Oleh Yurisa
Bagi kita, semua kehilangan sosok yang dicinta adalah sebuah luka yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Raut wajah yang muram, air mata yang tumpah menjadi jawaban atas perasaan yang tengah dirasa.
Hari itu seperti hari biasanya. Pagi hari yang cukup cerah, kami berangkat sekolah. Sebelumnya ada sarapan pagi yang tak boleh terlewatkan. Yap, aku beserta kedua adikku harus menghabiskan nasi yang sudah disiapkan oleh Ibuku. Setelah itu, kamipun berangkat ke sekolah yang tidak jauh dari rumah.
Sepulangnya dari sekolah, aku menyetrika pakaian yang tumpukannya bak gunung Himalaya. Terasa terlalu tinggi untuk ukuran tangan mungilku yang masih SMP kala itu. Ketika sedang menyelesaikan pekerjaan tadi, Bapak mengajakku untuk pergi mengambil buah rambutan di rumah nenek bersama kedua adikku. Namun, Ibuku menyarankan aku untuk tidak ikut pergi ke rumah nenek yang lumayan jauh jaraknya dari rumah, dikarenakan harus menyelesaikan setrikaan yang menggunung.
Setelah selesai menyelesaikan pekerjaan tadi. Kakiku mulai melangkah pergi ke sungai, sambil membawa ember yang berisi tumpukkan piring kotor. Mencuci piring dan pakaian kotor di sungai menjadi aktifitas keseharianku. Tak hanya aku, semua orang di kampungku melakukan aktivitas yang sama sepertiku. Sungai menjadi sumber daya alam yang sangat bermanfaat untuk kehidupan kami.
Selesainya mencuci piring, aku terus berjalan menuju rumah. Terlihat dari kejauhan ramai sekali orang yang mendatangi rumahku. Terdengar suara riuh yang terdengar di telingaku. Akupun mempercepat langkahku agar mengetahui apa yang terjadi. Ketika sampainya di depan pintu halaman, entah beberapa pasang mata menatapku dengan sendu.
Saat langkah kakiku masuk ke dalam rumah. Ada seseorang yang menghampiriku seraya berbisik “ Bapak sudah meninggal jatuh dari pohon rambutan.” Seluruh badanku terasa lumpuh, bibirku bergetar sambil mengucap ” Innalila wa innailaihi rojiun”. Tanpa sadar tubuh mulai terjatuh, pikiran menjadi bau-abu, air matapun tumpah tanpa ragu. Berita ini membuat hati pilu dan dunia terasa telah runtuh.
Tibanya di rumah nenek, kutemui tubuh Bapak terbujur kaku. Kulihat kain panjang telah menutupi seluruh tubuhnya. Ibu yang telah datang mendahuluiku telah membacakan surat Yasin sambil menahan tangis. Tak terhitung berapa pasang mata yang menangiskan kepergiannya. Hatiku sangat sulit menerima kenyataan di depan mata. Perlahan kudatangi sosok Bapak dengan iringan air mataku. Kudekati Ibuku yang sedang mengandung dan kupeluk dengan erat tanpa kata. Aku mencari sosok kedua adikku yang tadi pergi bersama Bapak. Terlihat adik bungsuku yang waktu itu berumur 5 tahun sedang terdiam sembari menatap tubuh Bapak dan satu lagi adikku sedang terdiam sambil menangis.
Kedua adikku yang mejadi saksi jatuhnya Bapak dari pohon rambutan menjadi sangat trauma ketika melihat pohon rambutan yang dinaikki Bapak. Ketika Bapak jatuh dari pohon rambutan adikku yang kala itu sedang duduk di bangku Sekolah Dasar dan TK sudah berusaha keras untuk berteriak meminta tolong kepada orang-orang, namun tidak ada satupun yang mendengar. Hingga akhirnya, setibanya perawat yang datang, nyawa Bapak tidak bisa diselamatkan.
Hari itu sepeninggalnya Bapak, aku beserta adik dan kakakku menyandang status baru, yaitu sebagai anak yatim. Begitupula dengan Ibuku, beliau besatus janda ketika sedang menandung adikku.
Suasana rumah menjadi sedikit berbeda, tidak ada lagi sosok Bapak yang ditunggu kepulangannya. Tidak ada lagi jam antar makanan di tempat kerja Bapak. Tidak ada lagi senyum manis yang terukir manis di wajahnya. Tak ada peninggalan foto antara aku dan Bapak. Semua memori indah tereka dalam hati dan pikiran.
Menjalani proses meridhoi seseraong yang dicintai adalah proses yang tidak mudah. Berbagai kekhawatiran muncul begitu saja dan terasa sulit untuk ditepiskan. Mengkhawatirkan masa depan, bagaimana cara mencukupi kebutuhan yang semakin meningkat, kejahatan yang bisa datang kapan saja, dan beragam kekhawatiran lainnya.
Tentu tidak mudah menjalani hidup tanpa sosok Bapak. Seperti yang kita ketahui bahwa seorang Bapak adalah sosok yang memiliki kewajiban mencari nafkah untuk keluarga, menjadi sosok suami dan Bapak yang baik dan patut dicontoh di dalam keluarga. Dan saat itu, sosok itu telah pergi untuk selamanya. Kami tidak lagi bisa berjumpa beliau di dunia, akan tetapi kami berdoa dan selalu berharap Allah akan mempertemukan kembali di Surga-Nya.
Aku memiliki 1 orang kakak perempuan yang pada saat itu sekolah SMA yang jauh dari rumah, dan sekolah tersebut menyediakan asrama untuk para peserta didiknya. Aku memiliki 2 orang adik yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar, dan Taman Kanak-Kanak. Aku sendiri pada saat itu, aku sedang duduk di bangku sekolah SMP.
Sepeninggal Bapak, Ibu yang menggantikan perannya sebagai tulang punggung keluarga. Tak hanya itu, Ibu harus merangkap peran sebagai Ibu dan Bapak bagi kami semua. Tak bisa terbayangkan bagaimana terkurasnya pikiran dan tenaga untuk menyanyangi, mengasihi, dan berjuang untuk mencukupi kebutuhan kami. Menjalani kehidupan tanpa sosok Bapak menjadikan kami bertanya, “Apakah kami mampu melewati ini semua?”. Ternyata ketika kita percaya takdir ini adalah takdir yang terbaik yang harus dijalani, maka Allah akan mampukan untuk melewati ini semua.
Beberapa bulan sepeninggalnya Bapak, Ibukku melahirkan anak kelimanya dengan jenis kelamin laki-laki. Sungguh wajahnya sangat mirip dengan Almarhum Bapak. Kami sangat senang dengan kehadiran adik terakhir kami. Akan tetapi ada satu kesedihan yang tak bisa terelakan. Dia lahir ke dunia tanpa seorang Bapak.
Ada satu momen yang tak bisa terlupan. Ketika adik bungsuku beranjak usia 4 tahun dia mulai merasa ada yang kurang di dalam keluarganya. Ketika dia pulang sekolah TK, ia berlari begitu kencang menghampiri Ibu seraya bertanya “ Bu, Bapak adek mana? Temen-temen yang lain punya Bapak. Kalau pulang sekolah mereka dijemput Bapaknya, adek kenapa nggak pernah?”.
Kalaulah mengukur kesedihan yang aku derita. Lebih sedih lagi adik bungsuku yang tidak pernah sekalipun melihat sosok Bapak di dunia.
Jangan bertanya sebanyak apa air mata kami tumpahkan untuk menjalaninya, seberapa sering kami menelan hal yang tidak sesuai keinginan, seberapa sedihnya ditinggal orang yang dicinta. Semua perasaan itu akan bisa dilewati dengan iman yang tumbuh di dalam hati. Dan selalu ingat ada yang sangat dekat dengan kita, dan Allah yang senantiasa menolong kita.
Sungguh sangat menyayat hati untuk menerima kenyataan ini. Jikalau tidak ada Allah yang memberi kami kekuatan, maka kami akan hancur berantakan. Jikalau tidak ada iman, tidaklah mungkin bisa kami bertahan. Ini semua karena Allah yang mampukan. Berdamai dengan takdir dan menerima takdir dengan kelapangan hati menjadikan hati lebih lapang untuk menjalani.
Jika harus dipikir dengan logika dan menghitung dengan kalkulator dunia, maka gaji Ibuku selama sebulan kerja tidak mungkin bisa mencukupi kami. Bersyukur dengan apa yang dimiliki hari ini membuat Allah mencukupkan semua kebutuhan kami. Allah gerakkan hati orang-orang di sekitar kami untuk membantu kami. Sehingga Allah cukupkan kebutuhan kami.
Jangan pernah lupa kita memiliki Allah yang Maha Kuasa. Rasa sedih, rasa senang, rasa gundah itu hadir atas izin-Nya, dan Allah sebagai tempat untuk mengadu segala rasa. Kita harus yakin dengan sepenuhnya bahwa Allah akan hadirkan ketenangan di dalam jiwa.
Aku tidak pandai dalam berkata langsung untuk menyampaikan hal ini kepada Ibu, melalui tulisan ini aku dengan tulus mengucapkan terimakasih kepada Ibuku tersayang. Ibu hebat, luar biasa, Ibu yang selalu berjuang keras menghidupi kami. Ibu yang selalu menampakkan rasa bahagia di kala kita berkumpul bersama, tapi kami tahu Ibu menangis sendiri ketika matahari tak lagi menampakkan sinarnya. Kami tahu begitu berat menjalani ini semua. Kami tahu Ibu sangat lelah untuk mengurusi kami semua. Semoga Allah memberikan kesehatan dan pahala yang berujung surgayang tertinggi di sisi-Nya. Terimaksih sudah membesarkan kami dengan penuh cinta dan kasih sayang, telah memberi makanan yang sehat, pakaian yang layak, tempat tidur yang nyaman, pendidikan yang baik. Kami semua sayang Ibu karena Allah.
* Penulis berdomisili di Aceh Timur