Oleh : Agus Wahid
Akhirnya, pemilik hak “prerogatif” Megawati Soekarnoputeri, Ketua Umum PDIP meningkatkan penugasan yang lebih tinggi kepada Ganjar Pranowo. Dari Gubernur Jawa Tengah dua periode, naik menjadi bakal calon Presiden RI. Sebuah penugasan partai yang harus ditaati tanpa reserve. Tak peduli akseptabilitasnya. Juga, ga peduli, meski sang bakal capres ini sering tak sejalan dengan keinginan rakyat. Meski rakyat sekarat pun akan disikapi dengan, “Emang, gue pikirin”, ujar Megawati dalam bahasa imajiner. Dengan tegas, Ketua Umum PDIP seperti menyatakan dalam bahasa lain, “Haram menolak bagi sang petugas partai dalam menjalankan perintahnya, apapun kondisinya. Jangan coba-coba mbalelo, seperti pendahulunya: Jokowi yang belakangan ini terkategori berani melawan”.
Secara terbuka, seluruh masyarakat negeri ini harusnya sampaikan terima kasih. “Welcome” terhadap Ganjar yang baru saja mendapat penugasan. Di satu sisi, keputusan Megawati seperti mengonfirmasi gugurnya spekulasi adanya konflik internal selama setahun terakhir.
Bahkan, menggugurkan pemandangan kerenggangan antara sang Megawati versus Jokowi yang – dalam setahun terakhir ini – menampak jelas. Atau, Megawati memang sang pemenang dalam perebutan pengaruh antara dirinya versus RI-1 karena Jokowi “tertipu” atas “boneka” (Ganjar) yang disusupkan untuk lebih dekat istana. Guna mengetahui persis libido politiknya ke depan.
Apapun permainan itu, para elit PDIP, khususnya Ketua Umum, sedang mempertontonkan permainan gimik yang membuat kalangan politisi lainnya kadang terbawa arus pada permainan itu. Tapi, benarkah gimik itu? Sulit dipercaya. Sebab, beberapa kali Rakernas PDIP dalam beberapa tahun terakhir dan pengkondisian politik sampai beberapa hari sebelum 21 April lalu, jelas-jelas masih memutuskan Puan Maharani sebagai calon presiden dari PDIP.
Sebuah pertanyaan mendasar, sebegitu rapikah gimik politik yang dimainkan Megawati sampai-sampai harus mempermalukan puteri kesayangannya sendiri? Dari aspek psikologis dan ikatan emosional sang ibu terhadap puterinya yang telah ditempa sejak 1998, rasanya terlalu simplistis bahkan tidak makesense untuk menilai gimik atas permainan politik internal PDIP. Pemandangan itu menggring satu tafsir yang perlu kita garis-bawahi: Megawati sesungguhnya ada di bawah pengaruh pihak tertentu. Mendasarkan kerangka teori politik paktis, tak ada kawan abadi, maka, sang raja atau ratu pun harus tega melakukan politik zigzak dan kontroversialnya, sekalipun harus mengecewakan keluarganya sendiri.
Ada dua kemungkinan yang mendasari perubahan sikap politik Megawati. Pertama, rengekan puteranya (Prananda) yang selama ini dikenal sebagai “otak” PDIP dan belum pernah diajak dalam panggung pemerintahan. Hal ini dapat kita baca pada posisi duduk Prananda yang berdampingan persis di sebalah kiri Ganjar saat pengumuman bakal calon presiden. Posisi duduk Prananda seolah mengumumkan bahwa Prananda akan menjadi “Panglima” PDIP saat perhelatan pilpres nanti. Mengapa sebelah kiri, bukan kanan? Apakah hanya backup panglima dan panglima utamanya tetap Puan seperti biasanya? Kalau memang Puan, mengapa posisinya bukan di deretan terdepan saat pengumuman itu? Kedua, keberhasilan Mr. X yang mampu menyingkirkan pengaruh rivalisnya: Luhut Binsar Panjaitan yang selama ini dikenal bersaing di antara keduanya.
Di antara dua kemungkinan itu, kita akan bisa membaca pada penentuan bakal calon wakil presiden. Jika nama yang muncul ternyata Andhika Perkasa, maka jelas: pengaruh mertuanya menjadi faktor. Namun, jika yang muncul nama Eric Thohir dan atau Machfud MD sebagai cawapres Ganjar, maka pengaruh LBP plus istana lebih dominan. Let`s see then.
Di luar pergolakan internal PDIP, kita semua sebagai anak bangsa negeri ini haruslah menyampaikan “welcome” terhadap penugasan Ganjar. Why? Penugasan resmi PDIP itu – secara langsung – menunjukkan optimasi penyelenggaraan pemilu, wabil khusus pemilihan presiden (pilpres). Seperti kita ketahui, gerakan penundaan pemilu (pilpres) demikian produktif-masif. Menggunakan berbagai elemen bayaran yang cukup fantastik nilainya. Juga, melalui cara-cara akrobatik hukum yang sangat sistimatis. Termasuk pengerahan kekuatan mobokratif dari unsur kepolisian (Brimob).
Itulah sebabnya, sebagai sikap yang anti penundaan pemilu menjadi 2027 atau perpanjangan tiga periode bagi incumbent, pengumuman penugasan Ketua Umum PDIP terhadap Ganjar merupakan langkah politik yang mematahkan ambisi istana. Dalam konteks konstitusi, langkah Megawati bisa dinilai positif. Tak bisa dipungkiri, langkah Megawati menghapus teka-teki ketiadaan pilpres atau pemilu pada 14 Februari 2024 mendatang, apalagi sudah dipersiapkan desain pemenangnya sebelum terjadi perhelatan pemilu.
Meski demikian, kita juga tetap tak bisa yakin sepenuhnya. Menelaah tiadanya persiapan teknis dari KPU sampai detik ini, hal ini mengundang kecurigaan. Apakah KPU sengaja membuat mekanisme penyelenggaraan yang kacau? Jika arahnya ke sana, maka istana masih tampak sejalan dengan persekongkolannya Bersama Prabowo. Kekacauan penyelenggaraan bisa mengarah ke suasana chaos. Jika hal ini terjadi, maka – kemungkinan pertama – Jokowi menentukan kondisi darurat. Dan Prabowo yang kini lagi mesra hubungannya akan diminta sebagai pemegang estafe kepemimpinan. Kemungkinan kedua, atas kondisi chaos itu, Prabowo – selaku Menteri Pertahanan – berpotensi menjadi Ketua Presidium. Itulah situasi politik yang masih terjadi tarik-menarik antara Megawati versus Jokowi.
Di luar masalah rivalitas itu, untuk sementara ini kita perlu menelaah keputusan politik Megawati yang menugaskan Ganjar yang perlu disambut positif. Kata “welcome” memang layak disematkannya. Namun, di balik diksi kata “welcome”, we should say “but…” Diksi kata “but” (tapi) punya makna yang sangat esensial bagi kepentingan kenegaraan dan nasib bangsa ini. Kita tahu, jejak digital Ganjar – pertama – dia confirmed boneka oligarki, sebagai generasi penerus Jokowi. Bukan hanya siap melanjutkan megaproyek ibukota Nusantara, tapi sewindu terakhir, pemerintahan negeri ini porak poranda. Hal ini karena hegemoni oligarki cukong yang merasuk ke berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara: wilayah ekonomi, politik bahkan pertahanan, keamanan dan ketertiban. Aparat penegak hukum dan keamanan menjadi alat kekuasaan.
Maka, keberadaan Ganjar tersebut akan berimplikasi pada suhu politik. Landasannya, penyelenggaan pilpres – secara dini – sudah dipersiapkan rekayasa kecurangan secara teknologis. Manipulasi data sudah dipersiapkan sedemikian rapi, jauh sebelum daftar pemilih tetap dinyatakan resmi. Allah maha digdaya. Skenario kejahatan politik itu terinformasikan secara tak sengaja kepada publik. Terjadi pembocoran informasi tentang pemenang pilpres meski belum dilakukan perhelatan.
Seperti yang disampaikan Hasnaeni, Ketua komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mendesaian pemenangnya. So? Buat apa tetap dilaksanakan pemilu (pilpres)? Percuma. Perhelatan yang menelan biaya Rp 76 triliun lebih hanya mengantarkan sosok pemimpin yang bermasalah secara integritas kenegaraan. Pemikiran pesimistik ini – perlu kita catat – merupakan operasi inteligent untuk memvalidasi penundaan pemilu. Berarti, masa jabatan Jokowi diperpanjang. Inilah kondisi yang makin memanaskan suhu politik nasional.
Kedua, cara pandang Ganjar terkait falsafah politik. Di mata Ganjar, politik itu citra, bukan esensi kekuasaan untuk kepentingan negara dan rakyat. Cara pandang Ganjar ini akan mengkonstruksi kebijakan yang jauh dari ruh kepentingan kenegaraan dan atau rakyat. Sama artinya, subyek kekuasaan akan dilepaskan akarnya dari persoalan pertanggungjawaban, kepada rakyat, apalagi kepada sang Khaliq. Bisa ditegaskan secara simplistis: kekuasaan yang disandangnya hanya untuk haha-hihi, bersolek kanan-kiri dan senyum manis kepada semua. Politik hipokret menjadi perilaku politik yang terabsahkan. Hipokrasi politik ini pasti akan jauh dari capaian ideal kepemimpinan.
Sementara, karakter personalitasnya berpotensi menghancurkan keberadaan negeri ini. Bagaimana tidak? Pehobi nonton film blue, minimal tak mempersoalkan kebiasaan film super jorok itu – harus kita catat –bukan sekedar hobi, tapi ketika dirinya berkuasa akan mendorong aksi (kebijakan) yang memfasilitasi, setidaknya membiarkan agenda pornoisme dan pornografi yang pengaruhnya jauh lebih merusak dibanding narkoba. Maka, akan segera subur bisnis esek-esek. Pilar moral dari gugus rumah tangga sangat terancam. Berpotensi segera roboh. Sebagaimana lazimnya, patner setia dari bisnis esek-esek adalah perjudian. Tidak tertutup kemungkinan, di bumi pertiwi ini akan tumbuh kembali “Alexis-alexis” baru dan pusat-pusat kasino yang jauh lebih besar dari Ginting (Malaysia), Makau (Hong Kong) atau Las Vegas (AS).
Labih dari itu, Ganjar pun tidak mempersoalkan masalah gratifikasi. Hal ini jelas akan semakin mendestruksikan komitmen penegakan hukum anti korupsi. Sementara kita tahu, pembiaran korupsi menjadi malapetaka besar bagi cita-cita kemanusiaan (kesejahteraan). Maka, tak perlu menanti lima tahun ke depan pasca pilpres 2024, saat Ganjar berkuasa, akan bermunculan gembong-gembong bandit baru (mafioso). Untuk berbagai sektor strategis.
Propektus kepemimpinan Ganjar seperti itu – dalam konteks kepentingan bangsa-negara atau nasionalisme – haruskah dibiarkan? Bangsa yang masih berakal sehat, pasti akan menyatakan “no and no forever”. Harus dilawan, tapi dengan politik cerdas. Dengan membangun kesadaran baru yang penuh nurani berlandaskan nasionalisme yang kokoh. Siapapun yang mencintai negeri ini sebagai nasionalis sejati dari anasir manapun, harus bahu-membahu untuk menghadang kandidat yang akan mengobralkan negara, bahkan menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sekali lagi, berbagai anasir kebangsaan yang banar-benar cinta tanah air ini tanpa sekat perbedaan, haruslah mengkristalkan diri pada gugus kekuatan yang anti oligarki, komprador asing (aseng) dan penghancur negeri ini dan rakyatnya yang bernasib kian tersungkur, secara ekonomi, politik, sosial dan lainnya. Karenanya, tidaklah berlebihan bahkan merupakan panggilan idealistik ketika PDIP dan capresnya bahkan para pendukung koalitifnya harus dilihat sebagai musuh bersama (the common enemy).
Sikap politik tersebut bukan anti dan atau tidak menghormat hak berdemokrasi bagi setiap diri, tapi semata-mata pertimbangan masa depan negara dan bangsanya yang harus diselamatkan. Jadi, sikap demokratiknya bukan sebatas prosedur, tapi prinsip yang jauh lebih esensia. Yaitu, melalui sistem demokrasi akan mampu menghadirkan cita-cita berdirinya sebuah negara merdeka.
Bekasi, 30 April 2023
Penulis: analis dari Center for Public Policy Studies (CPPS) INDONESIA