Oleh : Nasrizal, S. Pd
Suatu hari, selepas jam kerjaku, aku duduk istirahat. Aku menyandarkan tubuhku di sebatang pohon tempat kediamanku, bersama sebuah becak milikku yang aku sayangi. Milikku yang aku sayangi adalah satu satunya yang dapat menyambung hidupku. Takkan aku sia siakan. Ketika sore aku mandikan dia, ketika malam aku selimuti dia, ketika pagi hari aku bangunkan dan aku beri dia energi dan aku panaskan.
Seharian kerjaku sebagai tukang becak di kampungku. Becak itulah milikku yang aku sayangi. Aku dan milikku itu bekerja seharian tak henti henti. Kukuraskan keringatku demi menyambung sebuah kehidupan. Aku tak peduli mau kata orang apa padaku, aku tak merasa hina. Itulah profesiku seorang kuli becak barang di kampungku.
Sejak aku kecil aku tidak mau sekolah. Sekolahku hanya selesai di kelas dua SD. Aku tidak bisa baca tulis, tapi aku tahu semua dunia ini dengan perasaan dan instingku.
Sudah bertahun tahun profesiku sebagai tukang becak di tempat aku tinggal. Tidak ada yang tidak kenal padaku. Ya, hampir lima puluh persen sebagai pelangganku. Juga selain tukang becak, di sela sela aku bekerja sebagai kuli truk, bak kata orang Aceh bekerja sebagai anggota pok seumpom. Itu istilah dalam bahasa daerahku, pok seumpom artinya,bekerja sebagai tukang bongkar barang di truk, menurunkan alat alat bangunan, seperti besi, semen dan lain sebagainya.
Suatu hari aku berpikir, untuk apa aku mencari rezeki sepanjang hari, sedang aku tidak punya tanggung jawab, istri tidak punya, anak apa lagi? Di pikiranku selalu menyelimuti, sehingga membuat aku jadi tidak bergairah untuk mencari rezeki.
Rasanya aku juga sudah mulai bosan bekerja seharian sebagai tukang becak dan kuli truk yang menguraskan keringat. Terlintas di benakku ingin pergi ke negeri seberang, sebagai mana anak anak muda di kampungku yang sudah banyak mencari rezeki ke negeri seberang.
‘’ Hei … Boy ‘’ sapa temanku. Aku sering dipanggil Boy, nama panggilanku, ’’apa ikut kami ke Negeri seberang? Minggu depan kami serombongan akan berangkat, kebetulan lowongan ada beberapa orang lagi ‘’ sambung temanku. Dengan singkat aku jawab, ’’ aku ikut ‘’.
Akhirnya aku sampai juga ke Negeri seberang Malaysia. Aku mendapat pekerjaan sebagai sopir troton di sebuah proyek yang dipimpin oleh orang Tonghoa. Setahun aku bekerja dengan orang Tionghoa, gaji sedikit lumayan, tapi aku tak dapat menyimpan. Waktu itu aku sudah mulai terpengaruh sering duduk di meja judi, sehingga aku lupa diri. Sudah larut di meja perjudian. Pikiranku tak terkendali, aku tidak pernah memikirkan rumah masa depanku.
Salah seorang temanku yang berada di negeri seberang, mengajak pindah kerja di tempat ia bekerja. Ia melihat keadaanku yang tidak terkontrol, sudah lama bekerja tapi tidak ada sedikitpun simpanan untuk dikirim ke kampung. Sebagai mana anak-anak muda lain, bekerja seharian untuk dapat mengirim uang simpanan di kampung, untuk sebagai modal ketika pulang dari rantau.
Kata temanku banyak benarnya, empat tahun sudah bekerja di tempat temanku, sedikit lumayan penghasilanku. Selebihnya dari biaya hidupku aku simpan dan aku kirim ke kampung untuk modal ketika aku pulang dari rantau.
Sekilas terlintas di pikiranku, aku ingin pulang. Sedikit modal aku sudah punya simpanan, kalau aku pulang. Usaha kecil-kecilan sudah bisa aku buat perencanaan, tapi sedikitpun di hatiku tidak ada minat untuk membina sebuah rumah tangga. Aku sangat takut dengan sebuah tanggung jawab dalam hal membina rumah tangga, karena aku sadari aku sangat kekurangan. Aku sering berpikir, biarlah aku hidup sebatang kara. Bila ada pekerjaan aku bisa makan, bila tidak ada pekerjaan aku sendiri yang tanggung kelaparan. Aku bebas dari sebuah tanggung jawab.
Beberapa kawanku ada yang ingin pulang, sehingga sudah bulat hatiku untuk pulang kampung. Pada suatu hari, aku sudah berada di bandara Internasional Kuala Lumpur. Niatku untuk pulang kampung yang sudah enam tahun aku tinggalkan.
Hari itu di bandara, ada seorang yang melempar pandang padaku, padahal selama aku di Malaysia aku tidak pernah kenal pada orang itu. Dia juga tidak pernah tahu padaku, matanya terus menatap padaku. Terbayang di pikiranku, sepertinya ia ingin meminta bantuan dariku. Sebelum ia menyapaku, aku tidak peduli dengan pandangannya yang tajam.
Seseorang itu terus berani mendekatiku, aku coba menghindar. Di pikiranku aku tidak ingin berhubungan dengan yang namanya perempuan, aku takut akan terjebak nantinya.
Nampaknya, ia sedang kekusahan, mengemasi barang-barang bagasi dan tentengannya yang banyak. Maklum saja perempuan, kalau pulang kampung, rasanya semua diborong untuk dibawa pulang.
Iba juga aku melihatnya, aku dengan terpaksa menyapanya.
‘’ Dek … ‘’ sapaku padanya, apa yang bisa saya bantu ? ‘’ sambungku, aku lihat barang kiri kanan padanya. Ia menyodorkan beberapa barang tentengan padaku dan terus menaiki tangga pesawat. Ketika jam berangkat sudah tiba, rute Malaysia Medan. Kebetulan aku dan dia sama sama pulang ke Aceh.
Yang anehnya ketika aku mencari posisi tempat duduk, dia juga mencari tempat aku yang sama, dia memperlihatkan tiketnya padaku. Aku kira ada apa ini, kebetulan tiketku nomornya berurutan dengan nomor kursi yang akan kududuki, aku kira ini jebakan, tapi mungkin kebetukan saja tambah pikiranku.
Ini yang tidak aku inginkan, seketika tempat dudukku sebangku dengan dia. Aku kira aku sudah masuk perangkap. Aku tidak bisa lari dari posisi dudukku yang berdekatan dengan orang yang tak pernah aku kenal.
Badanku terasa panas dan berkeringat dingin. Dia terus melontarkan kata-kata, aku diam saja. Namanya DIA, katanya padaku. Aku mengangguk saja.
Di Kualanamu, kesempatan aku ingin menjauhi dia, tapi tidak bisa. Dia terus menceritakan kehidupannya padaku. Kenapa ia harus mempertaruhkan hidupnya di Malaysia, panjang lebar kisah kehidupannya.
Dia adalah seorang janda muda yang tidak berdaya. Ia mencari rezeki di rantau orang demi memenuhi kebutuhan anaknya yang masih berumur satu tahun, yang sekarang dititipkan pada seseorang dikampungnya .
Aku dengar panjang lebar ia bercerita tentang kehidupannya. Aku hanya menganggukkan kepala, tapi seketika aku mendengar ia meninggalkan seorang anak kecil dan menitipkan pada seseorang. Pikiranku terfokus pada anak itu, yang ditinggalkannya, membutuhkan biaya hidup, segelintir di pikirannku aku prihatin pada anak kecil itu.
Beberapa saat mobil jemputanku tiba rute Medan Meulaboh, diapun tiba mobil jemputannya rute Medan Lhok Seumawe/ Aku sempat membantu dia menaiki barang-barangnya ke mobil. Aku dan dia sama-sama menuju kampung halaman masing-masing, dengan mobil yang berbeda dan tujuan yang berbeda.
Aku kira sampai di sini saja, tapi dia ingin terus tahu terus padaku, sampai di kampungpun dia takkan henti-henti terus mengganggu aku. Panjang lebar sudah kubilang padanya, aku tidak ingin lebih jauh. Cuma aku prihatin saja pada anaknya yang kecil itu .
Akhirnya dalam setahun ini entah kenapa aku jatuh sayang pada anaknya yang masih kecil itu, semua keperluan anaknya aku penuhi, seperti susu pakaian dan lain sebagainya tetap aku kirim setiap bulan, sehingga aku tidak sadar kalau uang simpananku selama ini sudah menipis.
Dia sudah merasa terutang budi padaku, dia terus cobak menggait hatiku. Dia terus mencari tahu tentang alamat dan tempat tinggalku di kampungku.
Suatu hari dia berterus terang padaku. Tanpa basa basi terus mengatakan padaku. Ucapannya aku adalah sebagai pengganti Ayah dari anaknya. Aku jadi kaget harus berpikir seribu kali. Aku menolak, sudah kukatakan padanya sejak awal pertemuan, aku hanya prihatin pada anaknya saja.
Tapi dia betul betul nekat, ingin datang ke tempat kediamanku yang sangat berjauhan dari kampung halamannya, dengan membawa sekalian anak kecil itu. Aku pikir itu sebuah jebakan untukku, kenapa terus ingin langsung membawa anak kecil itu.
Aku tidak habis pikir, akhirnya aku pasrah saja, apakah ini jalan terbaik untukku, atau mala petaka nantinya untukku, Wallahualam .
Terlintas di pikiranku, anak kecil itu adalah sebagai penyambung silaturrahim denganku. Aku tak dapat mengelak lagi, akhirnya dia sampai juga ke kampungku.
Dengan terpaksa aku akan menikahi Dia.
Setahun usia pernikahganku , keadaan rumah tanggaku masih aman aman saja.
Dia pahami aku sebagai kuli, atau sebagai tukang becak barang, terima apa adanya, tapi aku tidak tinggal diam, terus mencari kebutuhan hidup rumah tanggaku yang masih seumur jagung. Tapi tidak mungkin setara dengan tetangga-tetanggaku yang sudah punya hidup berkecukupan.
Di tahun ketiga usia perkawinanku, keadaan rumah tanggaku mulai bergejolak, dia sudah mulai melirik ke arah kehidupan tetanggaku, yang semuanya sudah berkecukupan. Tetanggaku ada yang suaminya sebagai guru, tentara, pedagang dan lain sebagainya. Dia ingin punya apa yang orang sudah punya, aku turuti saja kemauannya. Aku tidak pernah membantah, selagi ototku masih kuat untuk mengeluarkan tenaga dengan menguraskan keringat pagi, sore bahkan ada yang malam .
Di sini aku mulai lelah, tapi bukan lelah karena pekerjaanku yang amat berat dengan mengandalkan tenaga yang kuat, tapi aku yang sangat melelahkan ketika pulang kerja, sampai di rumah dia terus menuntut sesuatu yang dia inginkan. Tidak sesuai dengan penghasilan uang gaji dari penghasilanku. Utangku sudah mulai menumpuk, tambah lagi yang melelahkan ketika barang pesanan onlinenya di alamatkan padaku .
Dari dulu sudah kukatakan padanya, aku yang serba kekurangan, tapi sekarang sama sekali tidak akan dia mengerti bagaimana keadaaku. Hal ini yang sangat aku takutkan dari dahulu, apa lagi sekarang anakku dari satu sudah menjadi dua, beban tanggung jawabku semakin bertambah.
Aku betul-betul lelah, pertengkaran pun akhir-akhir ini semakin gencar setiap aku pulang kerja, sering tengah malam aku lari dari rumah, karena tidak sanggup mendengar suaranya yang terus menyudutkan aku. Katanya aku tidak pernah membahagiakannya, yang seperti tatangga-tetangga di kampungku sudah sangat berkecukupan.
Ketika dia menyamakan aku dengan tetanggaku yang sangat jauh berbeda, di sini aku mulai tersinggung.
Menjelang perkawinanku genap lima tahun, pikiranku semakin berubah, dan aku terus berpikir, kekuatan tenagaku tidak selamanya. Yang terpikirkan olehku bagaimana menghidupkan kedua anakku kelak. Semoga anakku menjadi orang yang berguna dan dapat menuntut ilmu lewat pendidikan, tidak seperti aku sewaktu kecil dahulu.
Pada akhirnya rumah tanggaku hanya bertahan sampai lima tahun saja. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Semua penghasilanku selama lima tahun dengannya, aku serahkan padanya. Hanya yang aku pinta, mililkku yang satu-satunya, yang aku jaga siang dan malam, tinggalkan untukku. Karena aku punya anak, dari penghasilan bersama milikku dapat aku tabungkan untuk biaya hidup dan biaya pendidikan anak-anakku kelak.
Nasrizal, S. Pd.
Hp / Wa. 085260022162
Lembah Sabil Aceh Barat Daya, Prop. Aceh.