Oleh Fileski ( W.Tanjung Files)
Madiun, Jawa Timur
Kanjeng menangis sejadi jadinya, karena pohon keramat warisan keluarganya telah tumbang. Pohon itu ada di halaman sebuah rumah kuno, yang tak begitu terawat. Banyak dedaunan kering yang terjatuh dari pohon jambu mete itu. Rumah itu satu satunya yang diwariskan ibunya. Namun harus dibagi dua dengan kakaknya yang sudah almarhum, sehingga ahli warisnya menurun pada anaknya. Sebut saja namanya KSB, singkatan dari Kanjeng Sastro Bawana, namun aku biasa memanggilnya dengan sebutan Kanjenge. Ia hidup menjomblo sejak usianya sudah tidak lagi primadona.
*****
Betul, dulu ia adalah seorang primadona. Pemuda yang ganteng, selalu jadi bintang atau lakon utama di setiap pagelaran ludruk di kabupaten kami. Siapa yang tak terkagum-kagum dengan ketampanannya, juga bakat yang luar biasa, ia bisa menari, nembang jawa, bahkan pintar meramal. Para perempuan ketika itu suka curhat padanya, dan di akhir perbincangan selalu menanyakan nasibnya. Ya, itu namanya meramal, meski ia tak mau disebut sebagai peramal.
Suatu hari ia jatuh cinta pada seorang gadis dari Bali. Parasnya cantik, putih, mulus. Kanjenge jatuh cinta pada pandangan pertama. Seorang gadis dari Bali yang berlibur ke Jawa, untuk sambang ke rumah saudaranya. Kebetulan rumah saudara gadis itu terpaut beberapa rumah saja dari rumah Kanjenge.
Suatu pagi, ketika Kanjeng sedang menyapu halaman, gadis itu lewat di depan rumahnya. Rambutnya terkibas tertiup angin pagi, semerbak bau melati membius matanya, yang tak berkedip sedetikpun ketika gadis itu lewat. Ia terperangah, yang biasanya ramah menyapa setiap orang yang lewat depan rumahnya, di depan gadis itu, Kanjenge tak berdaya mengucap satu patah kata pun.
Penasaran dengan kehadiran gadis itu, Kanjenge lalu mencari tahu. Usut punya usut, dengan bertanya kepada tetangga sekitar, Kanjeng pun tau siapa gadis itu. “Jo Bejo, kamu tau siapa gadis cantik yang tinggal di rumahnya mbok Padma?” tanya Kanjenge dengan penuh antusias.
“Oh itu si Tantri, dia datang dari Bali, liburan buat nyambangi keluarganya di sini, denger-denger dia akan di sini beberapa minggu. Kenapa? Kanjenge penasaran ya, atau jangan-jangan sampian jatuh hati padanya?” tebak bejo dengan canda menggoda.
“Hussss, sok tau kamu Jo. Ya heran saja, kok ada gadis cantik, kayak bukan orang sini, ternyata benar datang dari seberang” respon Kanjeng.
Semenjak pertemuan dengan Tantri, mulai saat itu Kanjeng tak pernah tidur tenang. Selalu terbayang wajah Tantri yang putih dan mulus. Sebagai primadona pemain ludruk di kabupaten ini, ia yakin bisa mendapatkan hati Tantri. Rasa-rasanya Kanjeng sudah yakin dengan hatinya, ia ingin menjadikan Tantri sebagai dermaga tujuan hidupnya.
Dari sekian banyak perempuan yang mengejarnya, Kanjeng merasakan hambar, tak ada yang bisa membuat hatinya bergairah.
Tujuh hari berlalu, Kanjeng tak berani sekalipun menyapa Tantri. Ia takut gagal, ia takut melakukan kesalahan, satu hari saja ia salah langkah, mungkin Tantri akan punya kesan buruk, istilah anak muda sekarang disebut ilfeel. Ia sangat memperhitungkan momentum yang tepat untuk bisa berkenalan dengan Tantri. Akhirnya tibalah pada suatu ketika. Ternyata Tantri suka makan jambu mete. Meski kebanyakan orang jarang ada yang mau makan buah jambu mete. Biasanya kalau di daerah sini, buah jambu mete diolah secara fermentasi, dan dibuat minuman beralkohol. Setiap sore Kanjeng mengumpulkan jambu mete yang jatuh di halaman rumahnya, yang kemudian dijual ke pengepul, dan selanjutnya diolah untuk jadi minuman. Ketika Tantri lewat di depan rumahnya “Selamat sore mas, jambu metenya banyak ya mas?” tanya Tantri dengan suaranya yang lembut.
“A… aaa anu, oh iya mbak, banyak buahnya, sampai yang jatuh pun juga banyak, belum sempat saya ambilin” jawab Kanjeng setengah gugup.
“Mas, perkenalkan, nama saya Tantri, saudaranya bu Padma, datang dari Denpasar” sapa Tantri memperkenalkan diri.
“Oh iya mbak Tantri, salam kenal, namaku Sastro Bawana, tapi di sini orang-orang lebih sering memanggil aku dengan nama Kanjeng” mulai lancar berbicara.
“Salam kenal kembali mas Kanjeng. Kalau boleh, saya bermaksud meminta beberapa buah mete milik Kanjeng, kebetulan saya suka makan buah mete, apakah boleh?” tanya Tantri.
“Oh sangat boleh mbak Tantri, mau yang mana, yang merah apa yang kuning? saya ambilkan galah dulu ya, biar tidak jatuh bonyok” jawab Kanjeng dengan penuh antusias.
Semenjak saat itulah, Kanjeng dan Tantri mulai akrab. Mereka sering pergi ke sawah, untuk sekadar jalan-jalan. Juga nonton wayang saat malam hari ada pagelaran. Sementara Kanjeng tidak terima ajakan main ludruk, ia sengaja cuti selama Tantri ada di sini. Ia khawatir kalau Tantri nonton ludruk dan tau kelakuannya di dunia pertunjukan, dikelilingi
Banyak perempuan dan setengah perempuan yang suka merayu, bahkan kerap kali usai pentas, ia mabuk sampai lupa diri, merangkul para perempuan yang juga sedang mabuk. “Bisa buyar semua mimpinya kalau sampai Tantri melihat aku di lingkaran orang-orang ludruk”.
Bisik-bisik tetangga pun sampai ke telinga Kanjeng, bahwa Tantri di kampung halamannya sudah mempunyai kekasih, bahkan pria itu kabarnya akan menikahi Tantri dalam waktu dekat. mendengar kabar itu, Kanjeng mendadak pusing. Ia sangat ingin mendapatkan Tantri, sedangkan nanti ketika Tantri pulang ke Bali, pasti bakal melupakannya, karena sudah kembali ke pelukan kekasihnya lagi.
Artinya kesempatan untuk Kanjenge mendapatkan Tantri, tidak banyak waktu. Bagaimanapun caranya Tantri harus bisa didapatkan. Kanjeng teringat sebuah pesan ibunya “Le nak Sastro, ini pohon jambu jangan ditebang, ini warisan mbahmu, khasiatnya sangat ajaib, besok kalau kamu sudah menemukan perempuan yang ingin kamu nikahi, kasih saja jambu ini dengan cara, hari pertama kasih dia makan buahnya, kamu bakar metenya, lalu kamu makan. Hari kedua, kamu ganti kasih dia makan mete, kamu makan buahnya. Hari ketiga kamu mesti tabur bunga kembang setaman di bawah pohon ini, agar khasiatnya makin mengikat atimu lan atiku perempuan sing mbok tresnani kuwi, lakukan tabur bunga selama tujuh hari berturut-turut” begitulah penjelasan ibunya sebelum meninggal.
Apa yang menjadi pesan ibunya itu, ia terus ingat, ia tabur bunga setiap hari sekali. Selama Tantri di sini, ia juga berusaha untuk membuatnya kerasan, dengan harapan Tantri bisa melupakan kekasihnya di sana.
Sampailah pada hari ke enam, artinya tinggal sehari lagi Tantri bisa terjerat asmara pada Kanjeng. Setelah melakukan tabur bunga, Kanjeng pergi ke sawah untuk melihat padi yang ia tanam, menyemprot pupuk, dan mengairi sawah menggunakan mesin diesel. Setelah melakukan rutinitas itu, Kanjeng kembali mengajak Tantri untuk pergi jalan-jalan ke mall. Mereka bersama sejak pagi sampai siang.
Esok harinya, setiap pagi seperti biasanya, Kanjeng selalu tak lupa melakukan tabur bunga setaman di bawah pohon jambu mete itu. Hari itu hari ketujuh, dengan niat yang bulat dan sangat yakin jika di hari itu Tantri tidak akan sanggup untuk menolak pernyataan cintanya. Pikirnya pasti Tantri sangat kepincut. Setelah tabur bunga, ia pergi ke sawah seperti biasanya. Lalu pulang dulu untuk mandi, memakai pakaian terbaik dan semprotkan minyak wangi termahal yang ia punya. Kemudian bergegas ia pergi ke rumah mbok Padmi.
“Kulonuwun…. mbok Padmi, tok tok tok” ia mengetuk pintu, sepertinya rumahnya sepi tidak ada orang.
“Mas Kanjeng, mbok Padmi tidak ada, tadi malam dia dan keluarganya pergi ke Banyuwangi untuk mengantar mbak Tantri ke dermaga penyebrangan ke Bali” jawab seorang tetangga samping rumah, yang sedang menyapu halaman.
Terasa disambar gledek, mendengar kabar itu seolah hal yang sangat tidak terduga. Tiba-tiba saja Tantri pamit pulang tanpa memberi kabar lebih dulu.
*****
Satu bulan berlalu, Kanjeng mendapat kiriman surat dari Tanti. Bertuliskan penggalan surat demikian “Maaf mas Kanjeng, saya baru sempat balas suratmu. Terima kasih mas Kanjeng sudah sangat baik memperlakukan saya selama di Jawa. Mas Kanjeng pria yang sangat baik, namun maaf Tantri tidak bisa menerima pernyataan cinta dari mas, karena besok pagi saya akan melangsungkan pernikahan dengan lelaki yang sudah 3 bulan jadi tunangan saya”
Ketika surat itu dibaca Kanjeng, artinya hari itu Tantri sudah menikah dengan lelaki lain. Kanjeng sangat marah, ia gelap mata, dunia seolah runtuh, ia merasa tidak punya harapan hidup. Langsung ia lampiaskan kemarahannya itu dengan mengambil sebilah kapak, berlari ia menuju pohon jambu mete keramat warisan kakeknya. Ia ayunkan kapak itu, dan pohon itu tumbang tak berapa lama.
Seluruh tenaga ia kerahkan untuk meluapkan emosinya di pohon itu. Kelelahan membuatnya setengah pingsan dan tertidur di samping pohon jambu mete yang telah tumbang. Dalam tidurnya ia berjumpa dengan kakeknya.
“Oalah le Sastro, seharusnya tidak perlu emosi, bukan karena ibumu bohong, tapi khasiat pohon ini hilang ketika gadis yang kamu sukai itu sudah menyeberangi lautan, andaikan hari ketujuh dia masih ada di kampung ini, pasti dia jadi milikmu. tapi takdir berkata lain, manusia hanya bisa berusaha, namun tetap Tuhan yang menentukan” ujar kakeknya dari dalam mimpi.
Terbangun dari tidur, Kanjeng menangis sejadi jadinya. Karena pohon keramat warisan keluarganya sudah tumbang. Artinya dia sudah tidak bisa menggunakan kesaktian pohon itu untuk mendapatkan perempuan lain. Hingga saat ini, Kanjenge belum juga menikah, seakan ia mendapat kutukan dari pohon keramat itu. Pesonanya sebagai pemain ludruk telah pudar, semakin digerus usia, dan entah kenapa tak ada satupun perempuan yang bisa nyaman untuk dekat dengan dia, meski hanya sekedar teman biasa. Orang-orang percaya itu akibat ia telah menebang pohon keramat warisan keluarganya. (*)
Fileski (W.Tanjung Files)
Penulis kelahiran Madiun 1988, aktif menulis prosa dan puisi di berbagai media. Produktif berkarya bersama komunitas Negeri Kertas. Kerap tampil dalam Resital Puisi di berbagai acara sastra dengan memainkan instrumen biola, flute, saxophone, dan clarinet. Hingga kini masih mengajar seni budaya di SMAN 2 Madiun. WA 628888710313.