Oleh : Abdullah Hehamahua
Tujuan pendidikan menurut UUD 45, lahirnya anak didik yang beriman dan bertakwa. Namun, zaman Orde Lama, pendidikan disekulerkan. Ujungnya, Soekarno dihalau dari istana. Beliau meninggal dalam status tahanan kota.
Awal Orde Baru, pendidikan relatif baik. Bahkan, Indonesia pernah ekpor guru ke Malaysia. Namun, sewaktu pembangunan ekonomi kapitalistik, lulusan pendidikan menjadi pencari kerja. Padahal, lapangan kerja terbatas. Dampaknya, KKN di antara istana dan pengusaha nonpribumi, marak. Ujungnya, Soeharto diadili.
Orde Reformasi dimulai dengan kudeta konstitusi. UUD 45 menjadi UUD 2002. Dampaknya, lulusan pendidikan menjadi jongos dan babu. Sebab, produk pendidikan boleh dibilang tidak berintegritas. Terjadilah kasus: BLBI, Century, E-KTP, Reklamasi, Meikarta, KM50, Sambo, Teddy Minahasa, BPJS, dan Rp. 349 T “money laundry.” Jokowi akan mengikuti nasib Soekarno dan Soeharto.? Terpulang ke Jokowi sendiri.
*Pendidikan versi Orde Lama*
Filosofi Menteri Pendidikan pertama, Ki Hajar Dewantara adalah: “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.” “Ing ngarso sung tulodo,” bermakna seorang pemimpin harus mampu memberikan teladan. “Ing Madyo Mbangun Karso,” berarti seseorang di tengah kesibukannya juga mampu membangkitkan semangat. “Tut Wuri Handayani,” bermakna, seseorang harus memberikan dorongan moral dari belakang.
Pengganti Ki Hajar Dewantara, Todung Sultan Gunung Mulia, Pendiri Partai Kristen Indonesia (Parkindo) kembalikan sistem pendidikan ke pola penjajahan. Christiaan Snouck Hurgronje melalui penjajah Belanda (VOC) mengsekulerkan pendidikan formal di Indonesia. Sebab, sistem, silabi, kurikulum, metode, dan tenaga pendidik ditetapkan penjajah. Terjadilah perubahan perilaku dan budaya masyarakat.
Dampak pendidikan ala penjajah tersebut dapat disaksikan sampai hari ini: Warga yang biasa makan dengan tangan, digantikan sendok dan garpu. Orang kampung yang biasa makan sambil duduk, berubah perilakunya. Mereka makan dan minum sambil berdiri. Anak yang permisi sewaktu berjalan di depan orang tua sambil ucapkan salam, berubah. Mereka hanya ucapkan “dah … dah” atau “bye … bye.”
Dampak negatif lanjutan, orang tua kirim anaknya ikut kursus bahasa Inggeris atau matematik. Bahkan, ada yang undang guru ke rumah untuk mengajar anak. Mereka malu jika nilai bahasa Inggeris atau matematik, jelek. Boleh dibilang, tiada orang tua yang undang guru agama ke rumah untuk ajarkan anaknya belajar agama.
Penyebabnya, K/L, BUMN/BUMD, dan perusahaan lebih suka terima pelamar yang pandai bahasa Inggeris dan matematik. Mereka tidak hiraukan integritas pelamar. Apalagi, menjadikan amalan agama pelamar sebagai syarat. Padahal, sila pertama Pancasila dan pasal 29 UUD 45, tegas menetapkan status agama.
Sewaktu Masyumi berkuasa (1949 – 1956), pendidikan dilaksanakan sesuai UUD 45. Mr. Asaat, kader Masyumi yang jadi Presiden Republik Indonesia pasca KMB, 1949 menerbitkan UU No 4/1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Tujuannya, sesuai UUD 45, lahir anak didik yang beriman dan bertakwa.
Asaat dalam pasal 21 ayat 2 UU No.4/1950 menetapkan: “Djika di dalam sesuatu daerah sebagian besar dari orang-orang tua murid, karena pahamnja tentang sesuatu agama, menghendaki pendidikan terpisah, maka di daerah itu dapat didirikan sekolah-sekolah atau dibentuk kelas-kelas melulu untuk gadis-gadis.” Sebab, menurut pasal 29 ayat 2 UUD 45, laki-laki dan perempuan yang tiada hubungan mahram, terpisah tempat duduk. UU ini menetapkan, Taman Kanak-Kanak merupakan jenjang pendidikan formal. Hal ini belum pernah dilakukan orla, orba, dan orde reformasi.
Sewaktu kader Masyumi (Mohd. Natsir, Sukiman, dan Burhanuddin Harahap) jadi PM, UU No 4/1950 disempurnakan. Terbit UU No. 12/1954 yang menjamin tujuan pendidikan menurut UUD 45, dilaksanakan. Bahkan, era ini, fasilitas pun disediakan pemerintah. Saya, selama di SR (sekarang SD) tidak pernah bayar uang sekolah. Buku Teks Bahasa Indonesia disediakan sekolah.
Tragisnya, zaman orla, pendidikan kembali disekulerkan. Ia bermula dari perdebatan di antara Soekarno dan Hatta. Bung Hatta mau, prioritas pembangunan nasional adalah pendidikan. Soekarno mau politik sebagai prioritas pembangunan. Soekarno “ngotot.” Akhirnya, Bung Hatta mundur dari jabatan Wakil Presiden.
Pendidikan lalu disekulerkan melalui Nasakom (Nasional Agama Komunisme). Konsep Soekarno ini, selain mengakibatkan pembunuhan enam jenderal dan puluhan ulama dan santri, juga rakyat terbodohkan. Di Maluku misalnya, Kodam Pattimura menangkap seorang anggota PKI. Padahal, beliau seorang Nasrani yang rajin ke gereja. Ternyata, menurutnya, PKI itu, Partai Kristen Indonesia. Inilah salah satu dampak negatif dari politik sekuler sebagai prioritas pembangunan.
Sejatinya, musibah terjadi pada awal kemerdekaan. Pendidikan umum (SD, SMP, SMA, sekolah kejuruan, Universitas) ditangani Kemendiknas. Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madarasah Tsanawiah (MT), Madrasah Aliah (MA), dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di bawah tanggung jawab Kementerian Agama.
Sekularisasi pendidikan tersebut melahirkan pola pikir dan perilaku masyarakat yang juga sekuler. Orang tua menganggap, anaknya akan sukses, jadi orang terkenal dan kaya, harus memiliki ijazah sekolah sekuler. Orang tua yang mau anaknya saleh/salehah, harus masuk sekolah agama.
Bahayanya sekularisasi ini, masyarakat awam anggap, sarjana bidang teknik, kedokteran, hukum, ekonomi, dan sejenisnya, tidak akan masuk surga. Di pihak lain, masyarakat berfikir, tamatan sekolah agama (MI, MT, MA, IAIN) tidak bisa jadi orang kaya. Mereka juga tidak bisa jadi pejabat publik, baik sebagai anggota legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Konsep Nasakom Soekarno (1959) dilanjutkan dengan jargon Manipol – USDEK. Ia menjadi “dewa” dalam kehidupan bangsa Indonesia termasuk pendidikan. Hal tersebut tercermin dalam Kepres No. 145/1965 yang menetapkan tujuan pendidikan adalah lahirnya warga negara sosialis Indonesia. Bukan warga negara yang beriman dan bertakwa.
Sekulerisasi pendidikan juga dapat dilihat di Penetapan Presiden No. 19/1965. Di sini, mahasiswa boleh tidak ikut mata kuliah agama jika dia tidak berminat. Inilah keberhasilan komunisme. Sebab, PKI anti agama. Ujungnya, Soekarno dihalau dari istana. Beliau meninggal dalam status tahanan rumah. Andaikan ide Hatta diterapkan, Indonesia hari ini sudah jadi negara yang adil dan mandiri tanpa dililit utang luar negeri. Tanpa penjajahan oligarki.
*Pendidikan versi Orde Baru*
Pada awal orde baru, pendidikan nasional relative baik. Hal ini dibuktikan pada tahun 1970-an, Indonesia mengekspor guru ke Malaysia. Bahkan, banyak warga Malaysia kuliah di IKIP Yogya, Bandung, Padang, dan Medan.
Tragisnya, sewaktu pemerintah orba berorientasi kapitalistik, tamatan pendidikan formil hanya kejar ijazah. Pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan perilaku, bukan target mereka. Sebab, dengan ijazah, seseorang mudah dapat kerja. Ini karena, K/L/BUMN/BUMD, dan perusahaan swasta hanya mau terima pelamar yang berijazah. Padahal, lapangan kerja terbatas. Sistem koneksi untuk bisa kerja, subur.
Pada waktu yang sama, institusi pendidikan diintervensi Pemerintah. Organisasi extra tidak dibenarkan masuk Sekolah Menengah. Pelajar dicekoki PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Dampaknya, tawuran di kalangan pelajar marak. Sebab, mereka tidak lagi memperoleh pembinaan akhlak dan sopan santu dari organisasi extra seperti Pelajar Islam Indonesia (PII). Kampus pun diintervensi dengan konsep NKK/BKK. Dampaknya, mahasiswa dan sarjana tanpa idealisme.
Keadaan tambah semraut sewaktu sekolah kejuruan dilebur ke dalam SMK (1997). Namun, targetnya tetap. Mengisi lapangan kerja di industri yang semuanya milik nonpribumi. Dampaknya, koneksi dan KKN tambah subur. Ujungnya, pengusaha nonpribumi yang dibesarkan Soeharto, menyeretnya ke Pengadilan. Meninggalnya pun dalam status terdakwa.
*Pendidikan versi Orde Reformasi*
Ciri utama Orde Reformasi adalah budaya pembajakan. UUD 45 dibajak menjadi UUD 2002. Target pendidikan yang tadinya, “anak didik yang beriman dan bertakwa,” menjadi “jongos dan babu.” Sebab, Pemberi Kerja dikendalikan oligarki. Bahkan, K/L dan BUMN/BUMD pun dibajak. Tragisnya, Jokowi adalah pembajak ulung. Buktinya, mantan narapidana ditunjuk menjadi Komut BUMN strategis.
Kampus dibajak. Ia bebas dari etika, idealisme, dan ideologi. Universitas disterilkan dari pimpinan, dosen, dan mahasiswa yang berintegritas. Pimpinan PT dibajak dengan menetapkan hak suara Mendiknas 35% dalam pemilihan rektor. Olehnya, Jokowi bilang, jangan campur agama dan politik. Pola pikir itu dilanjutkan anak buahnya, Ketua Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) yang bilang, “musuh utama Pancasila adalah agama.” Pembajakan demikian maraknya sehingga mantan rektor UIN tidak paham, kelima sila dari Pancasila adalah ajaran agama. Bahkan, sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah inti ajaran agama: TAUHID.
Pendidik disyaratkan pelbagai ketentuan administratif guna memperoleh tunjangan profesi. Dampaknya, guru/dosen melalaikan kualitas pengajarannya. Mereka tidak sempat menyiapkan bahan ajar yang berkualitas. Sebab, mereka disibukkan dengan pemenuhan syarat administrative.
Problem serius dalam bidang pendidikan, khususnya dalam pemerintahan Jokowi adalah maraknya pelacuran intelektual. Dalam kamus KPK, ada istilah “intellectual corruption” (korupsi intelektual). Korupsi intelektual adalah korupsi yang dilakukan guru, dosen, ulama, pendeta, romo, dan biku. Sebab, korupsi intelektual adalah perilaku mereka yang punya ilmu, pengetahuan, informasi, dan data, tapi disembunyikan, dimanipulasi, atau disalah-gunakan demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Pelacuran intelektual pertama, Revolusi Mental Jokowi. Hasilnya, mayoritas pejabat rusak mental. Sebab, korupsi marak pada periode Jokowi. Data-data di KPK dan ICW, partai terkorup adalah PDIP dan Golkar, partai pendukung Jokowi. Anehnya, ada profesor, doktor, dan sarjana yang mau jadi Menterinya Jokowi.
Pelacuran intelektual kedua, Jokowi berjanji, tidak akan berutang. Faktanya, Jokowi adalah Pengutang terbesar, 150 kali lipat dari utang SBY. Anehnya, ada profesor, doktor, dan sarjana di kabinet dan K/L yang biarkan pemerintah berutang. Bahkan, DPR sahkan RAPBN yang diajukan pemerintah setiap tahun.
Pelacuran intelektual ketiga, profesor, doktor, dan sarjana, baik yang di kabinet, K/L, penegak hukum, dan DPR bisu terhadap 894 petugas KPPS yang meninggal secara tidak wajar dalam Pilpres 2019.
Pelacuran intelektual keempat, profesor, doktor, sarjana, dan universitas yang mendiamkan pemberian gelar profesor kehormatan. Padahal, menurut UU No. 14/2005, profesor bukan gelar akademik. Gelar akademik adalah S1, S2, dan S3. Seorang doktor harus memiliki ijazah S1, S2, dan S3. Profesor adalah jabatan akademik tertinggi. Maknanya, syarat minimal menjadi profesor adalah dosen yang punya ijazah sarjana (S1, S2, S3). Dia punya sejumlah hasil penelitian ilmiah yang dipublikasikan di penerbitan nasional dan internasional.
Pelacuran intelektual yang paling ajaib adalah pembangunan jalan KA Jakarta – Bandung dan IKN disetujui DPR, PT, dan para sarjana. Padahal Indonesia sedang dilanda pandemi Covid 19 dan krisis keuangan. Sama halnya dengan pengesahan UU: Covid 19, KPK, Minerba, dan Cipta Kerja. Sungguh, Orde Reformasi telah tergadai. Sebab, presidennya adalah Petugas Partai yang punya hobi membajak Peraturan Perundang-undangan
(Depok, 1 Mei 2023).