Oleh Tabrani Yunis
Pertumbuhan dan peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia, dari tahun ke tahun terus meningkat, baik kendaraan roda dua, tiga, empat atau enam dan seterusnya, termasuk jenis dan ragamnya. Untuk sepeda motor saja, menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik pada akhir tahun 2022, terdapat sekitar 125.3 juta unit motor di Indonesia. Sementara jumlah mobil tercatat. Sementara jumlah mobil penumpang di Indonesia mencapai sekitar 17,2 juta unit pada akhir 2022. Data ini tercatat dalam laporan Statistik Indonesia 2023 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).
Pada tahun 2021, menurut Kementerian Perhubungan, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 141,99 juta unit pada tahun 2021. Jumlah tersebut meningkat 4,30% dari tahun sebelumnya yang sebanyak 136,14 juta unit1. Selain itu, data dari Kepolisian Republik Indonesiamenunjukkan bahwa hingga 9 Februari 2023, populasi kendaraan bermotor yang aktif di Indonesia mencapai 153.400.392 unit. Angka ini mencakup 147.153.603 unit kendaraan pribadi, dengan 127.976.339 unit sepeda motor (87%) dan 19.177.264 mobil pribadi2.
Nah, apa yang anda bayangkan ketika membaca data di atas? Apa yang ada di pikiran atau di benak anda? Paling kurang ada ungkapan, wah dahsyat sekali atau juga wah, ternyata masyarakat Indonesia sudah kaya semua, sudah mampu membeli kendaraan yang bukan hanya sepeda motor, tetapi juga mobil. Bukan hanya satu, bahkan dua atau 3 mobil di rumah. Selain itu, pikiran anda atau juga penulis berkelana ke lingkungan sekitar atau daerah masing-masing. Kita pasti melihat di rumah-rumah sekitar kita, setiap rumah pasti sudah memiliki sepeda motor dan juga mobil, baik orang kaya, mau pun orang miskin. Ya, orang-orang miskin, paling tidak sekarang sudah punya sepeda motor yang jumlahnya juga bisa lebih dari satu unit.
Yang jelas, ketika kita membaca data tersebut menunjukan peningkatan jumlah yang signifikan dengan jumlah yang terpadat terdapat di pulau Jawa, sesuai dengan padatnya jumlah penduduk serta kencangnya arus dinamika ekonomi di Jawa. Namun demikian peningkatan jumlah kendaraan tersebut juga merambah begitu cepat di luar Jawa, termasuk Aceh yang berada di ujung paling Barat pulau Sumatera dan menjadi Provinsi termiskin di pulau Sumatera.
SERAMBINEWS.COM, 11 Januari 2023 memberitakan bahwa Badan Pengelola Keuangan Aceh (BPKA) mencatat pada tahun 2022 lalu, jumlah kenderaan baru yang membayar pajak Bea Balik Nama Kenderaan Bermotor (BBNKB) I mencapai 104.110 unit. Itu artinya, jumlah kenderaan bermotor baru, yang bertambah di Aceh, pada tahun lalu sebanyak itu. Banyaknya jumlah kendaraan baru dan bekas yang masuk ke Aceh dan membayar BBNB sebenarnya menjadi indikator bahwa Aceh tidak miskin, apalagi termiskin di Sumatera. Pantas saja, selama ini ketika kita masuk ke kampung -kampung di Aceh, banyak rumah yang memiliki mobil yang diparkir di garasi atau di bagian depan rumah. Tak perlu kita sebutkan merek atau kelasnya. Yang penting kampung-kampung yang jauh dari kota pun banyak berseliweran mobil atau kendaraan roda empat, enam atau lebih. . Apalagi di wilayah kota seperti Banda Aceh dan kota-kota lainnya, jumlah mobil terlihat sudah begitu banyak. Apakah ini pertanda bahwa masyarakat Aceh sudah semakin makmur? Kita doakan saja demikian. Sebab bila masyarakat Aceh dan juga masyarakat Indonesia umumnya sudah makmur, angka kemiskinan pun akan berkurang, sehingga tidak lagi banyak pengemis, tukang badut dan lainnya yang mengais rezeki dengan meminta-minta di persimpangan jalan, di tempat -tempat kuliner atau di pasar-pasar.
Kita pantas ikut bahagia melihat semakin banyaknya kendaraan yang lalu lalang atau disimpan di garasi dan halaman rumah masyakat kita. Secara positif dalam perspektif ekonomi, bertambahnya jumlah kendaraan tersebut, menambah banyaknya pemasukan dari sektor pajak kendaraan. Artinya menambah banyak masuknya pendapatan untuk APBD.
Namun, meningkatkan jumlah kendaraan, baik sepeda motor mau pun mobil dengan berbagai jenis itu membawa dampak yang besar bagi masyarakat kota dan desa di Indonesia dan di Aceh khususnya. Ada banyak dampak yang bisa kita gali dan kemukakan. Satu di antara banyak dampak tersebut adalah dampak yang terkait dengan masalah perparkiran. Urusan parkir menjadi masalah di kota, seperti halnya di Banda Aceh yang merupakan ibukota Aceh. Idealnya, sebagai daerah yang status sebagai Provinsi yang bersyariah, sistem perparkiran harus lebih baik dibandingkan daerah lain yang tidak menyandang status syariah. Ya, idealnya persoalan itu bisa lebih baik, benar dan teratur, tetapi, melihat realitas seharian, kita ikut prihatin menyaksikannya.
Nah, ketika kita berbicara mengenai perparkiran kendaraan di kota kita, seperti halnya di Banda Aceh, kita akan membicarakannya paling kurang ada pada 3 tataran. Tataran pertama adalah pada tataran personal atau pribadi pengemudi atau pemilik kendaraan. Ada kebiasaan para pengemudi dan atau pemilik kendaraan harus parkir kendaraan mereka di depan warung atau toko yang dituju. Bila ruang parkir penuh, tidak mau memarkir sedikit jauh. Ya, mereka malas parkir sedikit jauh dari tempat yang mereka tuju. Misalnya, ketika mereka mau makan di sebuah warung makan, atau cafe dan sejenisnya, atau mau berbelanja di sebuah toko, mereka selalu saja harus parkir pas di depan toko atau warung tersebut. Bila tidak, tidak jadi singgah berbelanja atau makan di warung tersebut, walau ada ruang kosong yang jaraknya hanya beberapa meter dari lokasi yang dituju.
Kemudian, ada kebiasaan pengemudi atau pemilik kendaraan yang memarkir kendaraan di atas fasilitas pejalan kaki atau pedestrian track. Sehingga mereka merampas hak pejalan kaki, karena track untuk pejalan kaki sudah digunakan untuk memarkir kendaraan mereka, tanpa ada rasa bersalah. Wajar saja, bila kita geleng-geleng kepala atau merasa kesal melihat cara-cara pemilik atau pengendara memarkirkan kendaraan mereka, apakah sepeda motor atau mobil. Jangankan pejalan kaki, kita yang melihat saja merasa sangat terganggu dan jengkel melihat ketika para pemilik atau pengemudi kendaraan memarkir motor atau juga mobil seenak perut mereka. Mereka tidak peduli orang lain terganggu dengan cara mereka parkir kendaraan
Ini sebagai indikator rendahnya kesadaran pengemudi atau pemilik kenderaan untuk memarkir kendaraan dengan baik, benar dan teratur. Sehingga dalam banyak kasus kita melihat banyak kendaraan yang diparkir secara sembarangan. Bukan hanya itu, kita juga sering terganggu atau mengalami kesulitan saat memutarkan mobil di belokan memutar, ada yang memarkirkan mobil di sisi jalan di putaran itu, sehingga pengemudi mobil yang memutar, harus berhenti dan memundurkan mobil dan ikut mengganggu pengemudi dari arah belakang yang ingin lewat.
Tataran kedua, pada tukang parkir yang mengatur parkir di kawasan jalan yang banyak orang memarkirkan kendaraan, seperti warung kopi dan warung makan, dan lainnya yang tidak memiliki area parkir. Tukang parkir banyak yang menggunakan otoritasnya memarkir kendaraan sesuai dengan isi kepala mereka. Terkadang mengarahkan kendaraan hingga memakan badan jalan dan mengganggu pengguna jalan. Bukan hanya di jalan, tetapi juga mengarahkan pengemudi memarkirkan kendaraan secara berlapis dan memakai track pelajan kaki (pedestrian track).
Tataran ke tiga, terkait dengan pihak pemerintah kota yang tidak menyediakan fasilitas, tempat atau kantung-kantung parkir. Kalau pun membuat areal parkir, menggunakan halaman toko dengan kapasitas parkir yang sangat terbatas. Idealnya, di kota Banda Aceh harus dibangun kantong-kantong parkir yang terpadu di sebuah tempat yang luas dan tertata dengan baik, di mana para pengemudi yang akan nongkrong di cafe atau warung yang tidak memiliki ruang parkir yang cukup, bisa memarkirkan kendaraan mereka di kantung-kantung itu. Setelah memarkirkan kendaraan mereka di kantung parkir tersebut, mereka dapat berjalan kaki menuju tempat yang dituju. Sehingga tidak memarkirkan mobil atau kendaraan di sisi jalan yang sangat mengganggu pengguna jalan lainnya.
Para pejabat yang berwenang melakukan perencanaan pembangunan kota yang telah banyak berjalan, studi banding ke kota-kota lain di dalam negeri dan bahkan di luar negeri, bisa belajar lebih banyak dan mengaplikasi hasil pembelajaran dari studi banding tersebut, sehingga tidak sia-sia menghamburkan uang rakyat.
Kiranya, sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan populasi kendaraan di Indonesia dan di Aceh, pemerintah pusat dan daerah harus dengan cepat mengantisipasi dampak buruknya dengan melakukan edukasi kepada masyarakat dan juga membangun fasilitas-fasilitas perparkiran yang aman dan memadai, bahkan lebih sempurna dan tercukupi. Semua ini akan bisa lebih baik, apabila pemerintah pusat dan daerah atau kota memiliki komitmen yang kuat untuk menciptakan kota yang berperadaban. Semoga.