa beberapa tahun kemudian aku baru tahu, ternyata di Lamno ada orang etnis portugis yang merantau dan menetap di sana saat Indonesia dijajah dulu. Hingga kini mereka sudah membaur dan beranak–pinak di sana.
Tengah malam menjelang pagi di bulan Juli tahun 1983 itu aku mulai menjejakkan kaki di Kutaraja dengan perasaan yang sulit kulukiskan. Pesaraan sedih, senang, waswas, gamang, dan bahagia bergejolak di jiwaku yang mulai dewasa.
(Bersambung)
BIODATA PENULIS
Drs. Bussairi D. Nyak Diwa atau dikenal dengan nama penaBussairi Ende, lahir di Bakongan pada 10 Juli 1965. Menyelesaikan sekolah tingkat SD dan SMP di kampung halaman Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan. Kemudian tahun 1983 hijrah ke Banda Aceh melanjutkan ke SMA hingga menyelesaikan S-1 di PBSI FKIP Unsyiah, 1991.
Menulis puisi dan Cerpen sejak duduk di bangku SMA dan terus berkembang saat berstatus mahasiswa di Kampus Unsyiah. Bersama kawan-kawan mahasiswa pernah mendirikan Surat Kabar Mahasiswa Unsyiah Monumen pada tahun 1989 dan Majalah Kalam FKIP Unsyiah tahun 1990. Pernah memimpin Teater Gemasastrin dan menjadi Ketua Umum Gemasastrin (Gelanggang Mahasiswa Sastra Indonesia) FKIP Unsyiah Periode 1988 – 1992. Hingga saat ini baru menghasilkan dua Kumpulan Puisi Tunggal, empat Kumpulan Puisi Bersama, dan satu Kumpulan Cerpen Tunggal.
Pernah memenangi beberapa Lomba Menulis, diantaranya Finalis Lomba Menulis Cerita Pendek (LMCP) Depdiknas tahun 2009, Juara III Lomba Menulis Buku Pengayaan Pusbuk Depdiknas, tahun 2010, mendapat penghargaan dalam Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) Depdiknas, tahun 2011, dan lain-lain.
Selama menjadi guru pernah meraih beberapa penghargaan dan prestasi, diantaranya Penghargaan Sebagai Guru Pelopor IPTEK dari LIPI tahun 2007, Penghargaan Guru Berprestasi Tingkat Nasional dari Bupati Aceh Selatan tahun 2011, Juara II Guru Berprestasi Tingkat Kabupaten Aceh Selatan tahun 2010, Juara Harapan II Guru Mata Pelajaran Berprestasi Tingkat Provinsi Aceh tahun 2016. Saat ini menjadi Koordinator Daerah IV Ikatan Guru Indonesia (IGI) Wilayah Provinsi Aceh dan menjadi Kepala Sekolah di salah satu SMP di Kabupaten Aceh Selatan.