Oleh Zulkifli Abdy
Di ketinggian tiga puluh ribu kaki
Aku bersaksi atas keagungan Mu
Semburat mentari menyapa pagi
Hamparan bukit berselimut awan
berarak seakan melalaikan langit
Puncak-puncak gunung berapi
yang terlihat mulai merekah
Sungai yang mengular bagai tak
pernah lelah menuju muara
Inilah lanskap khasanah alam
semesta anugerah Tuhan
Penggalan dari episode kehidupan
fana yang cenderung memperdaya
Di ketinggian tiga puluh ribu kaki
Aku semakin mengenal Mu
bahkan
merasa sangat dekat
Kata orang bijak alam terkembang
patut kita jadikan guru
Namun aku melihatnya lebih dari
itu, dia juga mempertegas
keberadaan Mu
Malu aku pada alam karena kerap
luput membaca setiap gejala
sebagai isyarat
Semua itu laksana lembaran-
lembaran klasik dari sunnatullah
Yang sewaktu-waktu akan terbaca
dan bicara atas kehendak Nya
Di ketinggian tiga puluh ribu kaki
Aku sangat kerdil dihadapan Mu
Aku terus saja memandang
dengan takjub lewat jendela hati
Inilah kesepian yang menghadir
kan segenap kemahakuasaan Mu
Angin membayu semakin sayu
seakan memanjakan aku yang
musafir
Oh, aku tiba-tiba teringat akan
sepenggal pesan yang ternukil
pada kalam Ilahi.., “maka nikmat
Tuhanmu yang manakah yang
engkau dustakan”
Tuhan dengan lembut mengingat
kan aku dan kita semua sebagai
makhluk Nya
Di ketinggian tiga puluh ribu kaki
Aku serasa sedang beranjangsana
ke batas arasy singgasana Mu
Yang menenggelamkan kesadaran
ku kian dalam sebagai hamba.
(Z.A).