Oleh Tabrani Yunis
Sudah berapa hari ini, saat mengantarkan anak ke sekolah, seperti biasanya di dalam mobil ada percakapan dengan anak. Percakapan untuk membangun komunikasi, walau sembari mengantar ke sekolah. Dari pada hanya diam, maka penulis mengisi dengan percakapan, bercakap-cakap dengan anak. Percakapan kami berlangsung dalam bahasa Inggris.
Mengapa bahasa Inggris? Jawabannya, karena kami di rumah memang menggunakan bahasa Inggris sebagian bahasa berkomunikasi bersama 3 anak yang sejak bayi sudah berbahasa Inggris dan berbahasa Indonesia.
Jadi, penulis dengan 3 anak menggunakan bahasa Inggris, sementara dengan ibu dari ketiga anak, berbahasa Indonesia, maka dalam perjalanan mengantarkan anak yang bersekolah di MTsN dan di mobil juga anak kedua yang masih SD kelas VI, kami saling bercerita dalam bahasa Inggris.
Sudah menjadi kebiasaan penulis terhadap anak dan juga orang lain yang penulis lakukan. Dalam setiap percakapan dengan anak-anak atau juga sahabat yang kini tergolong dalam kelompok generasi milenial atau juga generasi Z dan A, penulis suka mengajukan pertanyaan tentang pengetahuan umum. Kebetulan selama dua pagi, penulis ingin tahu tentang pengetahuan anak sendiri tentang pelajaran geografi. Penulis sangat tertarik mengukur pengetahuan anak tentang geografi dan sejarah. Penyebabnya ada banyak hal. Namun dalam tulisan ini tidak akan dibicarakan hal itu.
Yang jelas penulis ingin mengukur pengetahuan anak sendiri tentang satu hal satu hal dari begitu banyak hal mengenai geografi. Memulai dari hal yang paling dekat. Lalu, pertanyaannya diawali dengan sebuah pertanyaan mengenai tempat lahir dan domisili. Ya, ketika penulis mengajukan pertanyaan, di mana kamu dilahirkan dan di mana kamu tinggal. Pertanyaan ini tentu sangat mudah dan tidak perlu mencari buku geografi, atau Google map. Ia bisa menjawab dengan nama kota kelahirannya dan juga nama desa di mana kami tinggal sekarang. Artinya dia tahu tempat atau kota kelahirannya dan juga nama desa tempat tinggalnya. Jadi, tidak perlu diingat lagi.
Namun selanjutnya, ketika pertanyaan dilanjutkan ke kawasan yang lebih luas. Nah, karena ia mengatakan bahwa ia lahir di Banda Aceh, pertanyaan lanjutan adalah di mana letak kota Banda Aceh tersebut. Kota Banda Aceh itu, ibu kota apa?
Dua pertanyaan itu, mulai tampak sebagai beban dalam pikirannya. Tampak wajahnya ragu -ragu menjawab. Namun, kedua pertanyaan itu, memperlihatkan ada kesulitan yang dihadapinya. Ia ragu -ragu menjawab dan akhirnya diam. Lalu, karena ia pun memberikan jawaban yang kurang pas terasa dan harus diluruskan. Maka, dilanjutkan dengan pertanyaan yang lebih luas. Ya, Aceh itu berada di pulau apa? Ada berapa kabupetan dan kota di Provinsi Aceh?
Ya, sambil menunggu jawaban darinya, yang ia pun membuka HP untuk mencari pertolongan jawaban di Google, dan penulis pun melanjutkan percakapan itu dengan bertanya lagu, Aceh itu di mana? Ia pun menjawab, di Indonesia. Ya, benar, tetapi lebih spesifik lagi, di pulau apa? Kembali ia bingung. Lalu, penulis jawab sendiri. Aceh berada di pulau Sumatera. Ya, di ujung barat Sumetara. Ia mengangguk-angguk. Entah, mengerti, entah pula merasa malu karena tidak bisa menjawab pertanyaan itu
Ternyata memang, kedua pertanyaan ini semakin sulit dan tidak bisa dijawabnya. Lalu, sebagai orang tua yang bukan dari kalangan milenial, atau generasi X, tetapi generasi baby boomers, merasakan langsung perbedaan generasi dulu dengan sekarang, di mana generasi dahulu yang hanya bisa mengakses sedikit informasi, namun tidak buta geografi atau pun sejarah. Jangankan menceritakan tentang Aceh dan kabupaten /kotanya, seluruh Provinsi dan kota di Indonesia bisa dijelaskannya. Bisa jadi, ini dianggap kasuistik, karena tidak melakukan survei atau penelitian yang menggunakan sampling yang besar. Namun demikian, ini adalah hal yang seharusnya diteliti oleh pihak yang memiliki otoritas melakukan penelitian, seperti perguruan tinggi. Dikatakan demikian, karena banyak fakta bahwa kondisi semacam ini banyak ditemukan di dunia pendidikan tinggi.
Oleh sebab itu, ini bukan hanya satu kasus satu anak penulis sendiri yang mengalami buta geografi dan sejarah, ia masih kelas 3 MTsN setingkat SMP. Bisa jadi itu wajar. Nah, di level mahasiswa jenjang S1 dan bahkan juga sudah S2 mengalami buta geografi dan sejarah tersebut. Penulis sebagai seorang pegiat literasi sering menemukan kenyataan ini.
Ketika mendapat kesempatan sebagai dosen dengan status “ dosen luar biasa, Penulis sering menanyakan pertanyaan-pertanyaan serupa kepada para mahasiswa , baik saat mengajar di kampus, juga ketika ada mahasiswa yang datang ke tempat penulis di POTRET Gallery untuk keperluan wawancara. Fakta serupa sering penulis dapatkan. Mengapa hal ini bisa terjadi demikian? Bukankah pengetahuan tentang geografi dan juga sejarah juga pengetahuan yang sangat penting?
Tak dapat dimungkiri bahwa sesungguhnya kedudukan ilmu pengetahuan geografi dan sejarah itu sangat penting bagi kehidupan sebuah bangsa yang berdaulat. Sebagaimana kita ketahui bahwa Geografi adalah ilmu mempelajari segala sesuatu yang ada di bumi, mulai dari flora, fauna, iklim, udara, hingga lapisan tanah dan laut. Bukan hanya itu, Geografi memiliki banyak cabang atau ilmu bantu berdasarkan objek yang dipelajari.
Kompas.com, edisi 14 Februari 2022 memaparkan bahwa belajar geografi memiliki banyak manfaat untuk kehidupan manusia, baik secara langsung atau tidak. Pertama, Geografi membantu manusia memahami sistem kehidupan di sekitar. Contoh nyatanya adalah mampu memprediksi bencana yang datang dan mengantisipasi kerugian jiwa dan materi. Kedua,mempelajari berbagai jenis alam yang tersedia di Bumi dan memaksimalkannya sesuai fungsinya. Ke tiga, memahami bagaimana alam bekerja dan menjadi penduduk Bumi yang baik dengan menunjukkan sikap peduli lingkungan. Ke empat, Geografi manusia dan regional akan membantu kita memahami perbedaan budaya di seluruh dunia dan bagaimana menjaga interaksi yang baik. Ke lima, meningkatkan kesadaran untuk menjaga lingkungan untuk keberlanjutan jangka pendek dan jangka panjang.
Tentu masih sangat banyak manfaat lain dari geografi tersebut, apalagi kita kaitkan dengan pelajaran sekolah. Namun ketika pengetahuan umum sekitar geografi dan sejarah bangsa sendiri, semakin dianggap tidak penting dan tidak perlu diketahui, sehingga ketika kita bertanya pertanyaan yang berkaitan dengan geografi dan sejarah, mereka merasa tidak perlu diingat atau dipelajari. Pengetahuan tentang geografi dan juga sejarah, geohistori, dianggap bukan pengetahuan yang bisa menghasilkan banyak cuan atawa uang.
Rendahnya pengetahuan atau lebih ekstrim lagi, hilangnya pengetahuan geografi di alam pikiran generasi sekarang yang kita golongkan sebagai generasi milenial dan gennerasi Z&A, tentu disebabkan oleh banyak faktor. Namun dari sekian banyak faktor tersebut baik internal maupun eksternal, faktor utama yang menjadi akar masalahnya adalah faktor rendahnya kemampuan literasi yang diawali dengan menurunnya minat membaca, sehingga kurang membaca yang bermuara pada tendahnya daya baca. Ditambah parah pula olehnya mindset yang memandang pengetahuan geografi itu tidak penting.
Jadi, wajar kalau mereka idak memiliki informasi atau pengetahuan tentang geografi, bahkan negeri mereka sendiri. Namun, apakah ketika generasi milenial atau pun Genzi, tidak merasa pelu mengetahui atau memahami tentang negeri sendiri tidak akan memberikan dampak apa-apa?
Bahaya Besar
Bila ditanya, apakah kondisi ini baik-baik saja bagi masa depan generasi bangsa ini? Jawabannya tentu tidak baik dan malah sangat membahayakan bagi masa depan generasi bangsa ini. Ya, tak dapat dimungkiri bahwa hilangnya atau tereliminasinya ilmu pengetahuan geografi dan juga sejarah, dari pengetahuan atau memori generasi milenial dan atau genzi saat ini, akan sangat membahayakan masa depan bangsa ini.
Kita bisa menganalisis dari berbagai perspektif. Dalam perspektif keilmuan, hilangnya pemahaman dan pengetahuan tentang geografi merupakan kehilangan atau tercerabutnya ilmu pengetahuan geografi dari dunia pendidikan, yang sangat merugikan. Ketika generasi bangsa ini buta geografi dan ditambah dengan buta sejarah, maka daya tahan bangsa akan hancur lebur. Bayangkan sajalah ya, kondisi bumi yang semakin tua yang terus didera oleh berbagai macam bencana, lalu karena hilangnya pengetahuan mengenai geografi, maka kemampuan melakukan mitigasi bencana dan lain-lain, akan ikut lumpuh. Kemudian, sebagaimana semua tahu bahwa negeri kita, Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang cukup luas yang terdiri dari lebih 13 ribu pulau, akan terancam hilang, karena kehilangan pengetahuan generasi mendatang tentang potensi dan kekayaan alam negeri ini.
Ya, bangsa ini akan kehilangan banyak aset berharga. Misalnya, ketika mereka tidak mengenal wilayah Indonesia dengan batas-batasnya, pulau-pulaunya, potensi dan hal lainnya, ditambah lagi buta sejarah, maka satu per satu pulau akan hilang dan dirampas oleh bangsa lain. Bisa pula diprediksi kelak rasa kebangsaan itu akan pupus, karena tidak ada lagi basis pengetahuan dan kesadaran untuk mempertahankan tanah air. Padahal di era sekarang ini, perilaku manusia untuk mengakupasi atau menduduki sebuah wilayah atau pulau oleh bangsa lain, akan menjadi trend dengan modus operandi bisnis dan sebagainya.
Mengingat bahwa akan bahaya besar menghadang generasi bangsa ini di masa depan sebagai akibat dari semakin berkurang minat mempelajari geografi dan menganggap tidak pentingnya geografi, serta rendahnya minat membaca, yang merendahkan kemampuan literasi, harus ada upaya serius dan berkelanjutan untuk mengatasi masalah atau realitas ini.
Karena persoalan dasar atau akar masalah yang dihadapi bangsa ini adalah masalah literasi, maka secara beriringan harus diatasi masalah literasi dengan meningkatkan kembali minat membaca generasi bangsa saat ini secara serius dan berkelanjutan. Lalu, membangun kesadaran generasi bangsa ini, kaum milenial dan Genzi membangun dan meningkatkan pemahaman mereka mengenai geografi dan ditambah dengan pengetahuan sejarah bangsa. Dengan demikian, masa depan generasi bangsa ini dan bahkan bangsa dan negara akan dapat diselamatkan dari berbagai ancaman, baik lokal maupun global, kini dan esok. Mari kita bangun kesadaran baru dari diri kita, keluarga, masyarakat dan bangsa ini untuk tidak mengabaikan dan memupuskan pengetahuan geografi dan sejarah. Semoga.