Oleh Alkhair Aljohore@
Johor, Malaysia
Untuk mengawali tulisan ini, penulis mengangkat sebuah puisi karya Tabrani Yunis, yang dipublikasikan di Potretonline.com, pada tanggal 6 Februari 2023. Puisi yang diberi judul Bahtera Dinasti. Puisi itu menginspirasi penulis untuk menuliskan atau mensyarakan sebuah artikel ini. Cuba kita simak sejenak dahulu puisi tersebut berikut ini.
Bahtera Dinasti
Bahtera besar ini kian terlihat reot
Besi dan baja penyangga mulai keropos
Geladak dan jangkar rapuh dimakan karat
Dinding-dinding basah pun mulai terkelupas
Bahtera besar ini kian oleng
Terombang- ambing hempasan gelombang
Para penumpang semakin bimbang
Ke manakah jangkar akan ditambang
Bahtera ini kian jauh dari daratan
Tinggalkan pantai menggapai tujuan
Entah ke mana nahkoda arahkan
Menuju depan malah ke buritan
Bahtera ini di ambang tenggelam
Dihempas badai siang dan malam
Nahkoda bingung pun kehilangan kendali
Tak mampu lagi mengenal diri sendiri
Bahtera ini terlalu sarat dengan amunisi
Mewujudkan mimpi membangun dinasti
Bahtera terseok ke kanan dan kiri
Lepas kendali lupa hati nurani
Seakan hidup beribu tahun lagi
Bahtera ini kian penuh sesak dengan pengungsi
Dipenuhi gemuruh isak tangis menyayat hati
Nahkoda tak peduli malah kian lupa diri
Mengejar mimpi untuk anak dan istri
Dinasti adalah birahi harga mati
Agar hidup bisa abadi
Banda Aceh, 6 Februari 2024
Usai membaca dan mendalami puisi tersebut, penulis menemukan sejumlah fakta dan catatan ketika melihat kondisi politik suatu negeri secara tersirat dan tersurat dari puisi tersebut dan dalam realitas kehidupan politik. Ada kegalauan Tabrani Yunis melihat isu politik dinasti yang tengah bergema di negerinya Indonesia menghadapi Pemilihan Umum di Indonesia pada tanggal 14 Februari 2024. Penulis pun ikut berempati dengan hal itu, sehingga artikel ini hadir sebagai bahan pemantik dan diskusi untuk kita.
Sangat sulit untuk memprediksi arah tuju kapal politik dinasti dan nepotisme dengan pasti. Namun, ada beberapa perubahan dan pergeseran yang dapat diidentifikasi.
Pertama ; ada peningkatan kesadaran publik tentang pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam politik. Semakin banyak orang yang menyadari efek negatif dari nepotisme dan politik dinasti, sehingga dapat menghasilkan tuntutan untuk perubahan.
Kedua ; dengan perkembangan teknologi dan media sosial, informasi dapat dengan cepat menyebar dan terhubung dengan banyak orang. Hal ini memungkinkan rakyat untuk lebih cepat mendapatkan informasi tentang tindakan politik nepotisme dan dinasti, sehingga dapat meningkatkan tekanan dan permintaan reformasi.
Ketiga ; beberapa negara telah menerapkan langkah-langkah untuk mengurangi praktik nepotisme dan dinasti politik. Misalnya, beberapa negara telah membuat undang-undang untuk melarang anggota keluarga memegang jabatan politik yang berikutnya secara langsung. Selain itu, badan pemberantasan korupsi dan lembaga pengawas independen juga dapat memberikan dorongan untuk menghentikan praktik ini.
Namun, tetap kami perlu menyadari bahwa politik dinasti dan nepotisme bukanlah masalah yang dapat diselesaikan dalam semalam. Perubahan yang berkelanjutan membutuhkan waktu dan upaya yang konsisten dari pemerintah, masyarakat sivil, dan seluruh masyarakat untuk menciptakan budaya politik yang lebih inklusif dan demokratis.
Alkhair Aljohore@
Johor, Malaysia
8.2.24