Oleh Nelliani M.Nur
Guru SMA Negeri 3 Seulimum, Aceh Besar
Masa remaja merupakan periode unik dari tahapan perkembangan seorang anak. Fase ini adalah masa-masa pencarian jati diri dengan emosi dan perilaku yang sulit dimengerti. Terkadang sikap anak-anak berusia tanggung ini membingungkan, bahkan menjengkelkan. Tak ayal orang tua dan guru merasa patah arang menghadapi tingkah mereka. Namun, di balik sikap yang demikian tersimpan sisi lain yang jarang orang memahaminya.
Sebagai pengajar di Sekolah Menengah Atas, penulis sering kali menghadapi tingkah siswa yang tidak habis pikir, bisa jadi dialami juga oleh guru lain. Ada orang tua sudah putus asa dengan sikap anaknya, mengadu pada wali kelas. Menyerahkan apa pun keputusan pada sekolah. Di pihak guru pun sama, tidak mudah mengambil sikap. Untuk berbagi pengalaman, penulis kisahkan di tulisan ringkas ini.
Sekolah kami memiliki dua peserta didik yang terbilang “unik”. Keduanya berbeda tingkatan kelas. Seorang siswi sebut saja namanya Hayatun, saat ini berada di tingkat akhir, dan satu lagi siswa junior sebut saja Doni, yang merupakan siswa kelas sepuluh tahun ajaran sekarang. Dua-duanya punya kasus sama, sama-sama membingungkan guru dan orang tua. Baiklah, penulis mulai dari yang paling senior.
Hayatun anak yang rajin juga cerdas. Menurut wali kelas, selama di kelas sepuluh tidak ada catatan negatif apa pun. Kecerdasannya paling menonjol di sains dan matematika. Sikap pendiam dan tertutup membuat Hayatun tidak punya banyak teman. Meskipun begitu, tidak ada teman sekelas yang membully karena mereka memahami sifatnya.
Sejak kelas sebelas, anak ini berubah. Jarang sekolah, sering terlambat, jarang kumpul tugas serta nilainya turun drastis. Banyak guru mengeluh karena kehadiran yang kurang berdampak pada tidak terpenuhinya syarat ketuntasan. Tak terhitung berapa kali teguran, peringatan, panggilan orang tua sampai home visit. Kelakuannya tidak berubah, remaja manis ini masih sering bolos dengan alasan yang sulit dimengerti.
Apa pasal dia berubah. Hayatun minta ibunya membelikan sepeda motor. Dia tidak nyaman pergi sekolah dengan berjalan kaki karena sering diejek dan ditertawakan. Meskipun orang tua dan guru sudah menasehati sekolah lebih penting dari sepeda motor, siswi berkulit sawo matang ini bergeming. Dia berjanji akan rajin sekolah jika sudah punya sepeda motor.
Karena sering tidak hadir, sekolah terpaksa mengambil kebijakan menunda kenaikan kelas. Anehnya, dia terima dan rela menunggu setahun sampai memiliki kenderaan.
Seperti janjinya, Hayatun dengan percaya diri kembali sekolah. Meski harus belajar setahun lagi di tingkat yang sama dengan adik kelas, bukan masalah. Hal itu tidak membuatnya canggung dan malu. Malah dia berprestasi dengan meraih juara kelas.
Sebagaimana Hayatun, begitu pula Doni. Pertama kali bertemu, penulis mengagumi anak ini. Dibandingkan lainnya, Doni punya otak lumayan encer. Penulis sering mengujinya dan dia mampu memberikan solusi cerdas. Anak ini memiliki kecerdasan matematis logic.
Penulis terkejut mendengar remaja cerdas ini harus tinggal kelas. Penyebabnya sama, ketidakhadiran yang tidak bisa ditoleransi. Ibunya pasrah, wali kelas kehabisan akal. Doni tetap ingin mengulang pelajaran di tahun berikutnya. Alasannya, menunggu teman yang masih di tingkat akhir sekolah menengah pertama.
Bagi orang umumnya, alasan itu terdengar aneh, namun bagi pelajar yang hobi main game ini sangat masuk akal. Doni setia pada teman sepermainan. Menurutnya, jika mereka bisa seleting di sekolah yang sama, tentu bisa berangkat dan pulang bersama. Belajar pun terasa menyenangkan dan seru.
Akhirnya, di tahun ajaran ini Doni dan sohibnya seangkatan. Ia kian rajin sekolah, tidak ada hal yang membuatnya kena tegur. Dia lebih bersemangat belajar, terutama pelajaran eksakta yang menjadi bakatnya.
Kasus tersebut atau yang serupa merupakan representasi perilaku yang muncul pada masa remaja. Remaja menunjukkan sikap melawan atau memberontak pada kebiasaan yang berlaku. Anak-anak ini berani membuat keputusan yang menurutnya baik, meskipun terkadang memusingkan orang tua. Mereka teguh pada pilihannya tanpa memikirkan resiko yang akan terjadi.
Remaja
Para ahli menyatakan periode remaja berkisar antara 12 sampai 18 tahun. Di rentang usia ini terjadi banyak sekali perubahan secara fisik, emosional maupun sosial. Pada fase ini remaja sedang berada pada proses pencarian identitas diri. Mereka senang mencoba hal baru, punya rasa ingin tahu yang tinggi, penuh gejolak emosi serta menunjukkan perilaku yang berubah-ubah.
Sebagian orang tua merasa kerepotan menghadapi remaja. Buah hati yang saat kecil merupakan anak manis dan penurut, sejak beralih ke usia remaja menjadi sulit diatur dan suka menentang. Alih-alih mendengarkan, mereka sering membuat keputusan sendiri yang berlawanan dengan kehendak orang tua atau kelaziman yang ada.
Perubahan tersebut membuat orang tua bingung dan hilang kesabaran. Tidak sedikit orang tua mencap si anak sebagai anak nakal dan karenanya dia berhak dihukum. Ada juga orang tua yang pasrah saja pada kemauan anak dari pada harus beradu dengan mereka.
Sayangnya, perbedaan itu tak jarang memicu konflik. Orang tua beranggapan mereka lebih paham segala sesuatu sehingga cenderung memaksa anak untuk patuh. Di sisi lain remaja merasa punya hak menentukan pilihan. Jika kondisi tersebut tidak ditanggapi dengan bijak dan sabar, dikhawatirkan akan menjadi bumerang yang membuat anak semakin menjauh dan memisahkan diri.
Perilaku memberontak pada remaja bukan tanpa alasan. Mereka ingin menunjukkan pemisahan dari orang tua atau figur otoritas lainnya. Anak ingin menegaskan dirinya bahwa ia bisa mengambil keputusan sendiri. Dia merasa lebih paham apa yang dia butuhkan untuk diri dan masa depan.
Namun, tak banyak orang sadari di balik sikap keras kepalanya, remaja adalah pribadi bertanggung jawab. Mereka berani berbuat, berani juga menanggung konsekuensi dari setiap pilihan yang diambil.
Dari kisah Hayatun dan Doni, mengulang pelajaran setahun lagi adalah konsekuensinya. Dan mereka siap menerima itu, menjalaninya dengan lebih baik lagi. Di sini kita belajar, terkadang sikap memberontak pada remaja tidak selamanya negatif. Anak memberontak karena ia hanya ingin didengar dan dipahami. Ada persoalan yang mungkin terlalu penting baginya dan orang tua tidak mampu merasakan itu. Selama ini orang tua melihat dari kaca matanya saja, tidak pernah mencoba memandang dari posisi mereka.
Untuk itu orang tua hanya perlu meluangkan waktu untuk lebih banyak mendengar dan merasakan. Selanjutnya memberi kepercayaan atas pilihannya. Jika itu ada, remaja akan merasa dihargai dan berusaha tidak mengecewakan orang yang telah percaya padanya.