Cerpen Fileski
Namanya Sumarni, janda kaya yang ada di dusun ini. Rumah yang dia tempati termasuk yang megah di antara rumah-rumah lainnya di sepanjang jalan ini. Bedanya rumah milik Sumarni punya halaman paling luas. Di halaman itu ada sebuah pohon besar, yang dibawahnya ada sebuah batu nisan, yang konon katanya itu punden yang dikeramatkan di dusun ini. Walaupun bukan satu satunya rumah mewah yang ada di sini. Masih ada rumah-rumah mewah lainnya, di jalan dusun yang lainnya, biasanya ada dua sampai tiga rumah mewah di setiap jalan di dusun ini. Semuanya sama, dibangun dari uang luar negeri, alias hasil kerja sebagai TKW.
Sudah jadi kultur masyarakat sini, para gadis di sini, ketika lulus SMK, kalau tidak nikah sama lelaki kaya, ya langsung ambil karir sebagai TKW. Masyarakat desa yang dulunya identik dengan hidup sederhana, ayem tentrem tidak neko-neko, sudah tidak berlaku hari ini. Di desa hawanya sering panas, bukan karena akibat polusi seperti di kota, tapi panas karena ketika melihat tetangga beli kulkas baru, atau TV layar lebar, motor keluaran terbaru, atau mobil baru.
Pengaruh media sosial seperti tiktok atau status WA memang luar biasa, itu yang membuat suasana Desa jadi semakin panas. Kita bisa saling intip kabar terbaru dari tetangga, intip gaya hidup layaknya selebriti ibu kota, padahal hidupnya di desa. Mode pakaian seperti Syahrini misalnya, sangat laris diminati masyarakat sini, setiap apapun yang dipakai Syahrini, mulai dari gelang, tas, hingga desain baju, akan diburu. Meskipun barang KW sembilan, yang penting bisa bergaya seperti Syahrini, dan bisa posting status yang bisa bikin panas tetangga.
Kembali kita bahas Sumarni, kini ia berusia 55 tahun. Usia yang sudah tidak lagi muda. Namun gayanya masih seperti wanita usia 25. Bedak tebal, untuk menutupi keriput wajahnya. Cara berpakaian seperti wanita muda, dengan celana jeans dan kaos berwarna cerah. Ia menolak tua. Sepertinya ia tidak percaya kalau sekarang ia sudah tua. Menolak tua. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Rasanya baru kemarin ia merantau di Jakarta, ketika parasnya masih belia. Berjuang menghadapi kerasnya ibu kota, untuk membawa nasib yang lebih baik buat keluarga di desa.
*****
Perantauannya di Jakarta mempertemukan dia dengan seorang lelaki yang bekerja sebagai satpam bank. Lelaki itu bernama Suharjo, biasa dipanggil Harjo. Marni pertama kali bertemu Harjo ketika hendak kirim uang kepada keluarganya di desa. Uang hasil kerjanya sebagai asisten rumah tangga di sebuah perumahan elite. Ketika itu Marni sedang memasukkan uang di mesin ATM setor tunai, namun Marni lupa mencabut kartu ATM miliknya. Untunglah ada mas Harjo yang melihat kejadian itu, mengamankan kartu ATM milik Marni, dan memanggilnya. Dari kejadian itulah mereka mulai berkenalan dan saling bertukar nomor ponsel.
Sesama perantau, membuat mereka berdua merasa senasib seperjuangan. Bertahan hidup menghadapi kerasnya ibu kota, akan sangat melelahkan jika tak punya teman untuk berbagi cerita. Kerap kali sepulang kerja, mereka jalan-jalan cari makan di daerah Bulungan, sekedar cari makanan di pinggir jalan, dan asik ngobrol menghabiskan malam di pinggir trotoar. Sederhana tapi mesra.
Keakraban mereka menumbuhkan cinta. Rasa saling membutuhkan, rasa saling ketergantungan. Akhirnya mereka berdua menikah. Kerasnya Jakarta telah mempertemukan dua hati dari Sragen dan dari Kebumen. Awalnya kehidupan mereka normal-normal saja. Marni dengan rutinitas kerja di rumah majikannya, dan Harjo dengan kesibukan sebagai satpam di bank. Setelah menikah, tak ada perubahan yang berarti. Bahkan beban hidup bertambah, setelah mereka berdua mempunyai anak.
Gaji bulanan dirasa kurang untuk memenuhi kebutuhan, belum lagi harus kirim uang untuk orang tua di desa. Dalam kondisi terdesak ekonomi, Marni bertahan sampai anaknya lepas menyusui. Kemudian mengirim anaknya ke desa, agar dirawat neneknya. Satu masalah terselesaikan, namun tetap saja belum begitu mengurangi beban ekonomi.
“Jika begini terus, kapan kita bisa jadi orang kaya mas?” celetuk Marni kepada suaminya.
“Ya mau gimana lagi, di sini kita cuma buruh, mana mungkin bisa jadi kaya, kalau pura-pura kaya mungkin masih bisa, misalnya waktu mudik kita sewa mobil, biar tetanggamu di desa melihat kita seperti orang sukses dari perantauan” jawab Harjo.
“Maksudmu mas? Kita boleh miskin tapi sombong gitu ya?” ekspresi Marni heran.
“Ya begitulah nasib wong cilik di ibu kota, yang tersisa hanya harapan dan kebanggaan ketika pulang lebaran, tidak perlu punya angan-angan yang ketinggian”
“Tidak bisa mas, kita harus jadi orang kaya, aku tidak mau hidup di pemukiman kumuh ini sampai tua, aku tidak mau mati di gang sempit yang banyak tikusnya ini, kita harus mengubah nasib mas!!!” pungkas Marni dengan berapi-api.
Keputusan Marni untuk mendaftar di PJTKI, menjadi solusi yang tak terelakkan lagi. Sepertinya hanya itu solusi untuk bisa dapat uang banyak, bisa bangun rumah mewah, mengandalkan kurs mata uang asing, meskipun hanya bisa menjual jasa sebagai pembantu rumah tangga. Artinya kedua pasangan suami istri itu harus berpisah, demi cita-cita mereka bisa hidup layak di kemudian hari. Harjo tetap tinggal di Jakarta, sedangkan Marni merantau di Hongkong.
Dua tahun setelah mereka terpisah jarak. Komunikasi semakin renggang. Kebutuhan ekonomi membuat mereka tak merasakan lagi romantisme dan kerinduan layaknya sepasang kekasih. Harjo sebagai lelaki normal, yang tentu secara biologis setiap tiga hari spermanya penuh, membutuhkan sosok perempuan untuk memenuhi kebutuhan. Singkat cerita, Harjo menikah secara siri dengan seorang wanita lain. Kabar itu pun terdengar Marni.
Harapan yang mereka cita-citakan harus kandas oleh keadaan. Kini sudah tak ada lagi nama Harjo di daftar rencana masa depan Marni.
“Tega sekali kamu mas! aku di sini kerja keras cari uang untuk tabungan masa depan kita, agar bisa hidup layak, punya rumah bagus, hidup tenang di desa, tapi kenapa kamu menikah lagi?” dengan nada meninggi, Marni marah pada suaminya via telepon.
“Maaf dik, aku sudah tidak kuat hidup tanpa perempuan, bukan harta yang aku cari, aku butuh kasih sayang, buat apa banyak uang kalau harus dipisahkan keadaan, bukankah lebih enak selalu bersama meski hanya bisa makan nasi dan garam saja” bantah Harjo.
“Oke kalau itu pilihanmu mas, aku tidak mau dipoligami, aku mau cerai! Dan aku minta hak asuh anak kita!” Marni sudah tidak bisa membuat Harjo meninggalkan wanita pilihannya, keduanya sudah tidak satu tujuan. Konsep rumah tangga yang Harjo utarakan sangat bertentangan dengan tujuan dan harapan Marni.
Kepulangan Marni saat lebaran kali ini, tanpa suaminya. Sekaligus ia mengurus perceraian dan meminta hak asuh anaknya, dengan alasan Harjo tak mampu menafkahi istri dan anaknya. Hak asuh pun dimenangkan Marni dan mereka berdua resmi cerai. Berakhirlah kisah cinta antara Suharjo dan Sumarni.
Hari demi hari berlalu, Marni tetap teguh dengan ambisinya membangun harapan di desa. Pelan tapi pasti, uang tabungannya semakin banyak. Ia gunakan untuk beli tanah, membangun rumah. Juga memperbaiki rumah orang tuanya di desa. Sementara rumah mewah yang ia bangun, ditempati anaknya. Sampai kontraknya habis sebagai TKW.
*****
Sepulang ia ke desa. Menyandang status sebagai janda kaya. Kembali kita bahas Sumarni, kini ia berusia 55 tahun. Usia yang sudah tidak lagi muda. Namun gayanya masih seperti wanita usia 25. Ia merasa hampa, semua harapan sudah diraihnya, rumah mewah, punya tanah, emas dan tabungan, semua telah didapatkan. Namun tanpa ia sadari, ia telah kehilangan satu hal yang paling berharga, yaitu waktu. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, rasa-rasanya baru kemarin ia sebagai seorang remaja desa yang merantau di Jakarta. Tau-tau hari ini, usianya sudah kepala lima. Dengan anaknya pun, ia kurang akur. Setiap melihat anaknya, teringat dendamnya pada mantan suaminya yang telah menghianatinya. Hari-hari selalu terdengar ia bertengkar dengan anaknya yang laki. Bahkan seringkali anaknya tidak pulang, karena tidak kerasan tinggal di rumah mewah itu.
Didera kesepian dan kehampaan, sendirian di rumahnya yang besar, mengadu ia pada Tuhan. Jiwanya masih muda, belum sempat menikmati indahnya kehidupan, tapi usianya sudah senja. Ia yakin Tuhan bakal kasihan padanya. Tiga hari tiga malam ia menangis di dalam kamarnya yang mewah. Dari jendela kamarnya, terlihat cahaya menyilaukan. Seperti bintang jatuh, benda itu jatuh tepat di punden belakang rumahnya. Berkat adanya punden itu juga, ia bisa membeli tanah yang luas dari uang tabungannya. Karena penduduk sekitar tidak ada yang berani membeli tanah keramat yang ada pundennya itu.
Benda itu masih memancarkan cahaya berkilauan. Marni mendekatinya, perasaannya bercampur antara takut dan penasaran. Sesampainya ia cukup dekat di lokasi jatuhnya benda bercahaya itu, terdengar suara.
“Marni jangan takut, aku hadir untuk membantumu, tangismu terdengar sampai ke langit, dan aku ingin menolongmu” ternyata batu itu bisa bicara. Marni diam seribu bahasa, ia hanya menyimak tak menjawab.
“Ambil batu ini, dan telan, jangan muntah atau terjatuh pecah, itu akan menolongmu, mengembalikan usiamu” dengan perlahan, Marni mulai meraih batu yang sebesar kelereng itu, cahayanya meredup ketika sudah dalam genggamannya, batu itu lebih mirip mutiara.
Ia ambil batu itu, dan membawanya masuk ke dalam rumah. Tanpa pikir panjang, ia ambil segelas air, ia telan batu itu. Reaksinya membuat sekujur tubuhnya merasakan demam yang sangat dahsyat. Ia menggeliat kesakitan, menggigil badannya, dan perlahan kulitnya keluar sisik seperti ular.
Paginya, ketika sinar matahari membelai wajahnya dari balik jendela. Ia terbangun dari pingsannya. Melihat di sekelilingnya ada banyak bekas sisik ular, orang jawa menyebutnya nglungsungi. Melihat ke cermin, ia terkejut, melihat wajahnya yang tak biasa, teringat wajahnya yang masih kencang dan mulus di usia 20an.
“Ya Tuhan, apakah ini nyata?” sembari ia meraba pipi dan dagunya di depan cermin. (*)
Fileski (W.Tanjung Files)
Penulis kelahiran Madiun 1988, aktif menulis prosa dan puisi di berbagai media. Produktif berkarya bersama komunitas Negeri Kertas. Kerap tampil dalam Resital Puisi di berbagai acara sastra dengan memainkan instrumen biola, flute, saxophone, dan clarinet. Hingga kini masih mengajar seni budaya di SMAN 2 Madiun. WA 628888710313.