Oleh Dr. Sulaiman Juned
Berdomisili di Padang Panjang, Sumatera Barat
Setiap bulan Ramadhan, selalu saja aku merindui almarhumah Mamak (ibuku). Selain merindui masakan khas Mamak di hari Makmeugang menjelang Ramadhan, maupun menjelang Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha. Tentu juga merindui racikan Mamakku yang sangat lihai dalam mengolah kuliner (penganan khas di bulan Ramadhan), yakni LAMBAI atawa SAMBAI OEN PEUGAGA.
Berbuka puasa bagi masyarakat Aceh, belumlah sempurna kalau tidak disuguhkan Lambai Oen Peugaga (Sebutan warga kampung saya di Usi Dayah, Beureunuen, Pidie). Ada juga yang menyebutnya Sambai Oen Peugaga. Lambai atawa Sambai Oen Peugaga warisan endatu ureueng Aceh yang diracik dari 44 dedaunan mirip dengan penganan urap. Hanya saja bahan baku utama yang wajib ada “Oen Peugaga” (daun pegaga atawa “Contella Asiatica”). Tumbuhan merambat ini berkhasiat meningkatkan konsentrasi dan mempertajam ingatan serta dapat mengobati masuk angin. Daun ini biasanya tumbuh di pematang sawah juga di perkebunan kopi, dan sangat subur tumbuhnya di tempat sejuk dan dingin.
Selebihnya daun-daun tapak lembar, pepaya, bunga pepaya, ubi, serai, kemangi, cabe merah, cabe rawit dan lain-lain lalu diaduk dengan oseng kelapa parut, yang pasti dedaunan berjumlah 44 macam dedaunan. Kuliner ini hanya ada di bulan Ramadhan, di seluruh Aceh setiap Ramadhan selalu saja dengan mudah ditemui penganan ini. Penganan ini juga berkhasiat menjadi obat kolesterol, diabetes dan masuk angin. Namun dapat juga membangkitkan stamina dan daya ingat.
Inilah yang membuat aku selalu merindui Gampong, dan rindu Almarhumah Mamak setiap bulan Ramadhan. Semoga almarhumah berada dalam surga Allah. Al-Fatihah. Ini hari Ramadan keempat, dan akupun merinduinya. (Sulaiman Juned)
#Foto: Sulaiman Juned, Lambai/ Sambai Oen Peugaga, di Jalan Muhammad Jam Banda Aceh tahun 2016.