Bussairi D. Nyak Diwa
Bulan Juli tahun 1983 aku dinyatakan lulus dari SMP Negeri Bakongan. Dengan demikian tamatlah sekolahku di satu-satunya SMP di Kacamatan Bakongan itu. Kebetulan di tahun yang sama dibuka pula Sekolah Menengah Atas Swasta untuk pertama kali di Kota pesisir ini. Maka otomatis pula, kami yang cikal bakal lulusan SMP tahun itu, mau tidak mau, jika ingin melanjutkan sekolah harus masuk ke SMA yang baru dibuka itu. Tak ada pilihan lain, bersama beberapa teman seangkatan, aku pun mendaftar di sekolah yang guru-gurunya tak lain adalah guru kami sewaktu di SMP juga.
Namanya juga SMA Swasta, jadi tak ada gedung sendiri. Tempat belajar kami juga menumpang pada ruang Laboratorium SMP. Demikian juga dengan proses belajar-mengajar, kadang-kadang berlangsung, kadang-kadang macet. Waktu kami di sekolah lebih banyak diisi dengan kegiatan nonkurikuler. Misalnya main bola kaki di pantai yang luas dan landai yang letaknya persis di belakang SMP. Atau main poli di halaman sekolah, bahkan banyak di antara kami yang menghabiskan waktu dengan keluyuran ke luar kompleks sekolah.
Keadaan yang terus menerus seperti ini akhirnya membuat aku jenuh juga. Tiap pagi ke sekolah, tapi sampai di sekolah kadang belajar, kadang tidak. Maklum, guru-guru yang mengajar tentu lebih mementingkan mengajar di SMP karena memang mereka guru SMP ketimbang menghabiskan waktu mengajar kami. Toh, kalau pun mereka mengajar kami, gaji guru-guru itu tetap saja di SMP. Sedangkan honor mereka di SMA kadang ada, kadang tidak. Tergantung sepenuhnya dari SPP yang kami bayar.
Hampir enam bulan aku belajar di SMA Swasta ini, aku mulai bosan. Iseng-iseng aku mengirim surat kepada abang iparku di Banda Aceh. Aku curhat tentang keadaan sekolahku, sedangkan aku ingin sekali sekolah yang sungguh-sungguh. Jika aku tetap bertahan di kampung aku khawatir sekolahku akan berantakan karena situasi dan kondisi sekolah yang tidak menentu. Kuceritakan semua keadaan sekolah yang kujalani dan tak lupa pula aku ungkapkan keinginanku untuk bersekolah di tempat yang lebih baik. Aku ingin masa depanku tidak sia-sia, seperti yang pernah disarankan oleh kepala sekolah sewaktu aku SD dulu.
Di luar dugaan, abang iparku yang bekerja di Kantor Gubernur itu menanggapi curhatanku dengan positif. Sewaktu Abang Ipar bersama kakakku dan anak-anaknya pulang kampung menjelang puasa tahun 1983 itu, dia mengajakku untuk pindah sekolah ke Banda Aceh dan tinggal bersamanya. Tentu saja, tanpa pikir panjang aku mengiyakan. Aku membayangkan, jika pindah ke Banda Aceh sekolahku tentu akan lebih baik. Maklum, sekolah di kota tentu sangat beda dengan sekolah di desa. Di kota semua fasilitas sekolah tersedia. Dengan demikian kesempatan belajar pun tentu akan lebih baik, pikirku.
Seminggu sehabis Hari Raya Idul Fitri tahun 1983 itu, kami bersiap-siap untuk berangkat ke Banda Aceh. Ayah ibuku sangat setuju aku pindah sekolah ke Banda Aceh, karena berpikir bahwa aku di Banda Aceh kelak tinggal bersama kakak kandungku sendiri. Tentu, tinggal dengan saudara sendiri sama saja tinggal bersama kedua orang tua. Tapi aku tidak memikirkan dengan siapa aku akan tinggal, yang aku pikirkan adalah bagaimana aku dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah yang lebih baik. Itulah sebabnya, ketika Abang Ipar memintaku segera mengurus surat pindah aku pun menghadap kepala sekolah. Dengan berbagai alasan dan pertimbangan aku sampaikan tekatku kepada Kepala Sekolah. Dan alhamdulillah, akhirnya dengan rasa berat hati Beliau merestui kepindahanku dengan mengeluarkan secarik kertas Surat Pindah dan sebuah raport berkulit karton berwarna biru pudar.
Aku masih ingat, dengan menumpang mobil Jeep Taf solar warna merah bata milik Abang Ipar, aku dan Beliau sekeluarga berangkat dari rumah di Desa Ujong Gunong Rayek. Diiringi oleh isakan ibu dan pandangan iba Ayah, aku mencium tangan kedua orang tuaku itu, mohon restu. Tapi aku tidak menangis, kesedihan yang maha hanya kusimpan di dalam hati. Aku tidak ingin semangatku patah karena hanya merasa sedih meninggalkan Ayah dan Ibu di kampung. Justru aku ingin kesedihan itu kusimpan di lubuk hati yang paling dalam sebagai bekalku dalam menuntut ilmu. Aku bertekat untuk menyimpan kesedihan sementara waktu untuk kubawa pulang kembali kelak bersama keberhasilan. Hanya doa yang tak putus-putus kulafadzkan di dalam hati, semoga kelak aku dapat berjumpa kembali dengan kedua orang tuaku itu.
(Bersambung)