Oleh Tabrani Yunis
Seorang dosen yang sedang membimbing mahasiswanya menyelesaikan tugas akhir dari proses kuliah atau belajar sebuah perguruan tinggi terkesima membaca paragraf -paragraf awal dari skripsi yang “ditulis” oleh mahasiswanya. Tulisan itu ditulis dengan menggunakan bahasa yang sangat bagus, banyak terminologi atau diksi yang sangat serba tif, ya kata-kata serapan dari bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Pokoknya keren dech. Sang dosen pun memuji hasıl kerja keras sang mahasiswa sambil terus membaca.
Lalu, sang dosen sambil senyum, bertanya. İni kamu tulis sendiri? Ya, jawab sang mahasiswa. Saya tulis sendiri pak. Baik, ujar sang dosen. Apa yang kamu maksudkan dengan kalimat ini? Sebuah kalimat yang indah sekali di paragraf pertama ini. Tolong kamu jelaskan. Sang mahasiswa mulai terbata-bata. Tidak bisa menjalankan dengan baik, apa yang ia tulis di paragraf pertama itu. Lalu, sang dosen, bertanya lagi, ini kalimat yang kamu buat sendiri?
Hmm, tidak pak. Itu saya copy dari Google. Lalu, mengapa kamu tidak beri tanda bahwa itu adalah kalimat kutipam? Sang dosen pun menjelaskan kalau mengambil atau mengutip pendapat atau kalimat orang lain, sebutkanlah nama penulisnya. Kalau tidak, itu namanya plagiat. Kalau begitu, mana yang asli keluar dari pikiranmu?
Sang mahasiswa terdiam lagi, tidak bisa menjelaskan apa yang ia tulis. Mungkin karena kalimat-kalimat indah itu adalah kalimat indah yang dicopy paste dari internet juga. Namun, sang dosen yang memang rajin dan banyak membaca, bisa mengidentifikasi apakah itu hasıl pikiran mahasiswa sendiri atau kalimat – kalimat yangı dikutip sana – sini di Google. Bahkan saat ini, hadirnya Artificial Intelligence (AI) praktik plagiarisme semakin mudah dilakukan oleh siapa saja.
Seirama dengan cerita di atas, penulis sendiri juga beberapa kali menemukan hal yang sama, bukan sebagai pembimbing skripsi, tapi ketika memberikan tugas menulis kepada mahasiswa kala mengajarkan mata kuliah Entrepreneurship.
Para mahasiswa diberikan tugas menulis sekitar entrepreneurship, baik pengalaman maupun essay yang berkaitan dengan kewirasusahaan itu. Penulis juga menemukan hal yang sama. Ada mahasiswa yang menulis dengan cukup bagus, tapi ketika kita teliti dan tanyakan, mana yang ide penulisnya dalam tulisan tersebut, dan mendapat jawaban semua ya ide penulisnya, namun ketika diminta menjelaskan, mereka kesulitan, karena tulisan itu disusun dengan cara comot -comot dari tulisan orang lain. Nah, kalau begitu adanya, bukan kah cara ini merupakan cara-cara yang dilakukan oleh para plagiator?
Untuk menjawab pertanyaan itu, selayaknya kita mencari jawabannya, dan mencari rujukan atau referensi. Oleh sebab itu alangkah baik bila kita merujuk kepada makna yang ada di KBBI. Ini perlu ağar kita bisa mengawali perbincangan dengan persepsi yang sama. Untuk itu sebaiknya diawali dengan pemahaman akan makna darı kata plagiat itu. Merujuk pada KBBI, plagiat/pla·gi·at/ n dimaknai dengan pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan.
Nah, bila makna di KBBI tersebut kita cermati, maka apa yang terjadi dalam kasus di awal tulisan ini, sudah dapat kita sebut sebagai tindakan atau aktivitas plagiasi. Aktivitas ini bukanlah aktivitas baru, tetapi sudah berlangsung begitu lama. Hanya saja, secara kuantitas dan kualitas tidak seperti sekarang ini.
Ya ini era digital yang semakin canggih dan memudahkan segala praktik plagiasi atau plagiarism. Bisa terus meningkat dan berlangsung di dalam dunia pendidikan kita di tanah air sejalan dengan hadirnya berbagai produk platform atau aplikasi ketika Artificial intelligence (AI) terus dikembangkan. Sehingga praktik plagiasi pun terus tumbuh dan berkembang dengan subur. Apalagi sudah menjadi kebiasaan umum karena sering terjadi dan memiliki dampak yang signifikan. Hal ini menjadi semakin sulit dibendung.
Padahal sudah banyak aturan atau regulasi yang mengatur tentang plagiarisme, namun praktik ini masih tetap terjadi di dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Ironisnya , pelaku plagiasi tersebut bukan saja dari kalangan mahasiswa, tetapi juga dari kalangan dosen, bahkan yang bergelar professor. Padahal mahasiswa dan dosen, apalagi professor sudah tahu bahwa praktik plagiasi atau plagiarism merupakan praktik yang merusak citra dan integritas cıvıtas akademik. Dikatakan demikian, karena secara langsung praktik plagiarism sesungguhnya melanggar asas dan misi pendidikan tinggi. Bukan hanya itu, sanksi hukum yang diatur dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional pun sering diabaikan.
Seharusnya para mahasiswa dan dosen mencari, menemukan, mempertahankan, dan menjunjung tinggi kebenaran ilmiah, kejujuran, dan tanggung jawab terhadap karya mereka, karena plagiarisme itu dapat merusak kualitas hasil pendidikan mahasiswa, menghambat perkembangan intelektual, dan mengurangi nilai akademik. Selain itu, merajalelanya praktik plagiasi atau plagiarism adalah bukti nyata rendahnya kemampuan literasi pelakunya, baik mahasiswa, maupun dosen, termasuk profesor yang melakukan plagiasi tersebut. Dikatakan demikian, karena praktik itu tumbuh subur tidak terlepas dari tidak mampunya mahasiswa, dosen bahkan oknum profesor yang memiliki kemampuan literasi yang rendah. Mengapa demikian?
Tentu, bila dikaji lebih dalam, faktor-faktor yang membuat atau mendorong orang melakukan plagiasi, ada banyak faktor, baik faktor internal, maupun eksternal. Biasanya, para pelaku tidak menyorot faktor internal, tetapi lebih banyak eksternalnya. Misalnya karena beban tugas dan tenggat waktu yang ketat, sehingga dapat mendorong mahasiswa atau penulis untuk mengambil jalan pintas dengan menyalin karya orang lain. Bukan hanya itu, tetapi ada juga karena munculnya rasa takut mendapat nilai rendah atau takut gagal, tidak bisa menyelesaikan tugas. Namun, semua itu, secara internal pelaku adalah orang-orang yang memiliki kemampuan literasi dan numerasi yang rendah serta bermental curang dan malas. Akhirnya, para pelaku memanfaatkan segala kemudahan yang diperoleh dari eksistensi dan kemajuan teknologi dan tersedianya informasi di internet saat ini yang begitu banyak.
Lalu, setelah membaca cerita di atas, membaca segala fenomena dan realitas praktik plagiasi yang didukung oleh segala kemudahan teknologi informasi komunikasi yang berwujud internet, gadgets,dan segala aktivitas digitalisasi yang terus mengembangkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence, kita bisa memprediksikan bahwa generasi masa hadapan ini akan terus tumbuh menjadi genarasi plagiator. Hal ini terjadi apabila generasi bangsa ini semakin dimanjakan oleh teknologi dan meninggalkan segala kearifan lokal yang ada, maka generasi plagiator akan berkembang dengan sangat cepat. Haruskah kita melahirkan generasi plagiators di era digital yang berkemajuan ini?
Ah, generasi plagiator? itu adalah label yang sangat tidak enak dilabelkan pada sebuah generasi, apalagi disebut dengan generasi yang jumlahnya bisa tak terhitung atawa uncountable. Juga tidak selayaknya digeneralisasikan dengan kelompok atau generasi. Oleh sebab itu, apa yang dimaksudkan dengan generasi plagiator itu, generasi yang mana yang dimaksudkan? Hal ini penting dijelaskan, sebab apabila kita berbicara soal generasi anak bangsa ini, kita selama ini banyak menemukan dalam berbagai literatur soal pengelompokan generasi itu.
Graeme Codrington & Sue Grant-Marshall (2004) dibedakan 5 generasi manusia berdasarkan tahun kelahirannya, yaitu: (1) Generasi Baby Boomer, lahir 1946-1964; (2) Generasi X, lahir 1965-1980; (3) Generasi Y, lahir 1981-1994, sering disebut generasi millennial; (4) Generasi Z, lahir 1995-2010 (disebut juga iGeneration, GenerasiNet, Generasi Internet). DAN (5) Generasi Alpha, lahir 2011-2025. Kelima generasi tersebut memiliki perbedaan pertumbuhkembangan kepribadian. Lalu, apa kaitannya dengan pengelompokan generasi tersebut? Apakah setiap generasi itu masuk sebagai generasi plagiator?
Agaknya, tidak adil bila kita katakan bahwa pelaku praktik plagiasi adalah generasi sekarang saja, karena praktik plagiasi sudah berlangsung sejak lama. Artinya sudah dilakukan oleh generasi-generasi sebelumnya. Hanya saja tidak seperti saat ini dan kemungkinan besar juga menjadi tradisi generasi sebelumnya. Dalam realitas Kampus musalnya di setiap generasi ada oknum generasi sebelumnya melakukan plagiarism. Banyak oknum pelaku yang tidak merasa melakukan tindakan plagiasi tersebut. Namun, generasi sekarang dan generasi alpha, digolongkan sebagai generasi yang sangat potential melakukan plagiasi, karena semakin mudahnya akses terhadap praktik plagiasi.
Benar. Semakin mudah. Aksi para plagiator melakukan kegiatan plagiasi atau menjiplak karya orang lain, semakin mudah dipublikasikan menjadi karya sendiri, baik secara keseluruhan, maupun secara kutipan parsial, tanpa menyebutkan sumbernya. İni sebenarnya sangat dikecam.
Ya, tindakan plagiasi atau menjiplak karya orang lain selama ini merupakan tindakan yang sangat dikecam di berbagai kalangan, lembaga-lembaga pendidikan dan media serta kalangan para penulis dan masyarakat umumnya. Bukan hanya dikecam, Seorang akademisi, penulis atau pengarang, akan sangat malu dan dipermalukan ketika disinyalir melakukan kegiatan plagiasi atau menjiplak karya orang lain.
Namun demikian, walau pun itu memalukan dan berisiko hukum, selalu ada orang, dari kalangan pendidikan seperti guru, dosen, penulis, Siswa dan mahasiswa yang melakukan tindakan plagiasi. Sehingga tidak jarang kita mendengar dan membaca berita tentang kasus memalukan ini di media massa.
Kini, sejalan dengan kemajuan perkembangan Teknologi komunikasi dan informasi yang mengantarkan kita ke era digital, tatkala internet menjadi media yang memudahkan akses segala informasi dan komunikasi, lewat Google yang bisa menjawab semua persoalan dan kebutuhan informasi. Google menjadi kunci jawaban bagi setiap orang yang membutuhkan informasi dengan Cepat dan benar. Bukan hanya untuk mencari jawaban terhadap informasi, tetapi juga sebagai sumber referensi untuk menulis dan sebagainya.
Akses informasi dari Google yang sangat mudah dan cepat, cukup copy paste informasi yang dibutuhkan itu menyuburkan aksi plagiarism. Jadi tidak perlu banyak berpikir mengolah data. Pokoknya bold, copy and paste. Begitu mudah bukan? Ya, tak dapat dibantahkan lagi. Begitulah faktanya. Bahkan, kita sudah banyak yang merasa perlu menyiapkan pengetahuan di otak atau dalam memori kita, karena semua jawaban ada di Google.
Tanpa dısadari, hal semacam ini telah membentuk mental generasi masa kini belajar dan bekerja dengan cara -cara copy and paste yang menggiring generasi masa kini melakukan aktivitas plagiarism atas karya-karya orang lain. Dengan segala memudahan serta mengkristalnya budaya instant dan manja, generasi masa kini, generasi milenial, generasi Z bahkan alpha, bisa menjadi generasi plagiator. İn sungguh membahayakan masa depan generasi ini, karena karena teknologi komunikasi dan informasi yang semakin canggih di era digital ini dapat mematikan kecerdasan generasi bangsa, bila tidak disikapi dengan bijak, sesuai dengan perkembangan zaman. Generasi ini akan kehilangan kecerdasan yang seharusnya melekat dalam diri sendiri Menyedihkan sekali, bukan?
Tentu saja demikian. Oleh sebab itu harus ada upaya yang intensif, berkelanjutan membangun kemampuan generasi bangsa ini dengan kemampuan literasi yang tinggi dalam melawan praktik plagiasi dalam kehidupan dan khususnya di dunia pendidikan yang mencerdaskan tersebut. Caranya adalah dengan menemukan akar masalahnya dan bersihkan akar masalah tersebut, sehingga dunia pendidikan kita tidak melahirkan oknum-oknum plagiator, apalagi disebut dengan generasi plagiator. Semoga.
Tabrani Yunis, kelahiran Manggeng, Aceh Barat Daya ( Abdya). Telah menggeluti aktivitas di media sejak 1989 sebagai penulis dan mulai mengelola POTRET sejak 2003 dan majalah Anak Cerdas pada tahun 2013.