Oleh Arief Fadhillah
Binar Mata Pakistan
“Yanda, bangun, nek Umi nelpon ni”.
Kaesya memeluk tubuhku sembari berbisik lembut, ia tempelkan android di telinganku. Suara umi terdengar merdu mengucapkan salam.
“Waalaikum salam wrwb, gimana umi ?”
Umi mengabari kalau lampu di kamarnya bermasalah dan memintaku untuk ke rumah Lambreung.
“Cepat nak ya, umi gak bisa tadarrus kalau begini”
“Siap umi, 86”.
Kudengar umi tertawa renyah setiap aku menyebut angka 86. Pernah sekali waktu kutanyakan:
“Mengapa umi selalu tertawa geli mendengar kode 86 itu kalau kuucapkan? “
“Lucu aja bila membayangkan ada komandan berusia 72 tahun seperti umi”
“Kok umi mikirin gitu ?”
“Habis kamu bilang 86 itu selalu diucapkan pasukan kepada komandannya”
“Memang iya, terus kenapa ?”
“Coba bayangkan umi, nenek keriput dengan 20 orang cucu dan 1 cicit memakai seragam komandan, berdiripun umi sudah tidak tegak, apa gak lucu ?”
Aku tertawa geli sendiri, sempat-sempatnya umi membayangkan hal yang begituan, walau aku senang dibuatnya. Menurutku bila seseorang mampu melihat sisi yang unik, berbeda dan tidak umum, aku yakin dia mampu membuat situasi apapun menjadi lebih positif dan menggembirakan.
Biasanya saat hatiku berada di titik ekstrim sedih atau senang, aku berubah menjadi anak kecil yang kolokan, memeluk umi manja, mencium dan tidur di pangkuannya.
“Biar saja umi, yang penting umi harus tahu dan ingat satu hal saja”
“Apa itu ?”
“Iluf”
“Apa lagi iluf itu ?”
“I love you forever umi”.
Aku lihat umi tersenyum lebar, ada binar mata Pakistan yang begitu eksotik, seperti sedang mencari kanvas di jiwaku, melukis lengkungan pelangi yang indah. Aku yakin mata Pakistan itulah yang membuat ia menjadi siswi PGA Banda Aceh yang paling imut di zaman bersekolah dulu.
“Hehehe, me too rief”
“Epss, bagaimana umi bisa jawab begitu ?”
“Lupa ya ?, dulu umi ini guru”
oooOooo
Honda beat hitam melaju menuju rumah Lambreung. Beat itu mulai menggilas apa saja, meliuk sekali-kali dan menerobos terik siang yang masih saja betah menggoda mereka yang berpuasa. Aku merasa matahari bersikap sangat baik, melipatkan pahala bagi mereka yang berpuasa..
“Wahai matahari…, seberapa hebat lagi engkau menguji kesabaran kami yang berpuasa ?”.
Aku berteriak sendiri, tiba-tiba saja scoopy merah menyelip. Dua gadis muda menoleh ke arahku, tampak bengong, lalu kudengar teriakan:
“Sabar bang”.
Seketika mereka tertawa, kali ini lebih parah, mereka berhahaha hihihi saling mencubit. Aku salah, menduga mereka mentertawakanku, ternyata tidak. Aku sempat mendengar di sela angin yang merecok genit, gadis yang duduk di belakang berkata sambil tertawa:
“Kok sama kita”
Seketika aku pun ikut tertawa girang, bagaimana tidak kedua gadis berjilbab coklat muda yang kutaksir berusia sekitar 20 tahunan itu memanggilku abang.
“Alhamdulillah, lebih banyak menang aku pagi ini, dipanggil abang oleh gadis seusia mahasiswa Aqidah dan study Islamku”.
Hahahaha, pagi hari itu memang seharus begini, ceria dan penuh gizi, gumanku dalam hati. Menyadari itu semua, kini aku tak berani tertawa mengeluarkan suara, cukup senyum sendiri. Celakanya kini aku membayangkan bila setelah membaca cerita ini, tiba-tiba saja seluruh mahasiswaku tidak lagi memanggilku bapak atau pak. Mereka ngotot ingin memanggilku abang.
Tiba-tiba saja aku dingatkan dengan dialog saat kuliah perdana beberapa waktu yang lalu. Aku memberikan kebebasan mereka memanggil apa saja, boleh pak nyak, pak Arief atau apa saja yang mereka suka.
“Bagaimana kalau ustadz pak”.
Salah satu yang duduk di sebelah kanan belakang mengusulkan nama panggilan”
“Boleh, gak masalah”
“Pak Nyak saja, kedengaran itu unik dan keren, boleh kan pak Nyak”, seseorang tiba-tiba saja mengusulkan satu nama.
“Ya setuju…setuju”
Aku dengar beberapa mahasiswa yang duduk berdekatan dengan yang mengusulkan berkoor kompak
“Boleh”.
Aku menyetujui dan tidak keberatan, andai pun masing-masing mereka berbeda dalam memanggilku . Seketika kelas perkulihan jadi begitu ramai jadinya. Memang itu menjadi tujuan orintasi kuliyah perdana ini. Bagi ku, ketika mahasiswa mulai mengeluarkan suara, ini pertanda mereka mulai berada di jalan yang lurus. Menjadi mahasiswa diam itu sama artinya seseorang yang tersesat di perguruan tinggi. Akhirnya aku menegaskan sekali lagi:
“Boleh memanggil saya apa saja yang kalian suka kecuali panggilan om, saya tidak suka dipanggil begitu”. , Panggilan om itu acapkali bergeser maknanya, lebih berkonotasi negatif.
“Boleh panggil om kalau mau nilainya saya kasih D”
Serempak mereka tersenyum menahan tawa saat mendengar penyataanku.
Saat ini aku pun jadi ikut tersenyum geli sendiri membayangkan tiba-tiba semuanya mereka memanggilku abang.
Tak berselang 5 menit aku tiba di rumah Lambreung. Memang rumahku tak jauh dari rumah umi. Alhamdulillah, hal itu terus ku syukuri. Dengan begitu aku terus bisa merespon cepat apapun yang dibutuhkan umi. Walaupun tidak mengurangi rasa syukurku, kadang-kadang aku masih saja senang membayangkan andai kata aku punya ilmu kanuragan dapat hadir secepat kedipan mata dari satu lokasi ke lokasi. Pasti ini menjadi begitu keren, apalagi bila kakak dan lima adikku pun memiliki kedigjayaan serupa, umi pasti tak pernah mengeluh, hehehehe.
oooOooo
“Eeeemm, bagaimana menggantikan bola lampunya kalau begini tingginya?” . Aku berguman dalam hati.
“Perlu kursi atau tangga Rief ?, di gudang ada tangga Rief ”
Aku tersenyum mendengar pertanyaan umi, apa umi bisa mendengar gumanan hatiku, atau aku berguman terlalu keras hingga umi dapat mendengarnya.
“Ditanya malah tersenyum-senyum ?”
“Begitu ya dulu waktu kuliyah ?, tebar-tebar pesona sama teman kuliyah”
“Epss, kok umi tahu ?”
“Apa sih yang umi gak tahu lagak anaknya ?”
Aku menghampiri mendekati pembaringan umi, lalu mengecup lembut keningnya, juga mengecup sisi mata umi yang masih dibalut perban sehabis operasi kemarin.
“I love you mum”
“Sudah ah, umi bosan dengar bahasa Inggris terus, bahasa Arab kek, Spayol atau Italy sekali-kali”
“Uhibbukum hubban ‘adhiman Umi”.
Mendengar itu umi tersenyum tipis, hingga mata Pakistannya kembali berbinar. Bahkan kini aku melihat kunang-kunang mulai menyerbu jiwaku, mengusap seluruh dinding hatiku. Aku yakin mata kanan Pakistan umi yang terbungkus perban itu pun berbinar indah, mengusir rasa perih paska operasi katarak kemarin.
“Te amo madre”
“Itu bahasa apa rief”
“Spanyol, mi”
“Indah ya kedengarannya”
“J’aime ta mère”, nah itu bahasa Prancis mi”
“Pasti indah kedengaran bagi telinga orang Prancis, iya kan?”
“So pastilah mi”
“Abdi bogoh ka umi, nah itu bahasa Sunda mi”
“Oh begitu ya, kalau bahasa Jawa, rief ?”
“Aku tresna panjenengan umi”
“Banyak ya bahasa yang Arief bisa ?”
“Gak lah umi, cuma kata-kata itu saja”
“Semua pernah dipakek dulu untuk nembak gadis ya?”
Blemm, aku merasa kejebak candaan umi, tampak umi tersenyum puas melihat aku melongo tak mampu berkata-kata.
“Arief…”
“tuan mi?”
Sebelum berbicara umi terus tersenyum. Hal itu benar-benar membuat aku keki dibuatnya.
“Jangan serius sekali rief, umi cuma becanda”.
Meskipun umi menetralisir keadaan, aku masih saja melihat binar mata kiri Pakistan umi seperti mengaduk-aduk perasaanku, membuat aku menjadi gemas dan merasa bahagia. Penting bagi kami semua, apapun akan kami lakukan untuk membuat umi terus tersenyum dalam kesabaran menghadapi masalah kesehatan di usia tuanya.
“I am a man who has five children, umi. How come you joke with your son as if I am still young ?”. Aku membatin dalam hati.
“Tahu mengapa Rief”
“Mengapa maksud umi gimana?”
“Arief herankan mengapa akhir-akhir ini umi suka mencandai Arief ?”.
Kembali aku tertegun, jangan-jangan umi punya indra ke enam, terus mampu mendengar gumanan hatiku sedari tadi.
“Memang mengapa umi ?”
“Hehehe, jangan tersinggung ya rief”
“Ya, omon-omon saja mi, ga apa-apa kok”
“Hahaha, itu kan istilah tim pendukung 02 rief”
“Hahahaha, umi ikutin isu politik juga”
“Epss, jangan meremehkan begitu dong, gini-gini dulu umi pernah aktif di partai politik semasa abah masih hidup”
“Siap umiku sayang”
“Akhir-akhir ini umi perhatikan arief begitu serius dan kelihatan lebih tua lho”
“Iya kah ?”
“Coba lihat tu ubanmu itu tumbuh kayak jamur di musim hujan”
“Hahahaha”. Aku tertawa mendengar perumpamaan umi.
“Dibilang malah tertawa”
“Siap salah umi”
“Jangan becanda dulu, sekarang umi bicara serius”
“Tadi katanya jangan serius kali, sekarang malah disuruh balik serius”
“Arief…, sini kepalanya biar umi tabok sekali”
“Hahaha, siap umi”
“Dengar rief ya, lelaki di usia antara 45-50 tahunan akan menghadapi siklus kedua dalam hidupnya, mereka akan diterpa cobaan hidup yang berat”
“Masak sih mi, bukankah itu usia yang cukup matang bagi seorang lelaki”
“Iya, tapi ingat di usia seperti itu juga mereka akan menghadapi beban yang berat, misalnya biaya pendidikan anak, belum lagi sebagai seorang ayah, ia harus berhadapan dengan dinamika tumbuh kembang anak-anaknya. Secara fisik, lelaki di usia segitu mulai dihinggapi berbagai keluhan kesehatan, apalagi bila ia punya gaya hidup kurang baik, seperti makan tidak teratur, tidak lagi berolahraga seperti masih muda, stress dan berbagai konflik di tempat kerja. Hal ini diperburuk jika ia punya kebiasaan merokok, begadang dan tidur istirahatnya kurang. Apa lagi bila lelaki itu hobbi minum alkohol, suka dugem dan party”
Aku tertegun mendegar penjelasan umi, tutur katanya selancar seseorang yang telah lama menekuni bidang tertentu. Padahal umi tidak sempat makan bangku kuliyahan, juga aku yakin ia tidak sempat menerima mata kuliyah Adabul bahs.
Umi tidak lebih hanya seorang ibu dan istri rumahan. Usianya dihabiskan hanya mendampingi abah dan membesarkan kami.
“Kenapa Arief diam ?, apa ada yang salah dari perkataan umi ?”
“Tidak umi, malah Arief berpikir harusnya umi cocok menjadi konseling atau psycholog”
“Arief-Arief, memang umi tidak sempat lama menjadi guru, karena bagi umi cukuplah punya murid 7 orang saja, anak-anak umi”.
“Tapi coba lihat!. bolehkan umi bangga dan bersyukur, dengan serba tidak bercukupan, empat anak umi S2, tiga sarjana, itupun kalau Nasriyah menyelesaikan tesisnya, jadi 5 anak umi S2 ”
Aku jadi begitu masqul dan kini giliran beribu-ribu barisan semut menjalar merogoh hatiku. Ada rasa bahagia yang tak bisa ku lukiskan menyaksikan binaran mata Pakistan pada raut tua umi yang masih menyisakan garis ukiran kecantikan khas gadis desa.
Mata Pakistan itu seakan menjadi penopang berliter-liter peluh abah menyekolahkan dan menjadi penyokong hidup 7 kurcaci yang kini semua telah tumbuh dewasa. Binaran Mata Pakistan umi laksana kutub magnit yang menarik menyatukan dan menolak membuyarkan apa saja rintangan yang mengubah haluan menuju titik tujuan.
Sejenak pikiranku melayang pada suatu malam secara tidak sengaja mendengar percakapan umi dan abah sekitar tahun 1996. Ketika itu aku sedang asyik tiduran di depan TV , lamat-lamat kudengar umi dan abah sedang berbicara dalam bahasa Aceh.
“Umi han ek sinyak dibalik lhom u Semarang”
(Umi gak mau anak balik lagi ke Semarang)
“Kiban ta peugot menyoe ji galak kerja dan aktif di Semarang, pue lhom ji na mak Jawa ”
(Apa yang bisa kita lakukan kalau anaknya senang kerja dan beraktifitas di Semarang, apalagi di Jawa sana dia punya ibu angkat)
“Hanjet narit lage nyan, harus dron pikeu kiban cara bek diwoe lheu”
(Gak boleh ngomong gitu, abah harus pikirkan gimana caranya agar dia tidak balik lagi ke Semarang)
“Umi mantong yang rayu, menyoe ngon droneuh sinyak nyan seumaloe”
(Umi saja yang rayu, sama umi anak itu gak bisa mengelak )
“Ta pikeu hai Abah meutuah, han ek ku ingat menyoe ji saket lagee hat nyan, untoeng na ibu Aisyiah di Romoe Sakit Roemani yang meuchen keu sinyak. Tanyoe hapu hapa teuingat keu jie, disinyak nyan mangat mantong peugah calm down mum, calm down my dear mother”
(Ayolah kita pikirkan abah, gak sanggup umi bayangkan kalau dia jatuh sakit seperti waktu itu, untunglah ibu Aisyiyah di Rumah Sakit Roemani perhatian sekali sama anak kita, kita susah luar biasa mendengar dia sakit, eh dia malah enteng-enteng saja ngomong, tenang umi, tenang umiku sayang)
Di balik ruang sebelah aku tersenyum melihat umi mengulang kalimat-kalimatku dulu.
“Yang pah ta peukawen laju si nyak nyan, kiban menurut umi”
(Yang benar itu kita nikahkan saja segera anak itu, bagaimana menurut umi?)
“Hah, so tem ngon aneuk tanyoe yang hana kerja lhom ?, abah-abah…”
(Hah, siapa yang mau sama anak kita, kerja saja dia belum punya, abah-abah)
“Teuma jameun pakon gata kateum ngon lhon yang hana kerja lhom”
(Tapi dulu kenapa umi mau dinikahi sama abah, pada hal ketika itu abah belum punya pekerjaan)
Aku mendengar suara umi tersenyum renyah, subhanallah terdengar serenyah kacang goreng hari raya idul fitri di rumah umi Seutuyku, umi kak Ilin, kak Uneng, kak Nidar dan almarhum bang Irham.
“Jameun ka beda abah, ureung chik lhon meunan geu dengue droen ceramah meuapui-apui di gampong watee Program Kampung Pelajar PII di Susoh jileu, boh panee lhom ureung agam laen ek geu koh pesona droe neuh. Menyoe ureung chik dara jinoe laen, phon geutanyong “pat keureja sinyak dron, pu ka PNS?”
(Jaman sudah beda Abah, orang tuaku dulu sudah terkesima saat mendengar pidato abah yang berapi-api ketika program kampung pelajar PII di Susoh dulu, mana ada laki-laki yang mampu menyaingi pesona abah di mata ayahku. Tapi kalau orangtua sekarang beda, yang pertama sekali ditanya “dimana kerja anaknya, apa sudah PNS ?)
“Tapi memang abah lebih ganteng lam kawan nyan”
(Tapi memang abah waktu itu paling ganteng sih diantara teman-teman abah)
“Hahahaha”.
Aku mendengar suara Abah tertawa lepas
“Omen rayeuk tat neukhem”
(Aduh ketawanya kegeeran kali ya}
“Kiban cit teuma”
(Lho terus harus bagaimana Abah}
Aku begitu bahagia mendengar percakapan tengah malam mereka ketika itu. Aku sama sekali tidak risau saat mereka mulai melist anak-anak sahabat mereka yang mungkin akan dijodohkan denganku. Karena aku punya jurus ampuh menghadang itu semua.
“Arief, kok melamun, apa umi salah ?, jangan ambil kali hati cerita umi tentang anak-anak umi yang berhasil sekolah, itu karena kalian sungguh-sungguh sekolah, kalian sadar kita orang tak berpunya. Umi bukan mau riya, umi hanya ungkapkan rasa syukur umi dan bahagia”
“Umi jangan ngomong gitu, kami yang tak habis-habis harus bersyukur dilahirkan menjadi anak umi dan abah”
“Andai boleh dilahir kembali, Arief mau dilahirkan dari rahim umi lagi”.
Aku mendekap umi, merasakan debur dadanya, ia menahan perasaan terenyuhnya.
“Apa Arief mau merubah sedikit cerita saat Arief dilahirkan, karena tidak ada Abah di samping umi ketika itu*
“Gak umi, Arief suka begitu ceritanya, meskipun Abah di Singkil tak ada jadwal kapal pulang ke Balangpidie, umi kan menerima surat dari Abah yang berisi puisi atas kelahiran Arief ?”
“Tahu umi, itu keren habis mi”
“Apa itu pula alasan Arief menulis puisi saat kelima anakmu lahir”
“Ya betul”
“Arief…”
“Ya umi”.
Aku merasakan kepalaku yang berbaring di dadanya, dielus lembut penuh kasih. Aku begitu yakin rasa sayang dan kasih yang sama juga dirasakan oleh ke enam saudaraku yang lain, walau dengan cerita yang berbeda, namun pasti langgamnya sama, betapa tulusnya kasih sayang seorang ibu.
“Umi merasa, akhir-akhir ini semua anak-anak umi begitu kekanak-kanakan di hadapan umi, apa itu petanda umi mau meninggal ?“
“Ya Allah, apa yang umi omongin ini?”
“Gak apa-apa nak, umi pun senang kalian buat begitu, umi ingin disisa usia umi ini, umi selalu berada di antara kalian, dan berganti-gantilah dengan Munawar menjadi imam shalat di rumah ini. Jika kalian sibuk kirimlah Fathi, Radief, Nafis dan Fathan. Untuk apa juga kalian sekolahkan mereka ke pesantren jauh-jauh jika mereka gak dilatih menjadi imam di rumah ini”
“Siap umi, 86”
“86 lagi”. Aku melihat ia tersenyum tipis.
“Arief…”
“Ya mi”
“Ingat ya nasehat umi tadi ?”
“Yang mana ni umi”
“Sudah ah jangan becanda terus, umi serius ni”
“Arief boleh terus bertambah usia, beban boleh terus bertambah, itu memang sudah sunnatullah, tapi ingat tetap jaga kesehatan, ubah gaya hidup yang bisa mengganggu kesehatan. Dan yang terpenting semangat harus selalu muda dan membara. Hadapi semua seperti kedalaman makna ayat Allah yang sempat umi tandai sehari sebelum operasi mata ini”
“Coba buka Al-Baqarah Ayat 153, tolong baca dan terjemahkan untuk umi”
Aku mengambil al-quran di meja kecil umi dimana di atasnya tergantung lampu membaca umi. Wayer inilah yang tadi kuperbaiki hingga saklar lampu kamar umi tidak konstan dalam posisi on. Alhamdulillah semua kini telah normal kembali. Perlahan-lahan aku membacakan ayat yang umi mintakan:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
“Nah itu Arief, umi tahu Arief faham ayat ini, tapi yang terpenting bukan sekadar faham melainkan bagaimana ayat ini dapat Arief terapkan dan menjadi penyemangat utama”
“Iya umi”
“Banyak sekali orang faham ayat Allah, tapi mereka gagal menerapkannya”. Kalau Abah bilang dulu, “al-ilmu laa fil kutub, lakin fis shudur wa ‘amalihi”, hakikat ilmu itu bukan dalam kitab, tapi ilmu di dalam dada dan dalam perbuatan seseorang”
“Ya umi benar”
“Rief, pikir dan selami baik-baik ayat ini ya, bahkan Allah mengulangnya berkali-kali ayat ini”
“Siap, 86 umi”
“Umi mau 86 kali ini artinya sami’na wa atha’na”
“Siap umi, 86 sami’na wa atha’na”
“Alhamdulillah, sekarang arief therapilah umi, entar kalau umi tertidur jangan dibangunkan, bilang sama Khairin tutup pintu depan”
“Ya umi, kita mulai sekarang ya”
oooOooo
Sepanjang pulang dari rumah Lambreung, bahkan saat menghabiskan malam di tiang masjid Baitus Shalihin aku terus merenung nasehat umi dengan ayat 153 al-Baqarah itu. Aku terus menyingkirkan bebatuan kerikil yang menghalangi kesadaran dan menghukum diri.
“Ya Allah…,
“Tolonglah aku…
” Tolonglah aku agar mampu menjadikan sabar menjadi penyelamat atas tindakan-tindakanku.
Selama ini aku kurang sabar menerima kenyataan -kenyataan yang mendera hingga lancang menabrak ayat-ayat Mu. Aku begitu mudah tersulut amarah, walau kadang tidak terucapkan dengan kata-kata, namun batinku menumpahkan serapah dan sibuk mencela siapa saja yang menurutku berbuat salah”
“Ya Allah, apakah semua sujud dan rakaatku penuh pamrih ? Apakah shalatku masih penuh riya dan debu-debu kesombongan ?
“Ya Allah ampunilah hamba Mu ini. Tuntunlah aku menemukan diriku dalam keagungan ayat Mu hingga apapun kesulitan dan masalah yang kualami bermuara pada pada kanal kesabaran yang kaffah.
“Ya Allah ampunilah diriku…
“Ampunilah atas ketidak sempurnaan shalatku”
“Ya Allah tuntunlah nafasku selalu dalam perlindunganMu , jadikan lah sabar dan shalat sebagai penolongnya…
Ya Rabb…
Masukkanlah aku dalam shaf hamba-hambaMu yang sabar, betapa remuk dan musnahnya aku bila berada diluar shaf itu.
Ya Allah…
Ya Mujieb, ya Ghafur ya Rahman
Engkau Maha Mendengar segala pinta…
La ilaha illal Allah…
Subhanaka…
Astaghfiruka ….
Wa atubu ilaika…
Maaf kan aku umi, Binar Mata Pakistanku
Ananda belum mampu mengamalkan 153 al Baqarah
To be Continued