Surabaya- Potretonline.com- Puisi merupakan salah satu genre sastra yang lebih rumit. Kerumitan puisi disebabkan oleh konvensi sastra yang melekat padanya dengan berbagai ketentuan, di antaranya (a) diksinya yang tersaring ketat meski tidak harus menggunakan kata yang terkesan ‘gagah’, arkhais, (b) aspek bunyi yang mampu mengorkestrasi, (c) penggunaan kata kias yang turut memperindah, (d) tipografi dan enjabemen, (e) soal pungtuasi, (f) kemampuan menata larik-larik puisi dan keterhubungan antarlarik yang membangun bait puisi, (g) keterhubungan antarbait yang sering diistilahkan ‘korespondensi’ antarbait yang kohesif dan koheren (utuh dan padu), (h) dan lain-lain.
Menulis puisi yang begitu rumit, namun puisi menampakkan jumlah peminat yang semakin ‘menggairahkan’ perkembangan literasi di bidang sastra di negeri ini. Artinya meskipun menulis puisi itu ‘sulit’ tetapi pencinta literasi semakin menampakkan geliatnya. Fakta ini tentu harus diapresiasi secara positif dan melalui grup-grup sastra yang ada diharapkan para admin dengan tulus ikhlas berbagi ilmu kepada member (anggota) guna melakukan pembinaan (bukan pembinasaan) demi peningkatan kualitas penulisan karya puisi.
Terkait dengan hal tersebut, Hamdani Mulya, merupakan salah satu penggiat literasi di bidang bahasa dan sastra. Kehadiran puisi-puisi penyair ini perlu kita perhatikan dan kita apresiasi positif. Sebab, dengan pengetahuan sastra yang ia peroleh dari bangku kuliah, telah ia aplikasikan dalam penciptaan puisi. Dengan demikian, puisi-puisi Hamdani Mulya memiliki kualitas literer yang layak diperhitungkan.
Puisi-puisi dalam antologi Sajak Secangkir Air Mata merupakan sehimpun puisi yang bernuansakan “sejarah‟, baik sejarah Aceh saat dilanda tsunami, pejuang atau pahlawan dari Aceh yang patut diteladani, nama-nama besar dari Aceh yang memberikan kontribusi besar terhadap Aceh dan Indonesia pada umumnya, juga menyuarakan kepada pentingnya kemenghambaan kepada Allah, dan sebagainya. Berbagai hal tersebut rupanya mendera batin si penyair, sehingga ia menangkap adanya moment puitic yang perlu diekpresikan melalui puisi.
Mencermati puisi-puisi Hamdani Mulya ini sungguh menarik. Sebab puisi-puisinya menarik jika dijadikan kajian dari beragam perspektif, mulai dari structuralism theory hingga poststructuralism theory seperti historicism theory yang dihubungkan dengan kesejarahan Aceh. Meskipun puisinya ditambang dari peristiwa Aceh dan “orang-orang besar‟ Aceh, bukan berarti puisi-puisi Hamdani Mulya harus ditempatkan sebagai puisi kedaerahan (lokalitas), namun semua puisinya juga meng-Indonesia (globalitas).
Dengan dasar pijakan di atas, selaku penerbit, kami memandang bahwa puisi-puisi Hamdani Mulya sangat layak kami terbitkan dan kami rekomendasikan untuk dinikmati, dijadikan bahan ajar, dikaji/ditelaah oleh masyarakat sastra Indonesia pada umumnya.
Surabaya, Juli 2019
(Penulis : Profesor. Dr. Agung Pranoto, M.Pd.)
Resepsi Pembaca Terhadap Buku Sajak Secangkir Air Mata
Membaca puisi-puisi Hamdani Mulya, saya diajak berkelana pada berbagai fenomena yang terjadi di Aceh, serta mengenang kembali tokoh-tokoh besar yang berasal dari tanah rencong ini. Puisi penyair ini mencerminkan karakteristik tersendiri dalam bidang penciptaan puisi. Rupanya, ia memiliki bakat alam dan intelektualisme dalam penciptaan puisi. (Dr. Kaswadi, M.Hum. Akademisi Sastra Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dan pengamat sastra).
Suara batin penyair Hamdani Mulya, rupanya tergelitik pada kepedihan yang terjadi saat tsunami Aceh. Ini bukan sesuatu yang berlebihan. Sebab, tugas penyair adalah memotret dan mengabadikan suatu peristiwa yang merupakan catatan sejarah. Dan sangat tepat sebab hal ini tidak luput dari perhatian Hamdani Mulya. (Eko Windarto Penyair asal Batu, Malang).
Puisi-puisi Hamdani Mulya menggunakan bahasa keseharian yang mampu menggugah rasa, jiwa untuk merenungkan kembali berbagai peristiwa kehidupan. Di balik kesederhanaan diksi, justru menyembulkan ruang asosiasi pembaca yang makin terbuka lebar. (Edi Kuswantono Pencinta dan penulis sastra).
Penyair Hamdani Mulya menurut amatan saya tidak sekadar mengeksplor tentang kesejarahan Aceh melainkan ia juga menyuguhkan puisi-puisi yang berbau religiusitas. Hal ini berarti ia memiliki talenta yang bagus dalam menangkap berbagai peristiwa lalu ia juga menghubungkannya dengan ranah ke-Tuhan-an. (Rida Wahyuningrum Penelaah sastra).
Puisi-puisi Hamdani Mulya merupakan hasil kontemplasi atas pengalaman puitiknya. Rupanya ia juga mampu mencipta puisi prismatik yang pekat atau sublim. Bravo Hamdani Mulya. (Jaka El-masriv Pencinta sastra).
Hamdani Mulya tidak sekadar pandai mengajar di kelas, melainkan ia mampu memberikan contoh kepada siswa-siswanya tentang cara menulis puisi. Antologi puisi ini merupakan salah satu bukti nyata bahwa ia sosok guru sekaligus penyair. (M. Shoim Anwar Novelis dan dosen sastra).
Editor: Mukhlis, S.Pd.,M.Pd.