Banda Aceh -Potretonline.com- Digelarnya Forum Group Discussion (FGD) atas prakarsa Cut Ratnawati dkk, di Indoor Taman Seni dan Budaya Aceh menjadi momen silaturahmi, pemersatu seniman Aceh. Para seniman berbagai bidang menyuarakan pentingnya berbagai solusi kreatif dan urgensial guna menjawab tantangan berkesenian khususnya di Aceh, Sabtu (26/8/2023).
“Kemungkinan berbagai tantangan berkesenian di Aceh dapat ditangani melalui beragam strategi. Hal terpenting adalah melakukan silaturahmi lintas personal, juga lintas komunitas. Hari ini kita bersama para seniman Aceh menggelar FGD dalam satu komitmen bersatu untuk maju, bersama saling meuripe alias akomodasi tenaga juga materi gelaran FGD bersama pula,” ungkap Cut Ratnawati.
Diinisiasi juga oleh Yan Kande yang juga Ketua Majelis Seniman Aceh secara pribadi menguak keheningan ruang diskursus berkesenian,. Yan juga membuka acara FGD bertajuk ‘Merajut Kebersamaan Membangun Kesenian mewakili panitia yang telah menyiapkan FGD sepekan sebelumnya.
“Inisiatif berbagai pihak terhadap ide dan niatan, kita kongkritkan melalui terlaksananya FGD. Berbagai usulan kita tampung dan jadi bahan rekomendasi atas nama FGD. Pada tahap lanjut, para pihak juga diminta terus terlibat mengawal dan menjembatani kelanjutan FGD mendatang. Bahkan telah disepakati rekomendasi hasil FGD yang bakal diteruskan kepada berbagai saluran yang tepat. Bisa saja kepada dinas terkait bahkan langsung saja mengundang PJ Gubernur Aceh untuk mendengar dan memaknai langsung segala soalan yang kini dihadapi kalangan seniman di Aceh,” papar Yan Kande.
Hadir menjadi pemantik FGD antaranya Dr. Nurlis, Din Saja, Djamal Taloe, Ampon Yan. Secara personal masing-masing menelaah konsepsi juga temuan hambatan tumbuh kembangnya kesenian di Aceh, menyorot lebih luas duduk pangkal munculnya hambatan berkesenian; personal seniman, program lembaga kesenian, unsur daya dukung suasana berkesenian, bahkan pada tatanan stakeholder dan pengambil kebijakan terkait program kesenian juga budaya di Aceh.
“Saya menyorot adanya kemunduran dalam aktifitas kesenian di Aceh, bahkan dari segi media, karenanya setiap pihak sangat berpotensi menjadikan perkembangan seni budaya di Aceh untuk dapat lebih baik di masa depan,” papar Nulis.
“Beberapa argumen harus diulang persoalan 30 tahun lalu. Padahal, saya menekankan pentingnya regulasi, soal personal sebagai seniman. Menurut saya itu tanggung jawab masing-masing diri si seniman. Terlepas dari semua itu, sudah saatnya momentum mempertanyakan fungsi lembaga formal terhadap kemajuan kesenian kita di Aceh. Jika lembaga semacam dinas itu tak ada manfaat, perlu pada titik ini disepakati saja untuk dihapus-bubarkan!,” ungkap Din Saja.
Djamal menyorot pentingnya ada bargaining seniman dalam konteks menghadapi ketidaksinergian program pemerintah terhadap dunia berkesenian di Aceh. Unsur ini menurutnya cukup signifikan dalam upaya menjaga peningkatan kemajuan berkesenian. Ternyata diperlukan sikap yang tegas demi menjaga ‘harga diri’ seniman itu sendiri agar tidak terjebak dalam konflik kepentingan terkait anggaran kesenian.
“Saya mengkritik sebagai satu cara menyampaikan apa dan bagaimana seharusnya anggaran kesenian di Aceh ini yang secara patut dan bermartabat dapat diterapkan. Pemerintah Aceh melalui dinas harus mengambil peran secara proporsional terkait anggaran dari program. Kitalah yang juga sebagai pemilik anggaran seni budaya ini yang seharusnya ikut menentukan. Ini malah tidak dilibatkan, bahkan apabila terlalu mengkritik, bisa-bisa dianggap tidak kooperatif, ini aneh buat Saya selaku seniman,” ungkap Djamal.
Pemantik FGD, Ampun Yan dalam sesinya memaparkan pentingnya cara pandang masa depan karya seni. Baginya berkarya dan mampu membuktikan nilai ‘jual’ karya jugalah urgensi sekaligus gengsi. Dari hal ini menurutnya, pemerintah akan menilai sendiri kepatutan para seniman di Aceh. Pilihannya justru pada karya dan kiprah berkesenian sebagai jawaban beragam tantangan masa depan kesenian kita.
“Sungguh aneh jika bergantung pada lembaga struktural yang kadangkala tiap 2 tahun sekali berganti-ganti orang mengurus program seni di dinas. Karena itu, pilihannya bukan pada keberadaan dinas atau pemerintah dalam arti potensi utama berkiprah di bidang seni. Kita sebagai seniman patut membawa konsep nilai kemandirian, meski betapa pentingnya lembaga formal itu, namun kepercayaan diri seniman memiliki nilai jual tersendiri,. Artinya untuk dilirik, seniman perlu eksistensi kekaryaan yang mampu menembus batas dan ruang, termasuk dalam soal anggaran,” papar Ampon Yan.
Beberapa peserta turut berdialog mengutarakan persoalan dari tantangan berkesenian. Luasnya masalah yang dianggap membawa dampak pasang surutnya suasana berkesenian di Aceh.
Di akhir FGD disepakati lanjutan tahap lanjutan. Panitia bermaksud ke depan akan mengundang para pihak yang dianggap patut mendengarkan secara bermuka-muka , terkait apa dan bagaimana tantangan dan perkembangan seni budaya di Aceh masa kini termasuk dengan pihak eksekutif di pemerintahan, legislatif juga para tokoh seni Aceh yang dalam kesempatan FGD perdana belum berkesempatan hadir.
Lebih empat puluhan seniman berbagai bidang seni tampak antusias mengisi ruang indoor Taman Seni Budaya Aceh di momen FGD. Suasana berkesenian memerlukan silaturrahmi terus menerus demi mengurai kebekuan lintas kalangan seni. Tampak kesempatan berkumpul di FGD menjadi ruang diskursus paling ditunggu.
Kontributor : Muhrain