Oleh Yessy
Siapa sangka di dalam perut bumi, sebuah desa yang tadinya terbilang mungkin tidak begitu sering terdengar di telinga orang, ternyata di dalam perut buminya ada kekayaan alam yang luar biasa. Migas untuk memenuhi kebutuhan energi nasional itu, pabriknya ada di desa ini, desa Blang Nisam.
Berpuluh tahun yang lalu, hanya sebuah kabar dari mulut ke mulut. Lalu, bagi seorang perempuan yang terpikirkan pertama kali adalah harapan bahwa akan ada sebuah perubahan. Setidaknya, perubahan ekonomi dan sosial di masyarakat jika benar perusahaan yang akan beroperasi di desa ini datang. Muncul begitu saja dalam pikiran, jalan desa menjadi bagus, beraspal tidak lagi berlobang di sana – sini dan akan banyak anak muda yang bekerja di perusahaan tersebut. Punya kehidupan yang lebih layak, tidak harus merantau sampai ke negeri orang. Jumlah pengangguran pun akan berkurang dan secara tidak langsung menurunkan angka kriminalitas dan kecenderungan masyarakat khususnya anak – anak muda untuk berperilaku buruk serta berurusan dengan hukum.
Hari ini sampai juga, perusahaan multinasional itu PT Medco E&P Malaka telah pun berproduksi, namun apa yang dibayangkan dahulu berbeda dengan kenyataannya. Kedatangan perusahaan tidak membawa kebaikan apapun. Jalanan tetap berlobang, masyarakat tetap miskin, karena sebagian besar yang bekerja di perusahaan hanya sebagai buruh pekerja kasar. Bekerja di dalam perusahaan pun belum membuat mereka memiliki kemampuan yang lebih dari sebelumnya.
Perusahaan bukannya tidak melakukan apapun, namun dari banyaknya program yang mereka buat tidak jelas hulu hilirnya.
Secara garis besarnya jangankan membawa perubahan ke arah yang lebih baik dalam semua aspek – aspek umum, bahkan yang sudah ada saja menjadi rusak. Kalau kita mau melihat, hampir tidak ada kesan bahwa ada upaya – upaya perbaikan yang dilakukan ke arah itu. Masyarakat cenderung diberi apa – apa yang sebenarnya tidak begitu perlu.
Persoalan pun muncul ketika masyarakat menduga bahwa kegiatan produksi perusahaan ini juga ikut menghasilkan limbah udara yang harus dihirup masyarakat. Bau seperti bau septic tank, bau lumpur, bau seperti bau gas yang menyengat, dan bau seperti bau telur busuk. Buntut terparahnya pada tahun 2021 setidaknya ada 250 jiwa di desa berhampiran yaitu desa Panton Rayeuk harus mengungsi, di mana beberapa di antaranya harus mendapatkan pertolongan medis di rumah sakit umum daerah, karena tidak tahan menghirup bau busuk yang menyebabkan mereka mengalami sesak nafas, pusing, mual dan muntah.
Jika dulu di era Kartini perempuan berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan setara. Hari ini perempuan masih harus berjuang kembali. Belum tuntas perempuan berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan ruang – ruang kebijakan di berbagai tingkat kehidupuan di pemerintahan, politik, partisipasi dan sebagainya perempuan di akar rumput ternyata masih harus berjuang dalam wujud yang lain untuk mendapatkan keadilan lingkungan.
Perempuan yang hidup di lokasi tambang ibarat perempuan yang berada di garis depan pertempuran. Pertempuran perebutan, siapa sih sebenarnya pemilik kepentingan yang sesungguhnya yang harus diutamakan? Apakah pemerintah atau kah rakyat? Jjka benar rakyat atau dalam hal ini demi kesejahteraan masyarakat desa Blang Nisam, namun mengapa masyarakat terkesan dihadapkan pada situasi dimana harus menyesuaikan diri dengan bau busuk itu hampir setiap hari? Masyarakat cenderung diabaikan dan masalah bau seolah hanya sebuah isu yang tidak begitu penting.
Hari ini udara yang tidak berbau itu mahal di Blang Nisam. Jika ingin benar – benar merasa aman di hari itu dan berencana menghirup udara tak berbau, maka harus keluar dari desa dahulu ke desa lainnya. Masyarakat harap – harap cemas. Setiap hari memikirkan apakah hari ini bau itu ada atau tidak. Jika ada, artinya mereka harus bersiap dengan segala kemungkinan yang ada. Apakah memutuskan untuk berhenti bekerja, karena tidak tahan atau tetap bekerja dengan menyiapkan bermacam cara agar bau tidak begitu menyengat tercium ? Harus bagaimana?
Yang jelas hari itu pasti dilalui dengan kekesalan dan ketakutan. Takut jika harus ke Puskesmas terdekat, lalu kemudian dirujuk ke rumah sakit di kabupaten. Takut karena tidak memiliki uang untuk keluarga, baik yang menunggu di rumah sakit maupun untuk biaya sehari – hari bagi keluarga yang ada di rumah. takut jika ada peristiwa kebauan yang luar biasa, sementara anggota keluarga tidak seluruhnya berada di rumah. Jika anak – anak di sekolah dan orang tua bekerja dalam situasi kepanikan di mana akan berkumpul, siapa yang akan mengumpulkan? Dengan apa akan menuju kesana, dan jika perlu pertolongan medis segera, siapa yang akan mengurusnya? Bagaimana mengetahui titik terparahnya serta jalur evakuasinya dan berbagai ketakutan lainnya?
Kondisi yang paling parah biasanya dihadapi oleh mereka yang sebelumnya telah memiliki penyakit seperti penyakit asam lambung, sinusitis, jantung dan sebagainya. Mereka ini tergolong kelompok rentan di luar kelompok perempuan, anak dan lansia.
Berbagai protes dilakukan masyarakat, namun ia hanya sepenggal cerita yang diceritakan di warung – warung kopi, karena tidak membuahkan hasil dan bau tetap ada seolah memiliki jadwalnya sendiri.
Pemerintah desa dan seterusnya di atasnya, juga tidak mampu berbuat apa – apa. Kunjungan demi kunjungan, pertemuan dan diskusi baik dengan DLH, DLHK, DPRK, DPRA dan bahkan KLHK belum melahirkan satu solusi pun bagaimana agar masyarakat tidak lagi harus mencium bau busuk tersebut.
Suka tidak suka perempuan yang hidup di daerah tambang seperti perempuan – perempuan dari desa Blang Nisam menanggung beban berat berkali kali lipat. Mereka harus mampu bertahan di tengah bau itu, harus merawat dan menjadi pengganti pencari nafkah utama di keluarganya,jika si suami yang sakit, anak harus tetap sekolah. Memastikan semua harus berjalan seperti biasanya ditambah lagi berjuang untuk menyuarakan agar bau busuk itu tidak ada lagi. Artinya adalah dalam setiap buruknya tata kelola lingkungan, penanggung dampak lingkungan terberatnya adalah perempuan.
Ibu Erni, seorang ibu dari anak yang bernama Rafa berkali – kali harus menangis mengadukan nasib anaknya kepada siapapun perwakilan pemerintah yang ia anggap dan harapkan dapat menyelesaikan permasalahan bau ini. Ia meyakini anaknya sakit karena tidak tahan menghirup bau busuk tersebut. Ia hanya satu dari ibu – ibu lainnya yang hari ini masih harus berjuang untuk waktu yang lama yang entah sampai kapan akan didengar suaranya. Bukan sebagai suara sumbang, tapi suara rakyat yang katanya suara pemilik negeri ini.
Mereka berjuang bukan demi pekerjaan dan penghidupan yang layak atas ekploitasi hasil bumi di desanya. Mereka hanya ingin udaranya tidak berbau. Mereka ingin hidup sebagaimana dahulu mereka biasanya. Yang bertani akan terus bertani menanam, benih menabur mimpi mengumpulkan sedikit demi sedikit uang untuk biaya pendidikan demi masa depan putra putrinya . Begitu juga yang sehari – harinya berdagang. Mereka tidak mengerti apa yang harus mereka tuntut atas hadirnya perusahaan yang seharusnya menguntungkan mereka, namun hari ini mereka tahu mereka tidak boleh diam. Mereka harus menuntut hak mereka terhadap lingkungan. Mereka tidak anti pada perusahaan dan tidak ada alasan untuk itu. Mereka hanya menuntut perbaikan tata kelola, sehingga hak menghirup udara yang bersih dan sehat bisa mereka dapatkan.
Blang Nisam, 23 Agustus 2023
Yessi