Oleh : Nasrizal, S. Pd
Pilu menyelimuti hati. Rindu berat kepada yang sudah pergi. Pandangan kosong dan hampa ketika melihat semua telah tiada .
Kuta Raja ,sebuah kenangan pahit ,yang tak bisa kulupakan ,’’ Kenapa aku masih berulang pergi ke sini.’’ Bisik hatiku. Tak bisa kupungkiri, kisah sebuah kehidupan yang panjang ,anakku yang no satu pergi bersama air bah yang melanda kota itu. Setelah aku berpisah dengan ayah dari anakku ,sebuah kisah yang sangat panjang dan memilukan bersama ayah dari anak anakku .
Waktu – waktu yang panjang ,tatkala duka menyelimutiku dalam sebuah kehidupanku, ingin aku tuangkan. Aku sampaikan lewat pena yang ada di dalam genggaman jariku .
Sebelum air bah melanda di sebuah kota tempat aku tinggal dahulu, bersama kedua orang anakku dan ayah dari kedua orang anakku .
‘’Dikala itu ,,.
Di awal pernikahanku dengan ayah dari anak anakku , aku hidup rukun tenteram dan damai. Ke gunung sama mendaki, ke lembah sama menurun. Pergi bersama, duduk bersama ,makan bersama ,tidak ada suatu hal yang dipetentangkan, saling asah, asih dan asuh.
Rumah tangga adalah sebuah bahtera hidup yang dilalui oleh anak manusia, berlayar bersama rumah tangga, ingin menuju ke sebuah kehidupan yang nyata .
Hari hari terus terlewati, bulan – bulan terus dilalui, waktu itu aku akan melahirkan anakku yang pertama. Saat itu aku merasakan ada sebuah pergeseran dalam kehidupan rumah tanggaku .Ketika malam hari ,aku mulai sendiri, tidak ada yang menemani. Sungguh aku tidak mengerti ,suamiku selalu pulang di pagi hari.
Aku jalani saja. Yang penting kewajibanku sebagai seorang istri tidak aku sia-siakan. Di balik kepolosanku ,membuat suamiku leluasa membuat sesuatu yang diinginkannya. Ia sering tak pulang, kalaulah pulang ia membawa kawan anak anak bujang yang tidur sekamar dengannya .
Kehidupanku semakin sepi bersama anak yang sedang kukandungi. Dalam gerak langkahku di rumah selalu tidak ada yang benar. Kerjaanku semua salah. Dulu aku dipuji, sekarang aku dimaki. Rumahku mulai menjadi penjara bagiku .
Sejak anakku yang pertama lahir, kebahagiaan memang semakin jauh dariku. Kala itu aku ditemani oleh seorang keponakan, Andria, anak dari abangku yang tertua. Seharian ia menemaniku dan ikut membantu mengasuh anakku. Aku mengajarkannya memasak apa kesukaan dari ayah anakku. Andria kuajak tinggal bersamaku, sementara ia tidak kuliah karena atas keterbatasan kemampuan dari abangku ,atau ayah dari Andria untuk melanjutkan ke Perguan tinggi.
Suatu hari Andria sangat terkejut, ketika melihat bapaknya pulang atau suami dariku, dipanggil bapak oleh Andria. Andria melihat suamiku pulang dengan terhuyung – huyung, sambil membuka tudung nasi. Setelah dibuka, seketika ditutup kembali dengan gerak cepat tudung nasi didorong ke depan Andria. Andria melihat semua isi tudung berhamburan ke lantai. Piring, gelas, pada pecah semua.
‘’Andria! sapaku. Beginilah yang Acik hadapi setiap hari. Untung saja tidak melayang piring di mukamu. Suatu hal yang sudah biasa Acik hadapi dengan sabar, tambahku .
Dua tahun sudah umur anakku yang pertama. Andria masih tinggal bersamaku. Ia sangat rajin dan pintar masak. Sambil masak aku sering ngobrol dengannya Andria . ‘’Andria ..! seruku padanya ,apa saja yang terjadi dalam kehidupan Acik ,jangan beritakan ke kampung ya, dan siapa saja yang datang ke mari, jangan diberi tahu keadaan Acik di sini! Ya! Acik, jawab Andria polos.
Suatu hari Ayahku datang dari kampung. Kebiasaannya dua bulan sekali Ayah dan ibuku datang berkunjung padaku, sambilan melihat cucunya. Suamiku sudah tahu benar bila Ayah dan ibuku berkunjung. Yang sangat aku herankan, ketika Ayah dan ibuku datang ,seolah – olah di rumahku tidak pernah terjadi keributan apa apa. Suamiku pintar amat bersandiwara. Orang kampung sekelilingnya juga tidak pernah tahu ada ada keributan di rumahku.
Sampai – sampai ia diangkat sebagai RT kampung .Setelah Ayah dan ibuku pulang ,keributan pecah kembali seperti biasa ,bahkan bertambah parah.
Aku terus bertahan hidup,walaupun bagaikan di sebuah penjara ,’’Rumahku penjaraku ‘’. Air mataku takkan menetes lagi ,sudah lama kering .
‘’Andria!, sapaku. Siang ini kita masak apa ? Apa saja boleh Acik, jawab Andria. Hari ini Acik ajarkan kamu masak rendang Padang ,’’ tambahku. Ya Acik, saya siap jawab Andria ‘’. Itu kesukaan bapak ,tambahnya .
‘’Bapak pulang Acik? Tanya Andria. Ya jawabku. Gulai rendang masih dalam kuali di atas kompor. Sa’at itu terjadi dialog antara aku dengan suamiku. Aku menyapanya ,tapi akhirnya dialog menegangkan, hingga gulai yang belum kucicipi dengan keponakanku,di buangnya. Kuali diletakkan di kepalaku ,sembari aku menepisnya. Ia betambah marah. Tamparan keras melayang di pipì kiri kananku. Aku lari tersungkur dan jatuh di lantai. Aku menjerit kesakitan. Malam itu sangat kelabu bagiku. Rasanya aku ingin saja pulang pada kedua orang tuaku. Andria memboyongku ke kamar dan mengobati aku.
Ketika pagi hari ,suamiku bangun, seakan akan malam itu tidak terjadi apa – apa. Ia duduk mendampingiku, matanya ngotot melihat emas di pergelangan tanganku, pemberian Ayahku, sembari ia berkata membujukku.
Isi perkataannya ,ia minta dipinjamkan emasku. Nati ketika gajian tiba dikembalian lagi ,katanya .
Aku tak pikir panjang. Entah kenapa,sedikit iba menyelimutiku, aku berpikir biar rumah tanggaku menjadi aman ,aku berikan emas yang diliriknya di pergelangan tanganku. Emas pemberian orang tuaku ,tapi setelah aku berikan ,aku sebagai seorang isteri ,tidak tau menau ,kemana emas itu digunakan. Ketika aku bertanya ,ia membentakku.
Aku lalui saja bertahun tahun, aku jalani saja. Kesabaran masih bersamaku.
Hari itu umur anak pertamaku sudah lima tahun. Anakku sekolah di sebuah taman kanak kanak. Andria yang selalu mengantarkan anakku sekolah .
Sore itu Andria duduk di sampingku. Ia seperti seorang yang sedang kebingungan. Sepertinya Andria ingin menyampaikan sesuatu padaku ,tapi ia tidak berani mengungkapkannya.
‘’Ada apa Andria ? Tanyaku .Seperti ada sesuatu yang menggajal di hatimu ,tolong sampaikan pada Acik, ujarku lagi.
‘’Begini Acik , sudah bertahun tahun Andria bersama Acik,aku sangat rindu dengan kampung halaman. Rasanya aku ingin pulang Cik ! ..tambahnya.
‘’Baiklah! ,, kalau itu permintaanmu ,Acik setuju saja jawabku !,
Besok harinya kuantar Andria ke terminal bus rute Aceh Selatanlah. Kulepas Andria dengan tetesan air mata. Andria merangkulku dengan erat sekali. Aku berpesan pada Andria ,semoga rahasia dalam rumah tanggaku jangan disampaikan pada Ayah ibuku. Biiar lah luka ini kutanggung sendiri. Mungkin Allah belum memberiku jalan terbaik.
Setelah Andria pergi,kehidupanku bertambah suram dan sepi, dengan air mata yang tak tertahankan. Di sudut – sudut pintu dan di sudut – sudut kamar aku melepaskan deraian air mataku. Ibu dan Ayahku dulu memanjakanku karena aku satu satunya anak perempuan dari ke enam saudara laki- lakiku.
Dulu aku dimanja ,sekarang aku disiksa. Orang tuaku tidak pernah tahu tentang keadaanku. Rahasia ini kubungkus rapi. Aku tidak ingin kedua orang tuaku kecewa. Yang aku takutkan,bila abang abangku tahu tentang perjalanan hidupku. Ya, ketika aku kecil, abang – abangku selalu mengawasi ke mana aku pergi. Mereka setiap saat menjagaku,karena aku seorang perempuan. Selalu dalam pengawasan mereka. Mereka tidak perlu tahu,menurutku,satu sa’at nanti ,mereka pasti akan tahu.
Di kala itu usia anakku genap tujuh tahun. Anakku sudah duduk di kelas satu sekolah dasar yang ada di kampung tempat tinggalku. Suatu hari aku kaget dan terkejut melihat suamiku pulang cepat dari biasanya. Ia bekerja di sebuah klinik yang ada di Kuta Raja. Ia pulang mengucap salam padaku dan aku jawab salamnya. Sepertinya ia sudah berubah. Aku kaget ! , ia sangat baik denganku ,tidak seperti biasanya, ada apa ini? pikirku dalam hati.
Ia menghampiriku,becerita, tertawa,seakan akan seperti pada waktu pernikahanku dengannya. Setelah aku tenang ,ia menyampaikan sesuatu padaku. Hasil perkataannya, ia mengajak aku membeli sepetak tanah untuk mendirikan rumah katanya. Tidak mungkin kita tinggal selalu di rumah sewaan ‘’ tuturnya. Ia malu dengan teman – teman sekantornya yang sudah masing masing memiliki rumah pribadi.
Aku berpikir, ada benarnya juga ,apa lagi setahun ini ia sudah baik denganku. Lantas dengan apa ia mengajak aku membeli tanah rumah,sedangkan uang dan emasku dipinjam tidak pernah dikembalikan,habis entah ke mana .
Ayahku tahu hal itu,mungkin ia pernah bercerita dengan ayahku tentang rencananya untuk membeli tanah.Suatu hari Ayahku datang bersama ibuku ,berkunjung padaku .Ayahku memanggilku .’’ Baidah.!.. panggil Ayahku,namaku Baidah ,sebuah nama pemberian Ayah dan ibuku. ’’ Ya ..Ayah ,, jawabku .’’ Apa benar kalian ingin membeli tanah rumah? Ya ayah jawabku, tapi bagaimana bisa ,kami tidak punya uang ,, sambungku.
‘’Ayah dan Makmu datang mengunjungimu,sambil membawa sesuatu padamu,,sambung ayahku.
Demi untuk anaknya ,ayahku memberikan aku uang ,Ayahku menjual sepetak tanah yang ada di kampungku. Uang dari sepetak tanah tersebut diberikan padaku,untuk membeli sepetak tanah rumah untukku di Kuta Raja.
Ayahku berpesan padaku,bila aku membeli tanah rumah,nama hak miliknya tetap namaku. Ayah dari anakku tidak setuju. Ia meminta padaku nama pemilik dalam surat tanah itu atas namanya ,dengan alasan ia sebagai kepala rumah tangga.
‘’Sudahlah ,pikirku”, aku turuti saja kemauannya ,tapi ia harus tahu dan ingat ,pembelian tanah adalah hasil dari pemberian Ayahku ,bukan dari hasil jerih payah aku dan dia. Ia mengakuinya.Tanah yang aku beli masih berada di desa tempat aku tinggal,Kuta Raja.Waktu itu aku sedang menghandung anakku yang kedua .
Saat saat aku mengandung anakku yang kedua ,kehidupan rumah tanggaku kembali bergelut. Hari – hariku penuh dengan pertengkaran. Lebih parah dari sebelumnya,dan ini yang sedangku hadapi lebih parah lagi. Piring,gelas,sering terbang di rumahku,untung saja tidak pernah melayang di mukaku. Jantungku terasa ingin copot dari tubuhku dan deraian air mataku tak tertahankan.
Ketika malam tiba dan ia pulang ,ia selalu membawa pendamping anak laki laki muda,yang selalu tidur sekamar dengannya. Aku perhatikan,seperti orang yang sedang berpacaran,tapi kok dengan sesama lelaki.
Ya, banyak hal yang sangat menyakiti hatiku yang tak dapat aku ceritakan kembali.
Suatu malam aku galau sekali. Pikiranku menyemak hatiku ,tidak tahu ke mana aku tumpahkan curahan hatiku. Aku semakin tidak tahan. Bila aku tahan, mungkin kepalaku akan pecah berantakan .
Malam itu gelap sekali. Kulihat bintang masih bersembunyi di balik awan. Kulihat bulan belum menampakkan dirinya .Malam itu bumi bagaikan diselimuti selimut hitam,di tengah kegelapan yang menghitam. Pikiranku tak karuan. Yang ada dalam benakku,malam itu aku harus pergi meninggalkan rumahku yang bagaikan penjara .
Aku melihat anakku di kamar yang sedang tidur nyenyak. Aku ke kamarnya,sembari aku berkata dan membisikkan di telinganya .
‘’ Anakku !… Mak akan pergi , kalau Mak tidak pergi ,nanti mala petaka yang akan menimpa Mak/ Mak tidak akan pernah melupakanmu. Mak selalu berdoa untukmu.,,
Malam itu,aku tinggalkan rumah. Aku pergi ke tempat saudara sepupuku. Tiba di tempat sepupuku pukul tiga malam/ Sepupuku sangat terkejut melihatku,tidak seperti biasanya aku berkunjung ke rumahnya.
Aku menceritakan segala hal yang pernah aku lalui tentang jalan hidupku. Ia tercengan dan prihatin padaku.Aku minta tolong padanya ,carikan mobil di pagi itu. Aku ingin pulang kepada kedua orang tuaku dan abang – abangku yang aku rindukan. Yang aku rindukan lagi ,kampung halamanku,terbayang masa kecilku. Aku sering mandi di sungai. Sungai di kampungku airnya sangat putih dan jernih. Dari air yang putih dan jernih sampai batunya yang putih dan bersih. Sering orang – orang berkunjung ke kampungku untuk membeli batu putih tersebut .
Dua bulan aku di kampungku bersama dengan kedua orang tuaku dan abang abangku. Liku liku kehidupanku, mereka sudah pada tahu semua.Bulan ketiga ,Ayah dan ibuku membujukku untuk kembali ke tempat tinggalku di Kuta Raja. Dengan berat hati ,aku harus memenuhi perintah kedua orang tuaku. Ayah dan ibuku ikut mengantarku, juga disertakan Andria. Andria juga ikut kembali bersamaku .
Aku kembali ke rumahku. Ayah dari anakku menyambutku dengan baik. Ayah dan ibuku mengajak aku dan dia supaya rukun kembali. Satu minggu Ayah dan ibuku bersamaku .
Saat kandunganku untuk melahirkan anakku yang kedua tinggal beberapa bulan lagi ,kehidupanku kembali runyam setelah Ayah dan ibuku pulang kampung. Keributan takkan terelakkan ,selalu saja ada pertengkaran. Aku semakin tidak tahan. Penjara di rumahku kembali aku rasakan. Hatiku selalu merintih perih. Air mataku tak dapat kubendung. Badai terus melanda dalam kehidupanku .
Saat itu umur kandunganku sudah mencapai enam bulan, aku sering stres dalam suasana mengandung,entah bagaimana jadinya anakku setelah lahir nanti. Aku selalu berdo’a semoga kandungannku tetap kuat .
Hari – hari terus kulalui ,aku harus tetap bertahan hidup demi anakku yang sedang kukandungi dan segalanya aku serahkan pada yang maha kuasa .Minggu – minggu terakhir pada bulan ke enam kandunganku ,kondisiku sedikit melemah ,perutku sering sakit ,selalu kukonsul ke dokter ,saran dokter aku harus hindari stres
Malam itu ,aku merasakan lain. Kondisiku seperti orang yang akan melahirkan ,tapi umur kandunganku belum cukup sembilan bulan. Malam itu aku terjadi pendarahan yang dahsyat. Aku panggil Andria di kamarnya. Andria melihatku gemetar ,melihatku bersimbah darah ,aku tak sadarkan diri lagi. Setelah beberapa jam aku tak sadar diri ,akhirnya aku dapat membuka mataku,tiba tiba aku sudah berada di rumah sakit .
‘’Aciik ,bisik Andria di telingaku, “anak Acik telah lahir dengan selamat”. Aku mengangguk saja, mendengar penyampaian Andria. Anakku lahir dengan kondisi sangat memprihatinkan .
Dua tahun sudah aku membesarkan anakku yang kedua ,dalam suasana badai yang melanda. Hari demi hari kulalui. Pikiranku sudah sering berubah ,hati kecilku sudah mulai meronta ,Ayah dari kedua orang anakku tidak ada tanda tanda untuk berubah Memang sudah habis batas kesabaranku. Segala jenjang untuk memperbaiki hubunganku dengannya sudah aku lalui .
Kisah dalam hidupku ini sudah sewajarnya kusampaikan pada kedua orang tuaku dan abang abangku ,dengan berat hati aku sampaikan di hadapan mereka ‘’Aku ingin pisah saja dengan Ayah dari kedua orang anakku,,
Pada akhirnya kedua orang tuaku dan abang abangku sudah menyetujui rencanaku. aku akan buat pengaduan ke pengadilan Agama. Usulan pengaduanku diterima ,aku bersiap siap untuk dipanggil ke meja pengadilan untuk disidangkan .
Setiap panggilan persidangan aku selalu hadir. Entah kenapa semua pertanyaan sangat lancar aku sampaikan. Setiap tanggal kejadian aku tidak akan lupa. Banyak terjadi sanggahan darinya ,ia tak mengaku apa yang pernah dilakukan padaku ,ia amat pintar bersilat lidah .
Hari hari terakhir persidangan ,hakim membacakan beberapa keputusan hasil persidangan. Palu yang diangkat oleh ketua hakim persidangan,mengetuk meja persidangan dengan suara lantang,bahwa berdasarkan hasil dari persidangan, hubunganku dengannya sah diputuskan .
Menyangkut dengan yang lain lain ,seperti kedua anakku dan utang piutangnya denganku ,serta surat tanah dan lainnya sudah tertera semua dalam surat kepusan hakim.
Hari itu rasanya beban yang sangat berat kupikul selama ini ,sudah ringan ,aku sudah terlepas dari belenggu kehidupan yang keras dan kelam.
Aku memilih kembali ke kampung halamanku ,bersama satu orang anakku yang kedua ,yang pertama tinggal bersama ayahnya ,begitu putusan pengadilan .
Tak sadar pena terlepas dari genggaman jariku ,yang melayang layang berjam – jam menulis kisahku yang kelam dan hitam.
Catatan penulis :
Penulis meminta ma’af pada yang membaca tulisan ini. Seandainya kisah dalam tulisan ini ada berkenaan dengan kisah hidup anak anak manusia di manapun berada, bukannlah ingin mengungkit kisah seseorang . Penulis hanya bertujuan kisah kisah KDRT yang tertulis dalam tulisan ini semoga tidak akan pernah terjadi lagi dalam kehidupan anak manusia di zaman sekarang. Dalam kehidupan ini kita sebagai hamba Allah harus selalu mendekatkan diri kepada Nya ,yang maha kuasa,tidak ada jalan lain ,hanya kepada Nya kita menyerahkan diri ,semoga kita tidak mudah jatuh kelembah yang tidak kita inginkan .
WALLAHU A’LAM BISHAWAB.
‘’ Dan Allah lebih tahu yang benar, yang sebenarnya .
Wassalamu’alaikum warmatullahi wabarkatuh.
Penulis : Nasrizal. Manggeng ,Aceh Barat Daya