Oleh : Ragil Kuning
“Masuk, Nduk! Udara di luar semakin dingin,” teriak Ibu memanggilku dari dalam rumah. Aku hanya menggeleng pelan. Semakin kurapatkan kedua lututku ke dada.
Melihatku tak jua beranjak, Ibu mendekatiku. Duduk di sampingku dan sekilas kulihat ada kekhawatiran di mata Ibu.
“Kamu kenapa, Nduk? Boleh Ibu tahu??” Ibu membelai rambutku. Tapi aku masih enggan membuka mulut ini untuk menjawabnya. Yang ada, aku justru menangis tertahan.
“Kok malah nangis? Sebenarnya ada apa to, Nduk?” Ibu menanyaiku.
“Mawar tak mau menikah dengan Mas Jono, Bu. Tolong bilang Bapak, Mawar tak mau!” Kusandarkan kepala di pangkuan Ibu. Ibu menghela nafas, seolah ingin melepaskan sebuah beban yang tengah menghimpit dadanya.
“Sebenarnya Ibu tahu kalau cintamu hanya untuk Arman. Tapi kapan dia akan melamar kamu? Sementara sudah sebulan yang lalu keluarga Jono datang ke sini lengkap dengan lamarannya. Bapakmu terpaksa menangguhkan jawaban hanya untuk menunggu Arman. Bapakmu harus memberikan jawaban pada keluarganya Jono, Nduk!”
“Lalu, Mawar harus bagaimana Bu?”
“Suruh Arman melamarmu dalam dua hari ini! Itu jalan satu-satunya, Nduk.” Ibu kembali mengusap kepalaku. Tak berapa lama, beliau beranjak pergi. Meninggalkan aku yang masih bingung bagaimana harus mengatakan semua ini pada Mas Arman.
Krrriiiiiingggg…
Ponsel yang sejak tadi kukantongi tiba-tiba berbunyi. Kulihat nomor Mas Arman yang meneleponku. Tanpa menunggu lama, kuangkat telepon dari Mas Arman.
“Iya, halo Mas.” Aku menyapa duluan.
“ aku punya kabar gembira untukmu. Besok, Bapak-ibuku akan datang melamarmu”. Ada nada gembira yang terdengar dari suara Mas Arman. Aku yang belum siap dengan berita itu hanya bisa diam membisu, tapi hatiku melonjak bahagia. Ada detak-detak tak teratur yang membuat jantung ini semakin cepat terpacu.
“War, kok diam? Kamu tak suka?” Suara Mas Arman memecah kediamanku.
“Eh, iya… ya Mas… Mawar senang kok. Senang banget malah,” aku mencoba menutupi kegugupanku. Jika saat ini Mas Arman berada di depanku, aku pasti sudah malu karena wajahku pasti berubah merah.
“Ya sudah, tunggu aku ya! Aku sayang kamu, Mawar.”
Tanpa sanggup menjawabnya, aku hanya mengangguk-angguk mendengar suara Mas Arman, meski kenyataannya dia di seberang tak melihat apa yang kulakukan.
Begitu telepon ditutup, aku berlari ke dalam rumah persis seperti anak kecil yang menang lotre.
“Kamu kenapa, Nduk? Kok senyum-senyum sendiri?” Bapak menyambutku dengan tanya.
“Mawar senang, Pak-Bu. Besok Mas Arman dan keluarganya melamar Mawar.” Aku peluk Ibu dan Bapak secara bergantian.
“Alhamdulillah… akhirnya Bapak tak perlu repot-repot menjawab lamaran Jono dan keluarganya, Ndukkarena kamu sudah menentukan pilihanmu. Semoga Arman menjadi jodoh dunia akhiratmu.”
“Amiiiiinnn!” aku dan Ibu serentak mengamini doa Bapak. Kulihat mata Bapak berkaca-kaca.
***
Kesibukan mulai kurasakan di rumahku. Meski ini baru lamaran, tapi Bapak ingin semuanya terlihat sempurna ketika menyambut keluarga Mas Arman. Apalagi status sosial Bapak di desa ini cukup mendapatkan tempat. Bapak adalah sesepuh di desa ini.
Bulik Ni baru saja selesai mendandaniku. Bulik yang memang perias manten itu dengan sukses membuat wajahku nampak berbeda dari biasanya. Sanggul modern sederhana telah terpasang rapi di rambutku. Bau wangi juga merebak dari roncean melati yang melingkari sanggulku. Di hari yang istimewa ini, aku mengenakan kebaya putih yang berpadu dengan bawahan batik warna senada. Seperti pengantin saja, pikirku.
“Kamu cantik sekali, Nduk. Arman nanti pasti akan pangling melihatmu.” Ibu mencolek daguku. Dipandanginya aku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku merasa malu saat Ibu melihatku seperti itu. Rona bahagia tak bisa lagi kusembunyikan.
Jujur, aku sangat bahagia sekali.
Pukul 10.00 tamu-tamu undangan sudah pada berdatangan. Aku pun sudah menunggu bersama Bapak-Ibu di ruang utama. Hatiku semakin berdebar menunggu kedatangan Mas Arman dan keluarganya.
Siang semakin panas, namun Mas Arman dan keluarganya belum datang juga. Bapak terlihat gelisah. Bisik-bisik lirih mulai terdengar dari para tamu yang duduk di belakangku. Tiba-tiba terdengar telepon rumah berdering. Bapak segera mengangkatnya. Aku tak tahu siapa yang menelepon, yang jelas kulihat saat itu tiba-tiba raut wajah Bapak berubah. Bapak terduduk lesu. Telepon ditutup.
“Ada apa Pak? Siapa yang telepon?” kali ini Ibu tak bisa membendung rasa penasarannya.
“Dari rumah sakit, Bu. Arman dan keluarganya mengalami kecelakaan dalam perjalanan ke sini. Arman meninggal.” Bapak tak mampu lagi menyembunyikan rasa sedihnya.
“Tidaaaaaaaaaaakkk… Mas Armannn!” aku berteriak histeris. Tiba-tiba kepalaku terasa berdenyar hebat dan sesaat kemudian semua terasa gelap.
***
“Sadar, Nduk! Istighfar,” Ibu membelai rambutku begitu aku tersadar.
Pandanganku nanar. Hatiku teercabik-cabik. Jiwaku benar-benar hancur.
Bapak menyodorkan segelas teh hangat padaku. Aku hanya menggeleng. Rasa mual tiba-tiba menderaku. Tapi aku berusaha untuk menahannya.
“Tolong tinggalkan Mawar sendirian Pak, Bu!” aku meminta kesediaan Bapak dan Ibu untuk keluar dari kamarku. Beliau berdua pun akhirnya keluar. Pintu kamar ditutup. Hanya terdengar isak tangisku sambil menyebut-nyebut nama Mas Arman.
“Mas, mengapa kamu tega padaku? Janjimu kamu akan datang hari ini melamarku, tapi mengapa kamu malah tinggalin aku, Mas? Aku ingin mati. Tapi bagaimana dengan jabang bayi kita? Tidak semestinya dia ikut menanggung dosa kita.” Isakku semakin menjadi. Rasa kehilangan dan beban yang akan kutanggung setelah ini, terasa berat membayang di pelupuk mataku.
Aku masih saja tergugu dalam penyesalan. Di tengah luka hati ini, mual kembali menyerangku. Kuelus dengan lembut perutku yang belum terlihat membuncit. Aku sadar, kini di rahimku telah tumbuh janin tak berdosa akibat perbuatanku dengan Mas Arman. Hanya aku dan Mas Arman yang tahu.
Aku lupa kalau manusia hanya bisa berencana, tapi Allah lah yang tetap berwenang. Kini, bukan bahagia yang kuraih, justru malu yang mencoreng masa depan dan keluargaku. Maafkan Mawar, Pak-Bu.
~00000~