Oleh Darmawan
Tapaktuan – Harmaili (44), penduduk asli Manggamat, Kecamatan Kluet Utara, Kabupaten Aceh Selatan, menceritakan bahwa pada tahun 1990-an, Krueng Kluet atau dalam Bahasa Kluet disebut Lawe Manggamat dari pengujung Gampong Simpang Tiga Manggamat hingga ke muara sungai antara Gampong Jambur Papan – Malaka, sungai tersebut sangat indah, jernih, dan sejuk.
Kedalaman sungai yang nampak biru dengan ikan-ikan kerling, juloh, dan lain-lain luar biasa banyaknya. Tetapi, lanjut Harmaili, tepat pada era tahun 1990-an, mulailah yang namanya musim kayu/sinso (chainsaw), luar biasa maraknya menebangi kayu di mana-mana. Entah itu yang dinamakan ilegal logging, kita pun tidak tahu.
Namun apa yang terjadi hingga belasan tahun kemudian, sebut Harmaili, sehingga sedikit demi sedikit dan lambat laun sungai Manggamat mulai mengalami pendangkalan. Ikan-ikan kerling juga mulai berkurang.
“Teringat pelajaran waktu di sekolah, jangan menebang kayu sembarangan, akan terjadi banjir dan lain sebagainya kita pun waktu itu tak peduli kali,” cerita Harmaili.
Harmaili menambahkan bahwa kesimpulan yang diceritakan tersebut, perusahaan tambang yang beroperasi tepatnya di hulu sungai Manggamat tanpa memikirkan dampak dari pengerokan tanah buangan tambang tersebut.
“Hasilnya Lawe Manggamat persis seperti kubangan lumpur dan keruh (meletok). Bahkan di kala hujan deras, di benak kami was-was rasa ketakutan akan terjadi banjir bandang, karena gampong tempat kami tinggal berdekatan dengan lokasi tambang tersebut,” Harmaili mengakhiri ceritanya.
Harmaili selaku pribadi sangat tidak setuju jika tambang itu dibiarkan begitu saja berproduksi tanpa pengawasan dari instansi terkait terhadap kerusakan lingkungan.
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Pemuda Pelajar Pasie Raja (IMP3), Aulia Rahman, menolak keras tarhadap hadirnya aktivitas tambang yang merusak lingkunagn di Manggamat.
Menurut Aluia, selain meresahkan dan merugikan warga, eksploitasi perusahaan tambang tersebut juga merusak ekosistem lingkungan daerah setempat.
“Untuk itu, kami mengajak seluruh elemen masyarakat, ormas untuk sama-sama bergandengan tangan, menolak dan menghentikan operasi tambang di Aceh Selatan,” ajak Aulia.
Seperti yang kita ketahui, hadirnya eksploitasi penambangan bukan menjadi manfaat untuk kemakmuran ekonomi masyarakat Aceh Selatan, akan tetapi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat.
Penambangan tersebut seringkali tidak dioperasikan dengan standar yang ketat atau tidak mematuhi peraturan lingkungan. Aktivitas penambangan ini dapat menyebabkan penggundulan hutan, dan degradasi lahan yang merusak ekosistem alam.
Selain itu, penggunaan bahan kimia berbahaya tanpa pengelolaan yang tepat dapat mencemari air tanah, sungai, dan ekosistem perairan. Tambang ilegal sering menggunakan metode tradisional yang tidak ramah lingkungan dan berbahaya bagi kesehatan.
Penggunaan bahan kimia beracun seperti merkuri atau sianida tanpa pengelolaan yang tepat dapat mencemari air dan tanah. Penyebab terkontaminasi dengan zat-zat beracun ini dapat menyebabkan masalah kesehatan serius bagi para penambang ilegal dan masyarakat yang tinggal di sekitar tambang.
Forum Peduli Kluet Raya (FPKR), memantau langsung keluhan masyarakat terkait perubahan aliran Laee Manggamat yang berubah warna, pada Sabtu (15/7) di Manggamat.
Ketua Bidang Lingkungan FPKR, Dhamer Syam, menyebutkan bahwa benar aliran sungai Manggamat berubah warna. Artinya, aliran sungai yang semula menjadi bersih dan jernih, kini berubah warna menjadi keruh.
Terdapat satu hal yang menarik, di mana salah satu aliran sungai tersebut terdapat persimpangan aliran yang jernih atau masyarakat setempat lebih mengenal dengan sungai Paya Abo, Gampong Simpang Tiga dan Sungai Alue Baro Gampong Simpang Dua.
“Sedangkan aliran sungai yang keruh atau sungai Air Putih merupakan terusan dari Gampong Simpang Tiga atau turunan dari anak sungai yang hulunya diduga tempat beroperasinya PT BMU. Hasil penelusuran kami, aliran sungai Menggamat memang berubah warna menjadi keruh, sehingga ini akan ditindak lanjuti secara mendalam agar tidak menimbulkan spekulasi negatif,” kata Dhamer.
Dikatakan Dhamer bahwa kita mendengar beragam komentar dari masyarakat, terkait aliran sungai tersebut diduga diakibatkan oleh aktivitas tambang yang sedang beroperasi di area Simpang Tiga Kecamatan Kluet Tengah.
“Sebagai pengurus FPKR, kami tidak mau berspekulasi dulu. Namun, kami akan menindaklanjuti secara mendalam dengan segala bukti dan data yang ada, sehingga nantinya kita dapat melakukan advokasi demi kepentingan masyarakat umum,” tegas Dhamer.
Ketua FPKR, Zulfata menjelaskan bahwa hasil pantauan pengurus FPKR di lokasi membuktikan aliran sungai Menggamat memang berubah warna menjadi keruh, sehingga sangat sukar memanfaatkan air tersebut sebagai kebutuhan sehari-hari.
“Petani yang kami temui juga mengeluh, karena air masuk kepersawahan sudah dalam kondisi keruh,” ucap Zulfata.
Zulfata menegaskan bahwa FPKR akan menindaklanjuti dan membahas dalam forum ini, sehingga akan memperjelas kronologi awal terkait kenapa aliran sungai Menggamat ini bisa keruh.
“Kami akan membahas masalah ini dalam forum Kluet Raya, sehingga apa yang menjadi perbincangan masyarakat terjawab dengan data dan bukti-bukti konkrit,” pungkas Zulfata.
Menanggapi keluhan masyarakat terhadap pencemaran Lawee Manggamat, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Aceh Selatan, merespon keluhan masyarakat Kluet Tengah.
Kepala DLH, Teuku Masrizar S.Hut, MSi, mengaku bahwa pihaknya telah mengambil sampel air sungai di kawasan Gampong Simpang Lhee, Kecamatan Kluet Tengah, Minggu (16/7).
Masrizar menuturkan bahwa tim DLH Aceh Selatan melakukan pengambilan sampel air pada aliran sungai yang nantinya akan dikirim ke laboratorium di Banda Aceh.
“Sampel nanti akan diuji di laboratorium di Banda Aceh. Setelah hasil laboratorium keluar, kami akan melaporkan hasilnya ke pimpinan,” janji Masrizar. (*)