RIAK AIR

Oleh Zulkifli Abdy

MANAKALA pemerintah atau para politisi hendak mengambil suatu kebijakan/keputusan penting yang ditengarai berpotensi menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat luas, kerapkali didahului dengan terapi kejut.

Terapi kejut tersebut, bisa berupa “Test the Water” atau judge people’s feelings or opinions before taking further action, menilai perasaan atau pendapat orang sebelum mengambil tindakan lebih lanjut. Test the Water, juga merupakan suatu upaya untuk memancing reaksi publik sebelum mengeluarkan kebijakan/keputusan. Jika publik tidak bereaksi atau merespons positif, maka “the show must go on”, kebijakan itu akan ditetapkan, demikian pula sebaliknya.

Apakah itu berupa kebijakan pembangunan, atau program lainnya yang kemungkinan akan berdampak secara ekonomi pada masyarakat. Seperti misalnya kenaikan harga BBM, pengenaan pajak terhadap komoditas tertentu, pembangunan ibukota baru, atau bahkan kebijakan politik terkait dengan Pemilu yang sarat dengan berbagai kepentingan.

Di sinilah kita kerap menyaksikan pertunjukan “test the water” atau “uji riak air” itu, hal mana untuk melihat respons masyarakat kalau suatu kebijakan akan diputuskan dan dijalankan. Atau dengan kata lain, ini semacam uji publik yang akan menentukan apakah suatu kebijakan tersebut laik atau tidak.

Kalau hanya sebatas penerapan kebijakan publik secara umum, mungkin variabel yang dijadikan acuan lebih pada seberapa besar dampak ekonomi terhadap masyarakat, atau dampak lingkungan dan sosial yang akan ditimbulkannya. Berbeda dengan kebijakan politik, yang tentu akan berimplikasi lebih luas lagi, terutama terhadap kehidupan berbangsa, dimana aspek moral, hukum dan sosial tidak dapat dikesampingkan begitu saja.

Di sinilah biasanya terapi “uji riak air” itu digunakan, untuk melihat sejauh mana dampak yang akan ditimbulkannya, dapat dilihat dari respons masyarakat. Bukankah di tengah kehidupan masyarakat luas juga terdapat banyak ahli, bahkan juga para akademisi dari berbagai disiplin ilmu, yang akan menilai dan terus mengamati setiap gejala dari suatu kebijakan dan dampaknya, baik secara ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan.

Kendati “uji riak air” telah menjadi salah satu pola yang lazim digunakan mendahului suatu kebijakan. Agaknya perlu dipertimbangkan pola lain yang lebih efektif dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Di antaranya melalui seminar, lokakarya, dan atau debat publik yang melibatkan akademisi dari berbagai perguruan tinggi, dan para pakar di bidangnya.

Dengan demikian, sebelum suatu kebijakan menjadi keputusan, selalu ada kajian mendalam yang mendahuluinya, sehingga dampak yang mungkin akan ditimbulkannya telah terdeteksi lebih dini. Untuk itu tentu ada kajian ekonomi, sosial/budaya, dan yang terkait dengan lingkungan juga ada Analisis Dampak Lingkungan atau AMDAL.

Di era keterbukaan informasi ini, masyarakat awam sekalipun dengan mudah memperoleh referensi dari berbagai sumber. Masyarakat secara tidak langsung telah memiliki perspektif dan informasi pembanding tentang berbagai hal. Dalam kondisi seperti itu, trend kebijakan publik pun sepatutnya menyesuaikan, sehingga pembuat kebijakan tidak “ketinggalan kereta” dengan dinamika yang berkembang di tengah masyarakat sebagai waham dari kebijakan itu sendiri.

Kepekaan indrawi masyarakat pun di era informasi ini semakin tinggi, sehingga dalam setiap proses perencanaan sebelum menjadi suatu kebijakan, atau masih pada tahap “uji riak air” itu, masyarakat telah dapat mereka-reka kemana arah kebijakan tersebut dan apa dampaknya. Bahkan secara naluriah, tidak tertutup kemungkinan masyarakat dapat pula “membaca” seandainya ada skenario lain yang menyertai suatu kebijakan.

Di ranah politik, masyarakat juga telah terbiasa menganalisis suatu gelagat, bahkan sebelum langkah awal dijalankan. Dalam kondisi seperti itu, masyarakat menjadi sangat peduli dan akan mengawal setiap kebijakan politik sebelum diterapkan, mulai dari hulu sampai ke hilir. Sehingga kalau ada agenda “tersebunyi” di balik suatu kebijakan politik, masyarakat dengan mudah pula dapat mengetahuinya.

Masyarakat, di samping sudah sangat paham, telah cukup jenuh dan lelah juga, karena telah sangat terbiasa dijadikan “alat uji coba” sebelum para pihak mengambil suatu kebijakan. Kalau pengambil kebijakan tidak bijak dan peka, “uji riak air” itu justru akan kontraproduktif, bahkan berpotensi mengundang reaksi berupa “gelombang” penolakan di tengah masyarakat luas.
Waallahu a’lamu bisshawab.

(Zulkifli Abdy, BandaAceh, 25 Maret 2024)

Exit mobile version