Oleh Tabrani Yunis
Aksi atau tindakan kekerasan di lembaga pendidikan di tanah air seperti semakin sulit diberantas. Berbagai macam aksi kekerasan, baik kekerasan fisik, kekerasan psykis, kekerasan seksual, pene Lanta ran hingga exploitasi, terus melanda dunia pendidikan kita. Secara nasional menunjukan indikasi peningkatan jumlah kasus aksi kekerasan pelajar di Indonesia secara kuantitas dan kualitas terus meningkat. Bahkan diklaim sudah dalam keadaan darurat, atawa emergensi atau genting. Parah bukan?
Menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI), seperti yang dilansir oleh Kompas edisi 20 Januari 2023 terdapat 4683 aduan, dan dari jumlah itu 429 aduan terkait Sektor pendidikan dan budaya. Jumlah angka kekerasan itu bisa jauh lebih besar, karena data itu belum termasuk dengan kasus -kasus aksi kekerasan terhadap pelajar atau siswa di Aceh.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) seperti diberitakan Serambinews.com 08 Juli 2023 memberitakan, Aceh mencatat hingga akhir Juni 2023, kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh mengalami peningkatan. Total hingga Juni ada 575 kasus yang tercatat oleh DP3A Aceh. ( Serambinews.com, 08/07/23).
Plt Kepala DP3A Aceh Meutia Juliana MSi mengatakan, jumlah tersebut mengalami peningkatan jika dilihat dalam tiga tahun terakhir. , jumlah kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh pada tahun 2020 ada 905 kasus, 2021 dengan 924 kasus. Peningkatan paling tinggi pada tahun 2022 dengan 1.029 kasus. Tinggi sekali bukan? Pasti jumlah itu akan terus meningkat bila ditambah dengan kasus-kasus aksi kekerasan yang dilakukan oleh para pelajar terhadap sesama pelajar seperti kasus kekerasan siswa yang terjadi di SMA Negeri Sakti, Pidie, Aceh pada hari Sabtu, tanggal 05/08/2023. Aksi kekerasan itu direkam dan beredar di media sosial, baik whatsapp, Twitter, maupun platform media lainnya di media online dan juga media cetak.
Menjadi Momok
Tingginya aksi kekerasan yang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia umumnya dan di Aceh khususnya, merupakan preseden buruk bagi dunia pendidikan, apakah di sekolah-sekolah formal, di tempat-tempat belajar lainnya, seperti di dayah, pesantren dan lembaga pendidikan lain, baik yang tidak berasrama, maupun sekolah biasa. Dikatakan demikian karena segala bentuk aksi kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan akan membawa dampak buruk bagi lembaga pendidikan itu sendiri.
Tak dapat dipungkiri bahwa tingginya angka tindak kekerasan yang terus melanda atau terjadi dalam lembaga pendidikan, telah membuat orangtua sangat was-was atau khawatir bahkan takut mengantarkan Anak-Anak mereka ke sekolah-sekolah yang semakin tidak aman dan nyaman bagi anak untuk belajar. Tentu bukan hanya orang tua, yang merasa takut, tetapi juga anak-anak merasa khawatir dan takut. Jadi ini akan sangat berbahaya dan menjadi momok yang menakutkan.
Lembaga pendidikan, baik sekolah, maupun dayah atau Pesantren yang seharusnya menjadi tempat yang aman, nyaman dan bersahabat atau children friendly, bukan tempat yang menggalaukan hati, atau merisaukan, bahkan menakutkan, karena tingginya kasus aksi kekerasan di sekolah atau di dayah ( Pesantren) selama ini.
Apalagi selama ini, seiring dengan kemajuan teknologi informasi, di mana gadgets sudah ada di tangan setiap Anak. Beredarnya video aksi tindak kekerasan di sekolah, menambah berat rasa was-was dan rasa takut. Sebagai contoh saja, baru-baru ini para netizen banyak yang menonton video -video kasus kekerasan pelajar, yang terjadi di SMA Negeri 1 Sakti, Pidie baru-baru ini. Video yang membuat hati kita, apalagi orangtua korban sangat khawatir dan bahkan takut.
Ya, bayangkanlah dalam salah satu video yang beredar di media sosial yang kita saksikan aksi brutal siswa memukul korban bertubi-tubi di ruang kelas yang membuat korban tak berdaya melawan, sangat Ini memperlihatkan, karena tampak brutal. Bila menyaksikan aksi ini, bukan hanya hati orangtua korban yang terbuka, kita yang menyaksikan di video itu ikut marah atau emosi serta ingin bisa meleraikan. Apa daya, kita menyaksikan aksi kekerasan itu di layar HP, tidak berada di tempat kejadian. Kita pasti ikut merasa gerah dan geram melihat aksi itu. Ya, karena tidak mampu ikut membantu korban, kita berharap pihak berwajib, penegak hukum bisa melakukan proses hukum yang setimpal dengan aksi kekerasan yang dilakukan oleh para pelajar itu. Selain itu harapan agar aksi kekerasan di sekolah atau di lembaga-lembaga pendidikan bisa dihentikan. Karena aksi itu, tidak boleh terjadi di sekolah atau di lingkungan sekolah.
Bukan hanya itu, ternyata ada lagi aksi kekerasan yang lebih brutal, Selain kasus kekerasan pelajar yang terjadi di SMA Negeri 1 Sakti itu. Dua hari berselang, beredar pula sebuah video tindak kekerasan yang dilakukan oleh para pelajar. Aksi yang membuat darah kita menggelegar. Tidak ada keterangan lokasi atau tempat kejadian. Namun dilihat dari ruangan dan usia korban dan para pelaku, kejadian itu dilakukan di ruang asrama siswa atau pelajar. Apakah boarding school, dayah atau pesantren. Yang jelas video yang merekam peristiwa aksi kekerasan itu seakan sedang di camp penyiksaan oleh pelajar terhadap seorang pelajar yang menjadi korban. Sang korban yang bertubuh kecil dipukuli, ditendang, diinjak, dijambak bertubi-tubi, tanpa ampun. Korban tanpa henti dikeroyok hingga tak mampu mengerit. Tidak ada satu pun yang meleraikan karena iba atau takut. Malah pelaku memperlihatkan wajah mereka di video yang beredar itu. Aksi kekerasan di sekolah atau di lembaga pendidikan kita, sangat memprihatinkan dan tidak boleh dibiarkan aksi ini terulang atau berlanjut. Terulangnya atau berlanjutnya aksi kekerasan di sekolah atau lembaga pendidikan akan membawa dampak besar bagi Anak, korban kekerasan. Study global yang dilakukan oleh Fry dan kawan-kawan (2018) seperti dikutip oleh Ryan Fajar Febrianto, Kompas 16 Agustus 2023 mengatakan bahwa Anak yang mengalami kekerasan memiliki kemungkinan 13 persen tidak lulus sekolah.
Banyak sekali dampak buruk aksi kekerasan yang terjadi di sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan kita. Selain yang disebutkan di atas, Anak yang mengalami tindak kekerasan tersebut bisa mengalami trauma berat yang berujung pada besarnya angka ketidaklulusan dan bahkan bisa menjadikan korban berhasil menjadi pelaku baru. Aksi kekerasan di lembaga pendidikan, dapat menyisakan penderitaan secara fisik dan psykis.
Dalam konteks visi Indonesia emas 2045, masih berlanjutnya aksi kekerasan di sekolah atau di lembaga pendidikan di tanah air, akan menjadi penghambat terwujudnya visi Indonesia emas yang mengantarkan Indonesia menjadi negara yang tergolong dalam prediksi Goldman Sach, sebagai negara terbesar ke empat di dunia, Cina, Amerika, India dan Indonesia. Bukan hanya itu, bonus demografi yang dimiliki oleh Indonesia akan berkualitas buruk dan sia-sia. Oleh sebab itu, sekolah harus bisa melakukan screening, mitigasi terhadap munculnya bibit-bibit kekerasan di sekolah dengan berbagai program dan kegiatan yang anti kekerasan. Setiap sekolah atau lembaga pendidikan harus menerapkan segala prinsip sekolah ramah anak.
Tentu ada banyak cara yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah untuk menjamin aman dan nyamannya sekolah dan jauh dari berbagai aksi kekerasan. Apalagi Kemendikbudristek yang sedang berupaya menyukseskan pelaksanaan kurikulum Merdeka dan Merdeka Belajar. Ya, sebagaimana yang kita ketahui bahwa Kemendikbudristek baru-baru ini meluncurkan episode Merdeka Belajar, episode 25 tentang Pencengahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Langkah ini bisa meminimalisir terjadinya aksi tindak kekerasan di sekolah
Hal yang murah dan sederhana, setiap sekolah harus memasang kamera CCTV, atau dengan cara optimalisasi guru piket sekolah. Hal ini bisa pula dilakukan dengan cara mengatur jadwal guru piket yang tidak hanya berdiam di ruang guru atau di ruang Bimbingan dan konseling, tetapi harus secara intens melakukan patroli di lingkungan sekolah, terutama pada waktu istirahat atau pada kelas-kelas yang gurunya tidak masuk. Juga yang paling penting adalah dengan membiasakan penggunaan narasi-narasi yang nirkekerasan, sejuk dan mendidik. Membangun narasi damai, hak asasi manusia dan kesadaran membangun sekolah yang damai dan aman akan membentuk kebiasaan hidup damai, tanpa kekerasan di sekolah.
Selain itu, pihak sekolah harus membangun kembali hubungan yang lebih erat di antara tri pusat pendidikan dengan membagi peran masing-masing lembaga pendidikan di keluarga, sekolah dan masyarakat. Meningkatkan kembali fungsi kontrol dari ketiga institusi Tripusat pendidikan tersebut. Tentu saja dengan adanya fasilitas internet, sistem kontrol dan lapor berbasis internet bisa dilakukan. Sehingga sekolah yang zero violence, bisa pula terwujud. Semoga