Bagian dua
Oleh Munawir Abdullah
AKU baru saja pulang dari sekolah. Kebiasaanku, setiap hari Sabtu pulang dari sekolah, aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku bersama teman-teman selalu pergi ke Kulam Cet Tambi. Di sana kami bisa menikmati indahnya suasana alam, sambil bermain lompat-lompatan di dalam air.
Ikan mujair, ikan gabus, dan ikan belut, Itu titipan tuhan secara alami untuk kami. Hanya bermodalkan tangkul (jaring/alat penangkap ikan), ikan itu sudah bisa kami bawa pulang ke rumah. Aku bersama teman-teman, menangkap ikan itu sambil tertawa ria.
Seingatku, Kulam Cet Tambi itu tidak pernah kering. Sawah ratusan haktar di sekitarnya selalu mendapatkan suntikan air segar dari kolam itu. Kulam Cet Tambi itu, bagaikan keajaiban tuhan untuk menjaga kebutuhan hidup orang kampungku. Mereka bertani, baik di kala hujun, maupun di saat kemarau, dengan serba kecukupan.
Pukul 04 sore, aku sudah di rumah dengan menjinjing ikan di tangan. Seperti biasa, mamakku langsung mangambil ikan itu sambil mengomel. Omelan mamak dengan gerakan tangan mangambil ikan, nyaris tidak ada spasi. Aku menikmati saja omelan itu sambil mengganti baju sekolah.
Mamakku sebenarnya sangat lembut dan penyayang. Dia tidak segan-segan membeliku baju baru dan kue-keu enak. Aku sangat sering memakan kue pulet, timphan, dan bolu bawaan mamak dari sekolah.
Kebetulan, profesi mamakku seorang guru. Dia telah banyak melahirkan tokoh cerdas dan hebat di bangsa ini. Kue-kue yang dibeli di sekolah waktu istirahat, selalu mamak bawa pulang ke rumah. Aku dan ayah tidak pernah alpa untuk menikmatinya.
Kata Ibu Ros, kawan dekat mamak di sekolah, mamak jarang makan untuk sendiri kuenya. Mamak selalu bilang “kue ini saya bawa pulang saja, saya makan di rumah nanti bersama si Gam (sebutan untuk anak laki-laki dalam bahasa Aceh)”.
Ayah sering mencandainya “besok ditambah lagi kuenya, sekalian teh-tehnya”. Aku hanya mendengar candaan mereka, sambil tersipu malu. “Teh, semua perlangkapannya sudah ada di dapur, racik sendirilah” timpaan mamak membalas candaan ayah sambil melemparkan senyum tercantiknya.
Oa, aku hampir lupa, itu masalah keluargaku, ranah privasi tidak mungkin aku vulgarkan di sini.
**
Petaka itu tiba, di saat pabrik galian c itu berdiri megah di samping kolam itu. Di awal-awal pendirian, kondisi persawahan orang kampungku masih normal-normal saja. Selang waktu beberapa tahun, kemurkaannya sudah mulai muncul.
Dulunya itu tempat yang sangat menyenangkan, sekarang berubah menjadi tempat yang bising dan berdebu.
Sebenarnya orang kampungku tidak pernah setuju pabrik itu berdiri, tetapi Bupati yang pernah diajarkan huruf dan angka oleh mamakku itu, tetap nekat untuk mengeluarkan izin pendiriannya. Petaka itu tidak diprediksikannya dengan baik.
Saat itu. Kulam Cet Tambi tidak lagi menjadi keajaiban tuhan untuk orang kampungku. Kemurkaanya sudah mulai nampak. Seakan-akan ia ingin berpesan “selamatkan aku dari kaum bejat yang menghancurkan tubuhku”. Ikan yang dulu bertaburan, sekarang sudah tidak ada lagi.
Pernah suatu ketika, ratusan hektar persawahah itu gagal panen. Orang kampungku tidak lagi mendapatkan air yang cukup untuk bertani. Sepertinya; kemakmuran itu, tidak mau berjabat tangan dengan sang predator alam yang sangat beringas itu. Tidak lebih dari tiga tahun keberadaan pabrik itu, telah mengusir kemakmuran yang ada di kampungku.
Bersambung