Oleh Munawir Abdullah
PAGI itu, aku bersama teman-teman duduk di pinggiran sungai sambil membalutkan badan dengan kain sarung. Sudah manjadi tabiatku bersama teman-teman, sebelum mandi pagi untuk ke sekolah.
Kami bersila kaki sambil duduk di pinggiran sungai. Suasana dingin itu aku nikmati bersama mereka setiap paginya. Rapetan ibuku yang penuh kasih sayang, menjadi santapanku setiap pagi, sebelum aku sarapan.
Aku tidak pernah mandi pagi di rumah, walaupun ibu dan ayah sudah menyediakan kamar mandi yang bagus dengan lapisan keramik terindah. Bagiku, mandi di sungai sangat menyenangkan. Aku tidak perlu lagi menimba air dari bak mandi, tinggal ku lepaskan semua pakaian yang ada di badanku. Aku bisa langsung terjun bebas ke air.
Setelah hampir setengah jam aku duduk bersila kaki di pinggiran sungai dan semua pakaian telah aku lepaskan. Aku tidak langsung nyemplung ke air. Aku masih mencari-cari udang yang masih tiduran dalam bekasan akar bambu di dalam air. Tanganku yang lembut, meraba-raba ke dalam akar bambu dengan penuh perasaan.
Pernah suatu pagi, tanganku digigit udang yang menganga itu. Aku menangis tersedu-sedu menahan kesakitan. Itu pagi terna’as yang pernah aku alami. Sesampai di rumah, belum sempat aku ceritakan kesakitan yang aku alami, sudah duluan disambut repetan ibuku, dengan tangannya yang tak menentu, sambil mempersiapkan sarapan pagi. Saat itu aku sangat kesal pada ibu, apalagi sikap ayah yang sangat cuek. Ayah terkesan mendukung ibu untuk merepetiku.
Tapi aku tidak pernah kapok dengan kejadian itu, rutinitas itu selalu aku lakukan sampai aku berumur delapan tahun. Kalau boleh jujur, sekarang aku sangat merindukan repetan ibu.
**
Sungai itu menjadi tempat yang menjijikkan bagiku, di saat aku sudah berumur delapan tahun. Aku tidak pernah lagi mandi di sungai, apalagi untuk mencari udang di akar pohon bambu itu. Teman-temanku juga tidak lagi mandi di sungai, mereka mandi di rumahnya masing-masing. Air sungai yang dulu bersih, jernih dan banyak itu. Sekarang sudah nampak bebatuan dan berkeruh.
Aku sudah jijik ke sungai. Masa-masa kebahagianku bersama teman-teman, untuk menaklukkan dinginnya pagi di pinggiran sungai sambil bersila kaki, leyap sudah dirampas sinso-sinso yang rakus itu. Semakin hari, air sungai di kampungku semakin mengering.
Pepohonan seukuran pelukanku manjadi tontonan hari-hari yang diangkut bertrek-trek lewat jalan di depan sekolahku. Sungguh malangnya nasib anak-anak seusiaku di Kampung ini. Dulu kami selalu dimanjakan oleh alam.
Pernah suatu ketika, saat aku pulang dari sekolah. Aku ratapi kekecewaan ini sama ayah. Malah ayah meratapiku balik. Aku melihat kekecewaan ayah, sama dengan kekecewaanku. Aku kesal pada sinso-sinso yang telah merampas kebahagian masa kecilku.
BERSAMBUNG…