• *WARGA MUHAMMADIYAH LEMBAH SABIL SANTUNI 100 ANAK YATIM*
  • *WARGA MUHAMMADIYAH LEMBAH SABIL SANTUNI 100 ANAK YATIM*
  • Gepeng Yang Diamankan Satpol PPWH Banda Aceh Pakai Sabu Sebelum Beraksi
  • Home 1
    • Air Mata Mata Air
  • Home 2
  • Home 3
  • Home 4
  • Home 5
  • Memilih Pendidikan, Memilih Masa Depan
  • Redaksi
  • Telaga Sastra Cinta “Savitri J”
Thursday, October 5, 2023
No Result
View All Result
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Home Cerbung

Ratapan Anak Pinggir Sungai

Bagian Ke Tiga

admin by admin
June 7, 2023
in Cerbung, Literasi, Sastra
0
Ratapan Anak Pinggir Sungai
0
SHARES
0
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh Munawir Abdullah

HUJAN sudah mulai turun, pertanda kemarau telah meninggalkan kampungku. Tubuhku yang kedinginan, telah kubaluti dengan kain sarung semalam. Aku duduk bersila kaki di depan pintu, sambil manatap ke langit. Hujan semakin deras, kedinginan semakin merasuki tubuhku. Aku masih duduk di depan pintu, badan terasa malas untuk aku gerakkan.

Adzan pun berkumandang, pertanda malam telah siap menemaniku. Aku bergegas mengambil payung untuk pergi ke Meunasah (surau). Lalu aku angkatkan kain sarung setengah lutut, agar tidak kebasahan percikan hujan. Kedinginan magrib itu, tidak mengurangi shaf shalat di Meunasah kampungku.

“Wir, nampaknya kita sudah tidak tidur malam ini”, belum sempat aku jawab sapaan dia, suara iqamahtelah berbunyi. Aku hanya sempat menganggung, sambil tersenyum padanya. Sebenarnya, aku sudah tahu maksud perkaataan itu. Tetapi karena berbarengan dengan suara iqamah, aku tidak langsung menanggapinya, hanya membalas dengan seyuman sambil mengangguk-angguk. Magrib itu, aku dan dia shalat berjamaah di Meunasah seperti biasa.

Kegelisahan orang kampungku hanya dua. Di saat kemarau, gagal panen. Di saat hujan, banjir tiba. “Ia War, begadang lagi kita” aku menyambung kembali percakapan yang semput terputus suara Iqamah tadi. Penjang lebar aku berbicara dengan Anwar setelah selesai shalat berjamaah.

Poin yang aku tangkap dari percakapan itu, Pak Geusyik (Kepala Desa) telah menyampaikan keluh kesah warga sama Pak Amir. Selaku camat di Kecamatanku. Akar persoalannya tentang predatorperusak bumi, yang didirikan di samping Kulam Cet Tambi itu. Kebutulan, Anwar ikut dengan Pak Geusyik tadi saing waktu berjumpa dengan Camat.

“Wir, Pak Amir tidak bisa berbuat apa-apa. Itu semua kewenangannya di tingkat Kabupaten”. Aku menghelakan nafas dalam-dalam saat mendengar ucapan Anwar. Hasil pertemuan Pak Geusyik dengan Camat belum membuahkan hasil.

Secara hirarki, Pak Camat tidak mungkin melewan atasannya di Kabupaten. Aku dan Anwar sangat paham tentang itu. Makanya dalam pertemuan itu, Anwar hanya diam saja.

Setiba di rumah, aku kembali termenung. Menghayati kembali percakapanku dengan Anwar di Meunasah tadi. “Memanglah dia itu, sudah diajarkan huruf dan angka oleh mamakku, masih juga menyusahkan orang kampungku”. Dialah satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab atas kemurkaan Kulam Cet Tambi. Setelah predator itu dia berikan izin untuk mengeruk isi bumi.

“Mohon perhatian kepada semua penduduk Gampong Cet Tambi, hujan semakin deras, air sungai sudah meulai meluap, mohon semua perabotan rumah tangga untuk dinaikkan ke tempat yang lebih tinggi” suara Apa Man itu terdengar sengat jelas di telingaku melalui pengeras suara Meunasah.

Begitu aku turun ke bawah, Ayah dan Mamak sudah sibuk mengangkat barang rumah ke tempat yang lebih tinggi. Rupanya Ayah sudah duluan tahu, selesai shalat magrib tadi, ayah tidak langsung pulang ke rumah. Ayah masih duduk di Meunasah sambil berbincang-bincang dengan warga. Mereka juga mengamati perkembangan air sungai, yang terletak pas di pinggir Meunasah.

Suara Apa Man tadi melalui pengeras suara, rupanya atas kesepakatan Ayah bersama warga untuk di umumkan kepada warga.

“Cepat kamu turun ke bawah, bantu angkat ini, biar tidak di bawa air nanti” pinta mamak dengan suara yang tinggi. Aku langsung turun, sambil mengamati gerak langkah mamak yang super panik itu. Dari cara gerekkannya, seakan-akan luapan air sudah memenuhi seisi rumahku.

Ayah juga ikut membantu mamak, tapi ayah lebih tenang dalam menghadapi agenda rutinitas kiriman alam ini.

Setelah semua perabotan itu kami angkat ke atas. Kami beristirahat di pekat malam yang penuh was-was itu. Repetan mamak di depan lilin, sekali-kali terdengar. Sudah menjadi hal yang lumrah di kampungku. Pemadaman listrik berbarengan dengan datangnya kemurkaan dari Kulam Cet Tambi. Repatan mamak itu, terkadang membuat Aku senyam-senyum di dalam hati.

***

Keesokan harinya, aku langsung menjumpai Anwar. “War, kampung kita tidak mungkin selalu begini, masak di saat musim hujan dan kemarau sama-sama membawa petaka. Apakah seburuk ini kampung kita? Aku yakin tidak”

Aku berusaha menyampaikan keluhanku pada Anwar. “Apa yang harus kita lakukan, Pak Amir saja sudah angkat tangan” timpa Anwar atas keluhanku. Semua warga kampungku sepakat, petaka itu merupakan oleh-oleh dari predator perusak bumi, yang berdiri di samping Kulam Cet Tambi itu.

“Kita harus menjumpai Bupati, pabrik itu harus keluar dari kampung kita” aku berusaha untuk menyakinkan Anwar. “Mana mungkin kita jumpai dia, agendanya sudah sangat padat, tidak sempat dia menjumpai kita”.

“Jangan pesimis kau War, kita coba aja dulu, siapa tahu dia berbaik hati untuk menjumpai kita” aku berusaha untuk menyakinkan Anwar.

Setelah panjang lebar aku berdebat dengan Anwar, akhirnya dia sepakat untuk menjumpai Bupati.

“Ok, kita besok akan menjumpai Bupati, mudah-mudahan dia bersedia untuk menemui kita” kata Anwar dengan penuh semangat.

Aku merasa senang karena Anwar sudah bersedia menemaniku untuk menjumpai penguasa di kampungku. Sambil pulang aku berguman dalam hati. “Mudah-mudahan pertemuan besok, Bupati bersedia untuk memindahkan predator itu ke lokasi lain, yang tidak merusak bentang alam”

Related

Previous Post

Sanggupkah?

Next Post

Menyelami Kehidupan Bangkok

admin

admin

Next Post
Cross-cultural Studies dan Rihlah Ilmiah

Menyelami Kehidupan Bangkok

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recommended

Profesor Agung Pranoto Mengapresiasikan Buku Sajak Secangkir Air Mata,  Karya Hamdani Mulya

Profesor Agung Pranoto Mengapresiasikan Buku Sajak Secangkir Air Mata, Karya Hamdani Mulya

9 hours ago
Kajian Millenial RTA Aceh Utara Kembali Hadir di Geureudong Kupi Bulan Ini, Bahas Ilmu Parenting

Kajian Millenial RTA Aceh Utara Kembali Hadir di Geureudong Kupi Bulan Ini, Bahas Ilmu Parenting

10 hours ago

Trending

Amplop Tua Itu

Amplop Tua Itu

1 day ago
Pembelajaran Bermakna dengan Memanfaatkan Aplikasi Digital

Pembelajaran Bermakna dengan Memanfaatkan Aplikasi Digital

1 year ago

Popular

Jangan Samakan FGD dengan Seminar

1 year ago
Mewaspadai Cyberbullying Pada Anak

Melihat Sisi Lain Kaum Remaja

2 weeks ago
Nasib Perempuan di Lokasi Tambang Blang Nisam

Nasib Perempuan di Lokasi Tambang Blang Nisam

1 month ago
Pembelajaran Bermakna dengan Memanfaatkan Aplikasi Digital

Pembelajaran Bermakna dengan Memanfaatkan Aplikasi Digital

1 year ago
Amplop Tua Itu

Amplop Tua Itu

1 day ago

Spam Blocked

22,523 spam blocked by Akismet

Follow Us

  • Redaksi
  • Feed

Copyright © 2022, potretonline.com

No Result
View All Result
  • Home
  • Potret Utama
  • Sorotan
  • Bingkai
  • Bingkai Sekolah
  • Frame
  • Tips Kita
  • News
  • Sehati
  • English Article
  • Wisata
  • Blitz
  • Sastra
  • Sketsa
  • Peace Corner
  • Kronis
  • Lensa

Copyright © 2022, potretonline.com

Go to mobile version