Oleh Tabrani Yunis
Ketika sedang menyimak beberapa video terkait politik di tanah air dan juga video singkat mengenai masalah agama, tiba-tiba sebuah pesan di WhatsApp muncul ucapan salam. Assalamualaikum. Ucapan salam dari seorang sahabat, Aryos Nivada. Salam yang mengagetkan, karena sudah lama tidak saling menyapa lewat alat komunikasi Handphone atau HP. Salam itu langsung dijawab dengan waalaikum salam.
Lalu, pesan selanjutnya adalah sebuah pertanyaan yang memancing memori masa lalu, masa yang tak terlupakan. Bung Aryos bertanya, “Bagaimana abang berkisah hari tsunami?” Kesan apa yang terdalam. Ya, tanpa berfikir apa saja kesan itu, jari tangan langsung menari menoreh jawaban untuk menjawab dua pertanyaan itu. Maka, mengalirlah cerita atau kisah itu.
Alhamdulilah sehat. Begitu jawaban yang diberikan, karena memang sedang dalam keadaan sehat Wal afiat. Lalu memulai cerita itu seperti berikut ini.
Kalau ditanyakan bagaimana saya berkisah hari ini, tentu saja sebuah kisah kehilangan orang-orang yang saya cintai, yang telah dianugerahi Allah kepada saya. Allah telah memberikan pelajaran yang sangat berguna kepada saya. Pelajaran yang mungkin tidak sama dengan orang -orang lain yang merupakan survivals dari bencana. Ada sebuah pelajaran berharga yang memberikan kekuatan bagi diri dalam menghadapi dampak bencana yang mahadahsyat itu. Saya mendapat pelajaran bahwa anakku, istriku, hartaku, bahkan diriku, bukanlah milikku. Semuanya milik Allah dan kembali kepada Allah. Aku pasrahkan semuanya.
Itulah yang terjadi 19 tahun lalu, ketika Aceh tercinta dilanda bencana gempa dan tsunami. Peristiwa yang sangat dahsyat itu, menyadarkan saya yang sejak dilahirkan dalam keluarga sangat miskin, tidak punya apa-apa, yang berangkat dari nol. Karena sejak dalam kandungan ibu pun sudah hidup dalam kemiskinan. Maka, susahnya hidup dalam belenggu kemiskinan, saat tamat SMP saya bertekat untuk keluar dari kemiskinan. Saya diberi rahmat untuk bisa merantau melanjutkan sekolah ke Banda Aceh pada tahun 1979 dengan niat “ Ya Allah, Aku Ingin Hidup lebih baik dari orang tuaku”. Alhamdulilah, setelah akhirnya berlabuh di sekolah pendidikan guru (SPG) Negeri Banda Aceh selama 3 tahun dan ditempa sebagai calon guru SD. Saya berusaha keras membangun kehidupan yang lebih baik, hingga sebenarnya saya tidak mungkin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, namun dengan belajar keras dan berdoa, Allah memudahkan jalan bagi saya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang program Diploma dua tahun. Alhamdulilah pada tahun 1984 selesai dan langsung diangkat menjadi guru SMP dan saya ditempatkan di SMP Teuku Cut Ali Banda Aceh. Pada tahun yang sama saya ikut test lagi di FKIP Bahasa Inggris, Alhamdulah dengan rahmat Allah saya diterima di FKIP Universitas Syiah Kuala dan selesai 1989 meraih sarjana. Pendek cerita, Allah telah mengubah hidup saya seperti yang saya niatkan kala berangkat dari kampung halaman, Manggeng yang saat itu masih dalam wilayah Aceh Selatan dan kini masuk ke Aceh Barat Daya atau Abdya.
Ya, Alhamdulilah Allah telah menanugerahi hidup yang jauh lebih baik yang saya niatkan saat itu. Hidup mulai berubah secara perlahan. Sudah punya pekerjaan yang menghidupkan diri, bisa membeli kebutuhan hidup dan juga kenderaan. Sudah pula dianugerahi istri dan anak, Akbar Maulana Yunisa dan Amalina Khairunisa, dan kebahagiaan. Pokoknya, ketika kecil saya tidak punya sepeda untuk menempuh perjalanan ke sekolah, sebelum bencana tsunami Allah telah menitipkan saya istri yang Alhamdulilah baik dan cantik, dua anak saya yang juga lebih dari saya. Saya sudah mampu memiliki rumah, memiliki mobil, walau mobil bekas dan juga diberkahi dengan kesempatan berjalan ke berbagai wilayah di tanah air, yang bukan hanya sekali dua kali, tetapi sangat sering. Bahkan pwenah mendapat kesempatan yang sangat tidak pernah terbayangkan kalau bisa ke benua Australia. Ya, di bulan Juli 2003, saya dapat keaemoatan mengikuti konfrensi internasional di Melbourne Uni, di kota Melbourne, Australia pada tahun 2003. Kala itu Aceh masih dalam konflik yang menakutkan. Itulah perubahan hidup yang sangat besar dirahmati Allah kepada saya yang tengah melakukan hijrah dari belenggu kemiskinan ke taraf kehidupan yang lebih baik.
Namun, Allah berkehendak lain, bencana tsunami melanda Aceh. Akibatnya, semua yang telah saya miliki, dan nikmati diambil kembali oleh Allah. Semua yang ada di luar tubuh saya, isteri, anak-anak serta semua harta yang ada, hilang ditelan bencana tsunami. Ya, Allah kembali mengambil apa yang telah Ia berikan. Bukan hanya itu, kantor dan usaha saya Center for Community Development and Education( CCDE), Majalah POTRET, serta Women Training ( WTC) serta toko alat tulis di jalan Malahayati, Kajhu, Kecamatan Baitusslam, Aceh Besar rata dengan tanah. Semua itu milik Allah dan kembali kepada Allah.
Kesadaran itu menjadi obat atau terapi terhadap trauma yang saya hadapi. Ungkapan kepasrahan itu selalu hadir sebagai penguat hati, berulang- ulang saya ikrarkan” Anakku, istriku, hartaku dan bahkan diriku, bukanlah milikku, semua milikmu. Saya rela ya Allah. Inilah yang menguatkan hati saya selama bertahun-tahun lamanya.
Tak ada kata lain, kecuali “ Saya berserah diri pada Mu ya Allah”, walau sebenarnya saya sangat kehilangan dan setiap hari menangis dan bersedih yang kadangkala seperti orang yang kehilangan akal. Perasaan hati begitu hampa dan hidup sangat sepi sendiri.
Pergulatan Batin
Ada pergulatan batin yang saya alami di hari pertama bencana gempa dan tsunami Aceh saat itu. Ketika sedang terus berjalan di area reruntuhan bangunan di kawasan Lam Seunong, Lampouh Daya, Lambaro Angan dekat kompleks perumahan Pola Yasa, Kajhu itu, ada pergulatan batin yang saya rasakan. Kala itu, muncul dalam pikiran dan ucapan.
Ya, ketika sedang berjalan mencari dan memanggil -manggil anak dan istri, di sepanjang reruntuhan dan timbunan sampah dan seng dari rumah dan bangunan yang hancur itu muncul kata-kata dalam pikiran dan saya ucapkan. Ya Allah, Hari ini, saya sendiri lagi, saya kembali ke nol lagi. Tapi terjadi pergulatan dalam pikiran saya. Tidak, saya tidak sendiri. Saya tidak kembali ke nol. Saya sudah punya pekerjaan dan penghasilan, saya punya banyak teman dan sahabat, saya sudah punya ilmu dan ketrampilan. Nah, andai hari ini saya yang diambil oleh Allah, maka Albar dan Amalinalah yang saat itu masih 8 tahun dan 5 tahun, yang berangkat dari nol, karena mereka masih kecil, masih belum punya apa-apa.
Pergulatan batin ini ternyata, menjadi kekuatan bagi saya untuk selalu tegar menghadapi cobaan Allah ini. Dengan pasrah pada ketentuan Allah itu, saya lewati hari-hari dengan rasa sepi, walau saat itu banyak orang yang mengalami hal yang sama seperti yang saya alami. Hari itu terasa semua nafsi-nafsi. Masing -masing yang selamat dari hempasan tsunami masing-masing sibuk mencari keluarga sendiri, baik yang masih hidup dan selamat di atas bangunan-bangunan yang masih utuh dan dan juga di reruntuhan serta pohon-pohon, maupun yang telah menjadi mayat-mayat yang bergelimpangan. Kondisi hari itu yang rasanya bagai hari kiamat. Hidup seakan sudah tidak berarti lagi. Apalagi saat itu hidup menjadi sebatang kara. Hari-hari dilewati dengan rasa sedih, rindu pada anak dan istri. Setiap kali mereka hadir dalam pikiran, tiap kali pula air mata berlinang serta hati berteriak-teriak. Sungguh sangat berat.
Memang sangat berat sekali, namun kembali muncul kesadaran dalam kesendirian itu, hidup harus berlanjut. Ya, life must go on. Saya harus segera keluar dari belenggu kesedihan. Untuk itu saya harus melakukan hal -hal yang bisa menjadi terapi terhadap segala rasa yang saya alami dan rasakan. Apalagi wajah anak dan istri selalu datang membayang di pikiran yang menyebabkan saya merasa sedih dan menangis bertahun-tahun lamanya. Bahkan hingga kini sudah 19 tahun berlalu, air mata masih sering membasahi pipi, di perjalanan maupun pada setiap kali mengirimkan doa buat mereka. Apalagi pada momentum peringatan hari tsunami setiap tahunnya, seperti tanggal 26 Desember 2023 ini. Semoga Allah menguatkan dan menempatkan mereka si surga yang maha indah. Amin ya Allah