Oleh TA.Sakti
SEMBILAN BELAS TAHUN LALU, pada hari ini SABTU, 14 Zulqa’idah 1444 H telah terjadi bencana amat dahsyat di Aceh (gempa dan tsunami), yang tidak dikenal namanya yang tepat dalam tradisi Aceh. Orang Aceh menyebutnya ie beuna, tapi akhirnya dipakailah istilah yang sudah populer di negeri Jepang, yakni tsunami.
Seorang profesor mengajak saya membuat penelitian mengenai “Tsunami ala budaya Aceh”. Tetapi setelah sekian banyak hikayat Aceh saya preteli, tidak satu pun saya jumpai istilah ie beuna sama dengan tsunami. Ie Beuna adalah air bah yang berada di daratan dan sama sekali bukan gelombang pasang dari laut. Dalam versi hikayat, banjir bandang itu bersumber ilmu kesaktian dari para pihak yang sedang berperang.
Tsunami Aceh terjadi pada hari Ahad, 14 Zulqa’idah 1425 H bersamaan 26 Desember 2004 M. Bulan Zulqa’idah dalam bahasa Aceh bernama “buleun beurapet” artinya bulan yang diapit oleh dua kali hari raya, yaitu Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha(Hari Raya Haji).
Pada saat itu sebagian calon haji Aceh sudah berada di Tanah Suci Mekkah, sedang sebagian yang lain masih belum berangkat. Pada hari kejadian Tsunami, banyak calon jamaah haji diantarkan oleh keluarganya masing-masing ke Asrama Haji di Banda Aceh.
Akibat dihantam Tsunami, gelombang laut tertumpah hingga ke Asrama Haji, karena itu banyak dari mereka naik ke lantai atas untuk menyelamatkan diri. Saat air surut, mereka turun untuk pulang, namun tiba-tiba terdengar isu gelombang Tsunami kembali datang dan mereka kembali berebut untuk menyelamatkan diri lagi.
Sementara itu, sebagian calon jamaah haji yang masih di kampung halaman seperti di Pidie, pada hari itu mereka berangkat ke Banda Aceh.
Sesaat sampai di Padang Tiji, mereka mendengar informasi adanya gelombang Tsunami di kota Sigli. Sesampai di Lambaro Kaphe, mereka mendengar Asrama Haji telah digenangi air laut akibat Tsunami, maka Panitia Haji menganjurkan para calon jama’ah haji untuk kembali ke kampung halamannya masing-masing.
Barulah beberapa hari kemudian, mereka dapat berangkat ke Tanah Suci melalui bandara di Polonia, Medan.
Kesusahan dan kegundahan juga dialami jama’ah haji Aceh yang sudah berada di Tanah Suci. Mereka merasa sedih dan risau; memikirkan keadaan keluarga dan harta bendanya di kampung halaman. Ada pula yang menyesal karena menyuruh anaknya tinggal pada pamannya di Banda Aceh, padahal mereka berasal dari wilayah pegunungan Tangse, Pidie.
Di sisi yang lain, ada juga yang merasa beruntung karena telah menyuruh anaknya untuk sementara tinggal di dataran tinggi Geumpang, Pidie dan berbagai permasalahan lain terkait tragedi Tsunami. Jadi, kisah-kisah itu akan dikenang warga Aceh sepanjang masa.
Semua hal demikian, mudah tersambung dengan ingatan masyarakat Aceh, bila Peringatan Hari Tsunami dilakukan pada tanggal 14 Zulqa’idah atawa 14 buleuen Beurapet. Mau mengadakan khanduri arwah bagi korban Tsunami juga dilakukan pada bulan Zulqa’idah atau Beurapet, dan sebagainya
Pada saat saya tulis artikel hari ini ( SABTU, 14 Zulqa’idah 1444 H/3 Juni 2023 M) banyak calon jamaah haji Aceh sudah berangkat ke Tanah Suci daan sebagian lagi masih menunggu berangkat ke Tanah Suci pada hari-hari akan datang.
Tapi bila Peringatan Hari Tsunami diadakan pada tanggal 26 Desember 2022 seperti Peringatan Tsunami Aceh ke 18 nanti, memori demikian terasa jauh di awan!
Paling-paling orang Aceh hanya mengenang: “Tsunami itu sehari selepas Hari Natal dan menjelang Tahun Baru 2005!!!”. Ternyata, apa yang dikenang itu kurang akrab dengan kebudayaan Aceh.
Almanak atau Kalender digunakan manusia untuk mengenang sesuatu di dunia ini. Ada Kalender Tiongkok, Jepang, Masehi, Hijriah atau Hijrah,Tahun Saka, almanak Aceh dsb.
Kalenderlah yang digunakan oleh suatu kaum atau komunitas untuk mencatat sesuatu yang dianggap penting.
Saya sebagai pribadi selalu mengenang kejadian musibah ditabrak mobil di Kalasan dekat Candi Prambanan saat pulang dari Boyolali, Jateng. Di hari Sabtu yang naas itu, kami mahasiswa UGM Yogyakarta dalam perjalanan pulang dari tugas KKN(Kuliah Kerja Nyata).
Hari Sabtu itu adalah tanggal 15 Juni 1985 bersamaan 25 Ramadhan 1405 H atau 25 Puasa 1405.
Selama 39 tahun berjalan ini, saya selalu memperingati Hari Dipokle Muto (ditabrak mobil) pada tanggal 25 Ramadhan atau 25 Puasa secara pribadi. Paling kurang saya catat dalam lembaran naskah hikayat, nazam atau tambeh yang biasanya saya salin ( alih huruf dari Arab Melayu atau Jawi alias Jawoe ke aksara Latin) pada bulan Puasa.
Kenapa saya gunakan tanggal 25 bulan Ramadhan atau Puasa?.
Banyak alasannya terutama terkait kondisi dan kesejarahannya.Tanggal 25 puasa berarti menjelang Hari Raya Lebaran ‘Idulfitri.
Kuatnya tradisi Mudik Lebaran di Tanah Jawa, membuat kondisi lalu lintas antara Boyolali-Yogyakarta sangat padat.
Saya dan teman-teman yang melakukan perjalanan jauh sekitar empat jam menyebabkan lelah dan gerah, apalagi di hari puasa yang ke-25 (puasa ka tuha). Terlebih saya dalam kondisi kurang sehat hari itu, dan sebagainya. Jadi banyak kisah dan kenangan terkait waktu serta tradisi di Jawa yang selalu mudah saya ingat bertahun-tahun.
Sudah jelas bagi masyarakat Aceh, Memperingati Hari Tsunami Aceh antara Penanggalan Hijriah dengan Penanggalan Masehi, sungguh beda maknanya!!!.
Ya, paling menyejukkan hati kita bila Peringatan Tsunami dibuat dalam dua versi.
Pihak Pemerintah Aceh tetap mengadakannya pada tanggal 26 Desember, karena mayoritas negara yang membantu membangun kembali Aceh saat itu, menggunakan penanggalan Masehi. Agar sejarah administrasinya tidak kacau.
Sementara versi masyarakat Peringatan Tsunami dibuat pada Penanggalan Hijriyah, yaitu pada 14 Zulqa’idah atau buleuen Beurapet. Tujuannya, agar penelusuran sejarahnya menjadi lebih bermakna, sebab langsung terkait dengan budaya Aceh antara bulan Beurapet dengan bulan Haji. Dalam hal ini, tentu perlu banyak Komunitas Kebudayaan (NGO/LSM) Aceh yang memperkuat dan mendukungnya!.
Tapi apa mau dikata!!!!!?.
Oek saban hitam, pikeran meubida-bida! ( Rambut sama hitam, pikiran berbeda-beda).
Teriring do’a dan kenangan kepada ratusan ribu syuhada Aceh yang syahid pada hari Ie Beuna itu.
Aamiin ya Rabbal ‘Alamin…..
Bale Tambeh, SABTU, 14 Beurapet 1444 TH atawa 14 Zulqa’idah 1444 Hijriah bersamaan 3 Juni 2023 Masehi, poh 20. 44 wib.
(T.A. Sakti)