Oleh Bussairi D. Nyak Diwa
Bagian 14
Aku memohon izin kepada Nek Abu dengan khitmat sambil mencium tangan Beliau. Tak lupa aku memohon doa restu Beliau agar kelak cita-citaku menuntut ilmu tercapai. Beliau tidak berkata apa-apa kepadaku selain mengangguk-angguk. Bibir Beliau komat-kamit. Entah berdoa, entah berzikir, aku tak tahu. Setelah itu aku bergegas menaiki mobil yang sudah siap untuk berangkat.
Tapi ketika mobil yang disopiri oleh Abang Iparku itu akan bergerak, Nek Abu melambai-lambai dari pintu rumah Beliau. Beliau bergegas ke arah mobil, lalu memanggil-manggil namaku. Aku mau turun, tapi lewat kaca jendela mobil yang terbuka, Nek Abu melarangku turun sambil menyodorkan amplob berwarna putih kepadaku.
“Bus, ini dari Nek Abu untuk jajanmu diperantauan”, ucap Beliau lembut sambil tersenyum.
Aku terkejut. Tak menduga dapat oleh-oleh dari Nek Abu. Tapi karena takzimku kepada Beliau aku menerima kedua amplop berwarna putih itu dengan kedua tanganku.
“Alhamdulillah, terima kasih Nek Abu”, gumamku hampir tak terdengar.
“Gunakan uang itu untuk keperluanmu yang penting-penting saja. Itu hasil keringatmu selama kamu bekerja di pesantren”.
Aku terkejut mendengar ucapan Nek Abu. Aku tak pernah berpikir dan berharap akan mendapatkan imbalan dari Nek Abu. Sungguh, aku bekerja ikhlas karena Allah. Selama ini aku merasa senang karena Nek Abu telah menjadikan aku orang dekat dan kepercayaannya. Itu saja sudah cukup bagiku. Aku sangat bersyukur dan merasa bahagia.
Dengan rasa senang sekaligus terharu, kumasukkan kedua amplop itu ke dalam kantong belakang celanaku. Ketika Nek Abu sudah memasuki rumah dan mobil bergerak, aku mengancingi kantong belakang celanaku di mana kedua amplop tadi kumasukkan. Aku tak tahu berapa isi amplop itu. Aku berniat, nanti jika sudah sampai di Banda Aceh, baru kubuka kedua amplop itu.
Pukul sembilan pagi mobil bergerak meninggalkan kota kecil Bakongan yang penuh kenangan. Tak ada seorang teman pun yang tahu bahwa aku berangkat pagi ini. Aku sengaja tak memberitahukan kepada teman-teman se-SMA-ku. Aku takut nanti teman-teman juga akan mengikuti langkahku, minta pindah dari SMA swasta yang baru beberapa bulan dibuka. Jika ini terjadi, kemungkinan sekolah yang menjadi harapan masyarakat Bakongan itu akan tutup karena ketiadaan murid. Sedangkan di pesantren aku hanya pamit pada Teungku Cunda dua hari sebelum berangkat. Aku hanya bilang pada Beliau bahwa aku pindah sekolah ke Banda Aceh.
Ketika melewati komplek SMP, tempat di mana selama tiga tahun aku berjibaku sebagai siswanya dan selama setengah tahun sebagai siswa perdana di SMA, aku sempat menitikkan air mata. Aku sedih. Hatiku trenyuh mengenang semua apa yang telah kualami di sekolah yang sangat kucintai ini. Di mataku terbayang wajah teman-teman, guru-guru, dan segala yang terjadi selama tiga setengah tahun aku berada dalam naungannya. Terkenang masa-masa yang penuh suka-duka, masa-masa yang menyenangkan dan menyedihkan. Semuanya bergelut menjadi satu.
“Ah, seandainya…”, hatiku berbisik. Aku tak mampu melanjutkan kata andai yang tiba-tiba muncul dari lubuk hatiku itu.
Tiba-tiba aku teringat kedua orang tuaku yang kutinggalkan di kampung. Ayah, yang sehari-hari pergi ke sawah menggarap sawah dengan tanpa mengenal lelah. Ibu yang sehari-hari pergi ke kebun memungut buah pinang atau buah pala yang jatuh. Sekali-kali ibu juga pergi ke sawah membantu Ayah. Ketika musim tanam, Ibu pergi ke huma mencabut bibit padi yang akan ditanam Ayah. Bila padi sudah mulai tumbuh dan hijau Ibu juga membantu Ayah menyiangi rumput yang mulai tumbuh disela-sela batang padi. Dulu belum ada obat-obatan untuk membasmi hama rumput seperti sekarang. Satu-satunya jalan agar tanaman padi terhindar dari serangan rumput, hanya dengan menyianginya menggunakan ‘teungkiot’ yang dibuat khusus untuk itu. Ah, aku jadi terhiba-hiba mengenang ayah dan Ibu. Dalam hati, aku berdoa semoga Ayah dan Ibu sehat selalu dan kelak suatu saat nanti, kami dapat berjumpa lagi. Semoga Allah mengabulkan doaku….
(Bersambung)
BIODATA PENULIS
Drs. Bussairi D. Nyak Diwa, lahir di Bakongan pada 10 Juli 1965. Menyelesaikan sekolah tingkat SD dan SMP di kampung halaman Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan. Kemudian tahun 1983 hijrah ke Banda Aceh melanjutkan ke SMA hingga menyelesaikan S-1 di PBSI FKIP Unsyiah, 1991
Menulis puisi dan Cerpen sejak duduk di bangku SMA dan terus berkembang saat berstatus mahasiswa di Kampus Unsyiah. Bersama kawan-kawan mahasiswa pernah mendirikan Surat Kabar Mahasiswa Unsyiah Monumen pada tahun 1989 dan Majalah Kalam FKIP Unsyiah tahun 1990. Hingga saat ini baru menghasilkan dua Kumpulan Puisi Tunggal, empat Kumpulan Puisi Bersama, dan satu Kumpulan Cerpen Tunggal.