Oleh Zulkifli Abdy
KAMPANYE itu sepatutnya menjelaskan tentang visi dan misi, atau lebih konkritnya lagi menjelaskan program-program dan apa saja potensi serta kelebihan-kelebihan dari Bacalon yang akan tampil di panggung kontestasi politik. Bukan justru dengan mencari-cari kesalahan atau bahkan menjelek-jelekkan Bacalon lawan yang bernuansa fitnah. Boleh jadi masyarakat luas tidak akan mudah terpengaruh dengan hal-hal semacam itu, dan belum tentu akan mempercayainya begitu saja.
Kita kerap menyaksikan melalui media sosial, para pendukung salah satu Bacalon “asyik” menghujat dan menjelek-jelekkan Bacalon lain, sehingga lupa menjelaskan potensi atau keunggulan apa saja yang dimiliki Bacalon yang mereka dukung untuk memikat hati konstituen.
Akhirnya masyarakat luas justru tidak pernah mengenal dengan baik Bacalon yang mereka dukung, sehingga momentum untuk menggugah masyarakat melalui semacam “framing” pun terlewati dengan sia-sia.
Dengan demikian kampanye yang diharapkan untuk meraup sebanyak mungkin dukungan, akhirnya menjadi kontraproduktif, bahkan bisa berbalik menjadi bumerang.
Pada titik tertentu, pendukung Bacalon yang selalu menjelek-jelekkan atau bahkan memfitnah, tanpa disadari justru semakin meninggikan elektabilitas Bacalon lawan yang mereka fitnah itu.
Bukankah pengalaman empiris telah membuktikan, bahwa calon pemimpin yang kerap “dikerdilkan” dan banyak menerima tekanan serta perlakuan yang tidak adil secara politis, pada akhirnya memenangkan kontestasi?
Apalagi masyarakat sekarang sudah sangat cerdas dalam mengamati fenomena politik yang sedang masif berlaku di negeri ini.
Bahkan pada kondisi tertentu, pendukung Bacalon yang merasa diperlakukan tidak adil itu akan menggunakan logika terbalik dalam menyikapinya.
Boleh jadi logika terbalik itu cerminan dari sikap skeptis masyarakat terhadap “budaya-baru” politik yang saling menyerang, sekaligus sebagai respons terhadap dinamika politik yang cenderung pelik.
Biasanya dalam menyikapi situasi normal yang semu dan dipenuhi kepura-puraan, masyarakat akhirnya cenderung berpikir, dan akan bertindak bahkan berpihak pada kondisi yang sebaliknya.
Kalau itu terjadi, apa yang kita lihat pada bagian muka dari etalase politik yang sedang dipertontonkan, tidak lagi sepenuhnya akan dipercaya oleh khalayak, termasuk juga hasil survei yang tidak mencerminkan realitas sesungguhnya.
Dalam segala ketidakpastian, secara naluriah masyarakat akan berupaya mengonfirmasi sendiri setiap gejala yang ada dengan menelisik referensi yang mereka yakini lebih valid dan terpercaya, seraya terus mencari tahu apa sesungguhnya di balik apa.
Bukankah pada era keterbukaan informasi ini, masyarakat akan dengan sangat mudah untuk mendapatkan data pembanding?
Data tidak lagi efektif disimpan “di lemari besi” atau ruang tertutup, karena kini data apapun relatif dapat diakses oleh siapa saja, sehingga masyarakat awan di lapis bawah sekalipun dapat mengetahuinya dengan mudah.
Kendati dalam dunia politik, dengan alasan tertentu orang biasa melakukan “pengaburan” informasi, bahkan melakukan rekayasa yang sarat dengan kebohongan sebagai bagian dari strategi, tapi kalau semua itu dilakukan secara ceroboh dan tidak cermat, justru akan terkesan memperlihatkan kenaifan belaka.
Lalu pertanyaan yang mencuat ke permukaan di tengah kegamangan yang ada, mengapa sesekali kita tidak mencoba menempuh “jalan-lurus” menuju kehidupan demokrasi yang bermuara pada terwujudnya masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera, tanpa secuilpun meninggalkan potensi perpecahan diantara anak bangsa.
Serta mengembalikan waham politik kita pada nilai-nilai yang mengedepankan kejujuran, yang disertai keranggian etika-moral serta kemauan besar kita untuk membangun bangsa ini lebih baik lagi di masa mendatang.
Tentu kita berharap semuanya itu berlangsung khidmat dengan senantiasa memelihara kerukunan serta keakraban diantara segenap warga negara yang berbingkai semangat persatuan dan kesatuan.
Zulkifli Abdy – Pemerhati Masalah Sosial berdomisili di Banda Aceh.