Oleh Tabrani Yunis
Kemajuan teknologi seperti halnya kemajuan yang dicapai dengan semakin canggihnya teknologi informasi dan komunikasi di abad ini, membawa perubahan yang sangat pesat dalam kehidupan kita. Teknologi informasi dan komunikasi tersebut semakin mempermudah kehidupan kita dalam berbagai segi atau aspek. Bukan hanya mudah, tetapi juga semakin cepat, semakin dekat, semakin murah dan masif. Segalanya menjad accessable hingga kita merasa dunia terasa semakin sempit. Dunia semakin terbuka tanpa batas atau borderless. Tidak salah kalau saat ini seakan dunia ada di genggaman. Ya, tentu dengan hanya menggenggam sebuah gadgets, kita bisa berselancar ke seluruh pelosok dunia, menikmati banjirnya arus informasi di sebuah gadgets.
Tidaklah mengherankan saat ini, kalau gadgets sebagai alat untuk mengakses segala informasi, pengetahuan, ketrampilan dan juga nilai-nilai yang dibutuhkan untuk membangun moral dan peradaban baru, semakin dibutuhkan oleh setiap orang. Kita pun setiap saat menyaksikan perilaku baru dalam kehidupan sehari-hari yang membuktikan bahwa manusia semakin lekat dengan gadgets. Lekatnya kita dengan gadgets, mengubah perilaku dan cara kita dalam berinteraksi. Bukan hal yang mengherankan bila kini di mana saja orang semakin asyik dan sibuk sendiri dalam keramaian karena menggunakan gadgets, termasuk di dunia pendidikan. Walau sangat membantu dunia pendidikan, pengaruh negatif juga ikut mengganggu proses pendidikan yang sedang berjalan.
Pokoknya, penggunaan gadgets atau ponsel pintar dan bahkan jam pintar di kalangan anak-anak yang masih berada di bangku pendidikan selama ini semakin tak terbendung dan berdampak negatif. Bukan hanya si sekolah, tetapi juga ketika anak-anak berada di rumah bersama orangtua mereka sendiri. Banyak orangtua yang tidak mampu mengatur anak-anak mereka menggunakan gadgets yang aman dan terarah. Banyak anak atau para pelajar yang menghabiskan waktu atau hari-hari mereka dengan gadgets, sehingga kalau disuruh atau diajak belajar atau membaca bacaan- bacaan untuk meningkatkan minat baca atau membangun kemampuan literasi, semakin sulit. Orangtua pun semakin banyak yang harus merepet, marah -marah kala berhadapan dengan anak. Diberikan susah, dilarang juga cukup payah.
Kiranya semua tahu kalau ketika sebelum bencana pandemi Covid 19 membiak di seluruh penjuru dunia, banyak orangtua yang galau dengan perilaku anak yang semakin lekat dengan gadgets. Bahkan pihak sekolah pun melarang siswa membawa gadgets ke sekolah, karena dirasa sangat mengganggu proses belajar.
Bila sebelum pandemi Covid 19 berjangkit secara global di seluruh belahan dunia pada tahun 2020 -2021, setiap orangtua mungkin bisa efektif melakukan pembatasan penggunaan ponsel atau HP pada anak, terutama yang bersekolah. Namun, ketika Covid 19 melanda yang menjungkirbalikkan semua aturan karena proses pembelajaran hanya bisa dilakukan secara daring, sehingga membutuhkan ponsel untuk bisa belajar di rumah. Penggunaan ponsel di masa Covid 19 untuk belajar tersebut, kemudian membuka ruang seluas-luasnya bagi anak atau siswa. Orangtua yang enggan memfasilitasi anak-anak mereka dengan gadgets, menjadi wajib membeli gadgets, demi anak-anak bisa belajar.
Setelah itu, makin sulit melepaskan ponsel dari kehidupan anak. Bukan hanya si rumah, termasuk si sekolah. Kita pun kemudian mengakui bahwa penggunaan ponsel dengan fasilitas internet tidak bisa dihindari atau ditolak, karena kemajuan internet dan alat komukasi canggih lainnya pada dasarkan mengubah perilaku belajar lewat bacaan di kertas atau buku, kini beralih ke ponsel yang bisa diakses kapan saja dan di mana saja dengan jumlah informasi yang sangat membludak itu.
Masifnya penggunaan gadgets, sesungguhnya sangat membantu para pelajar atau siswa maupun semua orang untuk meningkatkan kemampuan literasi, numerasi dan sains, karena banyaknya sumber bacaan yang bisa meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan pengembangan kepribadian, bila semua itu dimanfaatkan dengan benar. Namun, faktanya, masifnya penggunaan gadgets telah mengubah perilaku anak-anak, pelajar dan semua orang, terutama anak-anak yang masih memerlukan kontrol dari orangtua.
Pengalaman dari negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, beberapa negara di Eropa, seperti halnya Finlandia, Swedia, Belanda dan negara-negara maju lainnya di dunia, menyadari bahwa penggunaan gadgets telah melahirkan keresahan di kalangan orangtua dan pihak sekolah. Apalagi ketika anak-anak tidak dilarang membawa HP atau gadgets, termasuk jam pintar ke sekolah, tingkat gangguan belajar anak semakin tinggi sejalan dengan semakin seringnya orangtua menghubungi atau mengirikan pesan WA atau email kepada anak di sekolah.
Ya, pengalaman di Amerika membuktikan bahwa anak-anak tidak bisa konsentrasi saat belajar di sekolah. Perhatian mereka akan selalu terganggu dengan berbagai sajian informasi yang ada di ponsel, atau gadgets, termasuk gangguan dari orangtua yang suka mengirim pesan saat anak belajar di sekolah. Jadi sangat mengganggu proses belajar anak di sekolah. Apalagi bila ada pesan orangtua yang mengancam atau melarang dan selalu bertanya banyak hal kepada anak lewat ponsel atau gadgets. Kompas, 10 Maret 2024 memaparkan “ Banyak penelitian menemukan siswa sering mengecek ponsel mereka saat berada di ruang kelas. Jadi sangat mengganggu proses belajar bukan?
Ya, tentu saja demikian. Di kala ponsel atau gadgets bisa mempermudah dan mempercepat proses peningkatan kapasitas peserta didik, ada banyak dampak buruk atau negatif yang memperburuk proses belajar anak di sekolah dan di luar sekolah. Sudah banyak penelitian mengenai dampak buruk penggunaan gadgets di sekolah-sekolah yang dilakukan di negara-negara maju, seperti halnya di Amerika Serikat. Belanda, Swedia, Finlandia dan bahkan di Indonesia yang pengguna gadgets sangat besar dan masif.
Tak dapat dimungkiri bahwa selama ini, gadgets sudah melebihi candu. Penggunaannya sudah semakin sulit diatur, karena sudah begitu dekatnya gadgets dengan kehidupan kita. Ibarat pakaian yang tak lekang dari badan, bahkan lebih parah lagi. Layar atau screen gadgets seakan tak pernah bisa istirahat, terus dibuka karena ada banyak masuknya pesan yang selalu menggoda keinginan membukanya, atau untuk menikmati berbagai macam hiburan ( entertainment). J. Sumardianta dan Wahyu Kris AW dalam bukunya mendidik genarasi Z& A mengatakan bahwa manusia kini berada dalam persimpangan jalan. Ke Keterpesonaan terhadap smartphone atau gadgets, mengancam daya kepemimpinan atas urusan-urusan daya konsentrasi yang berperan sentral dalam proses kreatif. Kini, manusia digiring menuju kedangkalan, serba praktis, dan autistik. Pola pikir orang jadi dangkal karena terlampau dimanjakan oleh internet.
Larangan Membawa Ponsel ke Sekolah
Ketika di era digital ini, kita mendengar ada larangan membawa gadgets atau ponsel ke sekolah, pasti ada terbesit dalam pikiran kita bahwa larangan itu, berlebihan atau sebenarnya tidak perlu ada, karena sebagaimana kita ketahui bahwa anak-anak sekarang adalah anak-anak yang hidup dalam komunitas sosial digital. Anak-anak sekarang adalah pemilik zaman yang cara hidup mereka sangat berbanding terbalik dengan guru dan orangtua dari generasi baby boomers. Oleh sebab itu, ketika saat ini ada larangan membawa ponsel atau gadgets ke sekolah yang ditelusuri mengganggu konsentrasi para siswa dalam belajar di sekolah, larangan itu kemudian menjadi masalah yang pro dan kontra.
Ini penting, karena laporan pemantauan Pendidikan Global 2023 UNESCO yang berjudul Technology in education: A tool on whose terms, menyatakan bahwa penggunaan HP di sekolah terbukti mengganggu pembelajaran. Selain itu penggunaan handphone saat belajar berisiko membuat siswa terlibat dalam kegiatan yang justru tidak ada hubungan dengan pembelajaran. Penelitian terkait ini juga sudah banyak dilakukan. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Dakota Lawson dan Bruce B. Henderson pada tahun 2015. Mereka menguji hubungan antara penggunaan ponsel di kelas dan pemahaman informasi.
Namun demikian, apakah perlu ada gerakan melarang siswa membawa gadgets atau ponsel ke sekolah dalam sebuah gerakan sekolah bebas ponsel? Sebuah pertanyaan yang hanya ada dua jawaban, ya atau tidak. Begitulah adanya, namun dalam konteks ini tentu saja tidak cukup dengan jawaban singkat, Yes or Not, but must be more than that. Ya, harus lebih dari itu, karena hal ini menjadi semakin pelik di tengah gemerlapnya penggunaan ponsel pintar atau gadget di dalam kehidupan kita.
Jadi perlu dicamkan bahwa ketika ada gerakan sekolah bebas ponsel atau gadgets, malah menjadikan gadgets sebagai musuh bersama. Padahal keberadaan gadgets seseungguhnya adalah sebagai alat yang memudahkan.
Dalam gemerlap itu, ada banyak pilihan dan kesempatan yang bisa diraih bila di sekolah memiliki guru-guru yang mampu bersahabat dengan bijak dalam menggunakan Gadget di sekolah. Misalnya, saat ini para siswa sudah semakin tidak mau bersahabat dengan buku, mereka malas membaca buku, maka keberadaan gadgets yang digandrungi itu, bisa dijadikan pengganti buku.
Artinya sekolah-sekolah sudah tidak membutuhkan lagi anggaran untuk membeli buku paket dalam bentuk fisik atau cetak, maka anggaran itu bisa dialihkan pada penyediaan berbagai jenis buku paket atau buku pelajaran di aplikasi atau buku dalam bentuk pdf dan lain-lain, yang memudahkan guru dan siswa mengakses bacaan dengan mudah. Para siswa pun tidak perlu lagi membawa buku dua sampai 4 eksemplar dalam tas yang begitu berat.
Selebihnya yang harus dicari adalah sumber masalah yang muncul dalam hal penggunaan gadgets yang mengganggu konsentrasi tersebut. Bila penyebab utamanya adalah masuknya pesan di WhatsApp atau email dari orang lain dan juga orangtua, maka inilah yang harus diatur dengan bijak bersama para siswa, guru ( sekolah) dan orangtua. Bila konsensus bersama yang disusun dengan bijak dengan melibatkan semua pihak, penggunaan gadgets di sekolah akan sangat membantu proses pembelajaran. Oleh sebab itu, bila di Amerika, Cina, Swedia, Finlandia, Belanda dan negara-negara lain di dunia mulai melarang siswa membawa gadget ke sekolah, perlu digali apa latar belakang masalahnya dan analisis lah dengan benar.