Oleh Tabrani Yunis
Impian menerbitkan buku-buku sudah lama bersemi dalam hati dan pikiran penulis. Impian itu muncul setelah sekian lama bergelut dan giat menulis di berbagai media, cetak dan kini di media online. Ya, paling tidak, sejak mulai suka membaca buku-buku dari berbagai pengarang atau penulis di SMP di tahun 1970 an, hayalan untuk mengarang atau menerbitkan buku tersebut sudah tersirat di hati. Apalagi ketika telah mulai melakukan kegiatan atau aktivitas menulis di media masa seusai dari kuliah di tahun 1989, ketika tulisan penulis mulai diterbitkan di surat kabar lokal di Aceh, hasrat itu semakin besar.
Perasaan dan keinginan untuk bisa menulis buku pun menjadi impian besar setelah penulis sangat produktif menulis artikel untuk rubrik opini di media cetak. Pokoknya, setelah tulisan pertama dimuat di media cetak lokal yang terbit pada tanggal 14 Juni 1989, intensitas menulis semakin tinggi. Buktinya, setelah tulisan pertama itu dimuat, dalam sebulan bisa setiap minggu ada tulisan yang dimuat di media lokal yang saat itu belum begitu menjamur media cetak. Kala itu di Aceh, setelah Harian Serambi Indonesia, ada koran Peristiwa, Aceh Ekspress, dan lain-lain yang menjadi tempat menulis kala itu.
Semangat menulis yang menggebu-gebu, telah meningkatkan produktivitas menulis saat itu, sehingga perlu melebarkan sayap mencari media cetak yang berada di luar Aceh. Pilihannya adalah mengirim tulisan ke terbitan Medan, Sumatera utara. Di wilayah Sumatera Utara ada surat kabar harian Waspada dan harian Analisa Medan. Kedua media ini menjadi tempat menulis opini yang juga bisa lebih sering muncul. Selanjutnya, terus bergerak menuju media di Ibu kota Negara, yakni media yang terbit di Jakarta. Penulis mengawalinya dengan mengirim
tulisan ke mingguan Swadesi kala itu. Juga di media yang diterbitkan oleh Dana Mitra Lingkungan yakni majalah Pancaroba yang dikelola oleh Pak Eka Budianta saat itu. Selain itu juga menulis di beberapa buletin yang terbit di daerah dan nasional. Bahkan di tahun 2003 selain profil penulis muncul di harian Republika, juga ada tulisan yang dimuat di harian ini. Pokoknya, sebelum bencana tsunami menghantam Aceh pada 26 Desember 2004, lebih dari 400 tulisan yang sudah ditulis.
Jumlah sebanyak itu, tentu sudah layak dibukukan. Namun, apa daya, kala itu belum begitu faham cara menerbitkan buku. Padahal dengan jumlah tulisan sebanyak itu, ditambah lagi kala itu penerbitan buku masih sangat didukung oleh era kertas, banyak penerbit yang masih berkiprah menerbitkan buku. Mungkin memang belum beruntung, semua kliping tulisan yang penulis kumpulkan, hilang ditelan bencana tsunami. Akhirnya, impian membuat atau menerbitkan buku pun buyar. Hanya tinggal impian. Lalu, apakah dengan lenyapnya kliping tulisan tersebut, lenyap pula semangat menulis?
Tentu tidak demikian, karena sesungguhnya bencana itu tidak menghanyutkan semangat penulis untuk menulis. Apalagi aktivitas menulis sudah menjadi kebutuhan sehari-hari, duka lara dihantam bencana tsunami, kala itu membutuhkan saluran untuk membunuh rasa pilu, membutuhkan kegiatan untuk mengekspresikan atau meluapkan perasaan luka lara. Satu di antara banyak cara adalah dengan menulis.
Alhamdulilah, dengan ketrampilan menulis (writing skill) yang penulis miliki, penulis menumpahkan semua perasaan duka atas kehilangan anak dan istri kala itu. Bukan hanya menuliskan tentang peristiwa yang dialami dengan tulisan-tulisan Opini, tetapi juga menulis sejumlah puisi. Banyak puisi yang lahir untuk menumpahkan semua rasa pilu hati. Sehingga produktivitas menulis tetap hidup. Bahkan lebih dahsyat lagi yang penulis rasakan, tekat untuk menulis di media nasional (istilah kala itu) menggebu-gebu. Akan sangat membanggakan kalau bisa tembus di media nasional sekelas harian Kompas, maupun media lain, seperti Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, hingga the jakarta post. Alhamdulilah media tersebut pernah memuat tulisan penulis, kecuali Media Indonesia. Paling tidak, kepuasan batin karena bisa tembus media nasional sudah dirasakan.
Selain menulis di media cetak, sejak zaman berubah, format dan konsep media berubah dengan hijrahnya media cetak ke media online, maka ruang menulis tersebut semakin besar dan banyak. Ada banyak platform media online sejak internet semakin mudah diakses. Jumlahnya semakin banyak. Ya, semakin banyak tersedia wadah menulis. Maka, sejalan dengan itu, penulis juga aktif menulis di media online, seperti www.potretonline.com, Kompasiana.com, Watyutink, dan lain-lain. Jadi bukan mustahil bila dijumlahkan tulisan di media online yang penulis tulis, tidak kurang dari 1000 tulisan. Lalu apakah sudah menulis buku?
Eh, ternyata sampai dengan tahun 2018, belum ada satu buku pun yang diterbitkan, walau jumlah tulisan yang ditulis sudah lebih dari 1000. Aneh bukan? Ya, kalau dibilang aneh, ya bisa terasa aneh. Namun juga bisa tidak aneh. Mengapa begitu?
Layaknya para penulis yang suka dan rajin menulis bisa membukukan tulisan mereka, namun tidak semua penulis memiliki buku atau menerbitkan buku. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, misalnya dalam membuat buku tidak cukup dengan ketersediaan tulisan saja, tetapi diperlukan pula seorang editor yang melakukan proses editing atau penyuntingan terhadap tulisan atau isi buku. Seorang editor yang bukan saja memperbaiki kesalahan tulis atau ketik, menyesuaikan dan memilih diksi yang sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sebagai Proofreader, tetapi lebih dari itu juga bertanggung jawab terhadap isi atau content buku agar mudah dan menarik minat orang untuk membaca buku tersebut. Dalam hal ini, seorang editor juga menjalankan pesan sebagai Development editor yang memberikan ide atau gagasan terhadap penulis buku. Oleh sebab itu, editor ini akan selalu berkerjasama, mendiskusikan isi buku dengan penulisnya. Nah, untuk mencari editor yang demikian juga seorang penulis harus mencari editor yang terampil dalam penggunaan bahasa serta memiliki background Knowledge terhadap isu atau content buku yang akan diterbitkan.
Selain mencari seorang editor yang faham dan mampu menelaah dan memperbaiki serta memberikan ide atau gagasan yang diperlukan dalam menjalankan aktivitas editing, seorang penulis juga harus mencari penerbit yang akan menerbitkan naskah buku seorang penulis. Terkait penerbit, ada pilihannya. Pertama bila buku kita adalah buku yang sangat penting dan menarik serta memiliki selling value alias memiliki nilai jual yang tinggi, bisa banyak penerbit mau menerbitkan buku kita, tanpa harus membayar dan bahkan kita tidak perlu sibuk menjual buku sendiri pasca cetak atau terbit. Apalagi kalau bisa best Seller, tak ada persoalan dengan biaya. Pokoknya, kalau dalam kondisi begini, semua urusan adalah urusan penerbit dari A sampai Z, hingga distribusi. Lalu bisa menghitung berapa besar royalti yang akan diterima. Mantap bukan?
Ya, memang mantap. Itulah buah manis dari seorang penulis. Oleh sebab itu, wajar kalau banyak orang yang mau menerbitkan buku.
Jadi, dapat dikatakan bahwa setiap penulis, apalagi yang produktif menulis, pasti punya keinginan untuk membukukan tulisannya. Alasan lain bisa karena sang penulis ingin tulisan dan atau karya tulisnya bisa dibaca oleh orang lain dalam bentuk yang lebih terstruktur di buku. Selain itu, menerbitkan buku sebagaimana kita ketahui selama ini adalah menciptakan pintu rezeki. Dikatakan demikian, karena ketika sang penulis bisa menerbitkan buku, biasanya akan mendapatkan hasil berupa uang dari hasil penjualan buku secara langsung, atau mendapatkan royalti ketika diterbitkan oleh pihak penerbit. Ya, apa pun tujuannya, menerbitkan buku adalah dambaan para penulis, termasuk penulis sendiri. Hasrat hati juga ingin memeluk gunung, hingga bisa menerbitkan banyak buku.
Kedua, menerbitkan buku bisa dilakukan secara mandiri. Yang penting punya kekuatan finansial sendiri. Artinya dengan biaya sendiri, kita bisa mencari penerbit sendiri dengan biaya sendiri dan bahkan didistribusikan sendiri. Cara ini pasti berat, karena kita harus mencari sendiri orang yang mau melakukan aktivitas editing terhadap buku kita, mencari penerbit yang bisa mengurus ISBN dan layout serta mencetaknya. Kita tinggal menghitung biaya dan bayar. Cara ini sebenarnya sangat berat, terutama bagi penulis yang tidak punya sumber dana untuk menerbitkannya. Oleh sebab itu, banyak penulis yang berhasrat menerbitkan buku, tidak bisa mewujudkannya.
Lalu, bagaimana dengan penulis sendiri? Tentu sama halnya dengan penulis lain. Sudah cukup lama keinginan penulis untuk menerbitkan buku, walau saat itu belum ada tulisan-tulisan yang bisa dibukukan. Sejak masih di SMP di tahun 1970 an, ketika setiap kali membaca buku-buku cerita, dongeng dan sebagainya, saat itu tersirat harapan untuk bisa membuat buku seperti buku cerita yang dibaca saat itu. Lalu, ketika bersekolah di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Banda Aceh di tahun 1979-1982, penulis banyak meminjam buku cerita di perpustakaan sekolah. Hasrat untuk bisa menulis buku menjadi semakin kuat, setelah membaca sebuah buku yang penulisnya memiliki nama yang sama. Ada sebuah buku yang judulnya hingga kini penulis simpan di ingatan. Buku tersebut berjudul “ Anak Nakal, Banyak Akal” karya Muhammad Tabrani.
Buku Terbengkalai.
Setelah sekian banyak tulisan terkumpul dalam dokumen di komputer, tulisan-tulisan yang ditulis selama bertahun-tahun, maka di tahun 2012 penulis mengumpulkan tulisan-tulisan mengenai pendidikan. Lalu, telah diserahkan kepada seorang editor yang bersedia melalaikan kerja-kerja editing tersebut. Setelah disusun secara sistematis, kumpulan tulisan tersebut diberi judul “ Guru (bukan) Beo. Naskah buku tersebut bahkan telah disunting dan diberikan catatan-catatan untuk diubah atau ada bagian yang dihilangkan. Naskahnya pun diserahkan kepada penulis untuk ditindaklanjuti. Sayangnya, hingga kini buku tersebut yang harusnya adalah buku pertama penulis yang diterbitkan, namun hingga hari ini hanya tinggal sebagai naskah buku yang terbengkalai.
Tentu saja tidak ada kata terlambat. Ya seharusnya begitu. Buku itu harus segera dibaca ulang dan dilakukan perubahan dan kemudian dicetak dan bisa diedarkan. Semoga saja akan bisa dicetak, walau bukan buku pertama, tetapi menjadi buku ke tiga. Bukan hanya ke tiga, bisa jadi ke empat. Sebab, untuk buku yang pertama terbit ternyata buku yang belum pernah disusun seperti halnya naskah buku “ Guru (bukan) Beo.
Tanpa direncanakan seperti menerbitkan naskah buku “ Guru (bukan) Beo, yang terbengkalai itu, di awal tahun 2019 penulis mulai menyiapkan dan melakukan proses penerbitan buku. Penerbitan ini terwujud setelah dihubungi oleh Mustafa Ismail, Seniman, penyair dan jurnalis Koran Tempo yang bermukim di Jakarta, meminta penulis menerbitkan buku. Saat itu, beliau meminta penulis mengumpulkan puisi-puisi yang selama ini sudah banyak digubah selama bertahun-tahun. Puisi -puisi itu ada di beberapa media online, seperti Kompasiana dan Potretonline.com.
Ajakan itu, bagai gayung bersambut, karena penulis memang sangat berkeinginan punya buku, maka ajakan ini langsung penulis iyakan. Ya, setuju untuk dibukukan dan akhirnya penulis mengirimkan sekitar 60 puisi ke Mustafa Ismail, yang sekalian penulis minta beliau menjadi kurator. Setelah selesai disusun berdasarkan klasifikasinya, penulis menyiapkan kata pengantar dan meminta teman-teman dekat untuk menuliskan endorsement. Ada Pak Eka Budianta, Pak Satria Dharma, Mustafa Ismail, Herman RN, dan Almarhum Mahdi Idris. Sedang De Keumalawati menulis epilog dalam buku ini dengan judul” Rindu Tak Bertepi, Puisi untuk Gizi Nurani.
Buku itu merupakan buku pertama yang penulis terbitkan dengan menggunakan dana sendiri. Buku kumpulan puisi yang diberi judul “ Kulukis Namamu di Awan”, sebuah buku kumpulan puisi yang terbit pada Februari 2020. Sebagai apresiasi dari teman-teman Lembaga Satu Pena Aceh, melakukan kegiatan bedah buku “ Kulukis Namamu di Awan” pada hari Sabtu, 25/06/2022 dengan menghadirkan Drs. Mukhlis, M.Hum sebagai pembedah. Acara bedah buku ini semakin memperkaya ilmu dan menambah motivasi penulis untuk terus berkarya. Bukan hanya itu, acara bedah buku ini juga menjadi motivasi penulis untuk menerbitkan buku-buku lainnya.
Di akhir tahun 2022, muncul keinginan menerbitkan buku yang ke dua. Kali ini penulis menghubungi Direktur Bandar Publishing yang berkantor di kawasan Lam Gugop, kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh mendiskusikan mengenai rencana cetak buku yang ke dua itu. Diskusi yang diawali dengan memilih tema buku, dilanjutkan dengan mencari orang yang mau menjadi editor. Hasil diskusi saat itu adalah
Ini adalah buku kumpulan tulisan mengenai literasi. Kebetulan ada lebih dari 50 tulisan mengenai masalah literasi dan kegiatan literasi yang penulis jalani di Aceh.
Niat ini harus segera diwujudkan, bahkan harapannya bisa terbit dan diluncurkan pada tanggal 11 Januari 2023 bertepatan dengan ulang tahun majalah POTRET yang menjadi sebuah bukti nyata dari upaya membumikan literasi di kalangan perempuan dan umum di Aceh dan nusantara. Sejalan dengan isi buku mengenai realitas berliterasi di Aceh dan nusantara, serta banyaknya cerita hasil amatan dan aktivitas mengajak, memotivasi dan melatih anak negeri untuk meningkatkan kemampuan literasi, buku tersebut diberi judul yang sesuai, yakni “
Membumikan Literasi”. Judul ini merupakan judul yang ditawarkan oleh sang Editor. Tentu ini adalah judul yang menarik dan tepat. Setelah semua itu clear, maka hal yang sangat penting adalah bagaimana agar penerbitan buku ini bisa lebih cepat.
Namun, melihat sibuknya kegiatan Editor, Bapak Dr. Sulaiman Tripa, target itu tidak mungkin bisa dikejar. Akhirnya baru diluncurkan dalam “ Bincang Buku Membumikan Literasi” pada tanggal 16 Mai 2023 dalam momentum hari Pendidikan Nasional. Kegiatan bincang buku ini berjalan dengan baik, atas bantuan teman-teman dari Satupena Aceh. Ada D Kemalawati yang giat membantu mencari tempat kegiatan. Beliau menghubungi pihak perpustakaan wilayah Aceh dan sekaligus menjadi narasumber dalam bincang buku ini. Ada Bu Deliarawanita yang berkontribusi tenaga dan pikiran serta membantu menyediakan makanan. Alhamdulilah. Tentu tidak kalah penting pula bahwa acara tersebut terselenggara karena mendapat tempat di lantai 4 (outdoor view) yang menyenangkan. Semakin bernilai karena kesediaan Prof. Yusny Saby menjadi narasumber yang dimoderatori oleh Herman RN. Sinergi ini menjadi penyemangat bagi penulis. Alhamdulilah buku ke dua pun sudah diluncurkan. Semoga buku ke tiga akan segera diproses. Kita bisa berencana, namun Tuhan lah yang akan menentukan. Yang penting kita berusaha.
Meredupnya Toko Buku
Ada banyak yang bertanya kepada penulis, mengapa menerbitkan buku sekarang? Mengapa telat sekali. Apakah masih relevan menerbitkan buku di era digital yang trend-nya adalah paperless? Mau dijual kemana bukunya? Bukankah sekarang toko buku-toko buku yang dahulu menggeliat, sementara kini tampak meredup bahkan gulung tikar?
Ya, ada banyak pertanyaan itu yang penulis harus sikapi. Benar memang kondisi toko buku sekarang di Aceh dan juga mungkin di daerah lain sedang mengalami masa-masa sulit bertahan. Bahkan ada yang memutuskan ditutup. Di Jakarta misalnya belakangan beredar kabar bahwa toko buku Gunung Agung, toko buku yang tergeolong legendaris dikabarkan akan menutup semua gerainya, sejalan dengan menurunnya minat membaca masyarakat dan tergantinya bacaan berupa buku dan media cetak lainnya ke platform digital.
Bukan hanya alat dan produk teknologi yang dahulu canggih mengalami disrupsi, tetapi juga mematikan minat membaca yang seharusnya tumbuh lebih pesat di era digital yang menyajikan informasi dan pengetahuan yang melimpah. Idealnya, dengan semakin canggihnya media belajar dan melimpahnya informasi dan pengetahuan secara digital, minat membaca tumbuh subur. Sayangnya masyarakat kita hanya menjadikan teknologi digital pada fungsi-fungsi hiburan atau entertainment.
Namun, terlepas dari semua itu, kalau dihitung -hitung dengan uang, atau ingin mencari untung secara finansial, membuat buku dengan cara mencetak, memang tidak menguntungkan. Jangankan kita menerbitkan buku, sejumlah toko buku yang diklaim legendaris saja tidak mampu bertahan karena tidak mampu membiayai biaya operasional. Matinya toko buku-toko buku di bumi nusantara ini, merupakan kondisi yang memprihatinkan. Keprihatinan itu, karena sebagaimana kita ketahui bahwa kemampuan literasi anak negeri yang belum sempat tumbuh subur, lalu layu dan bahkan mati sebelum sempat berkembang. Kondisi kemampuan literasi yang rendah yang mengancam masa depan generasi milenial dan generasi berikutnya, generasi A yang menjadi pemilik zaman. Mereka akan hidup dalam kondisi yang bisa saja akan sangat sulit.
Nah, dalam kondisi demikian, penulis tetap akan membuat buku-buku lainnya, sebagai bukti bahwa penulis ada. Penulis mengutip apa yang disebut Cogito segi sum, yang dalam dunia menulis bisa kita sebut dengan ungkapan “ Aku Menulis, aku ada”. Jadi membuat buku bagi penulis, adalah sebagai upaya memotivasi diri dan menjadi contoh dan teladan bagi anak sendiri dan juga bagi orang lain. Paling tidak, tersemat harapan bahwa buku-buku yang penulis terbitkan sebagai bentuk kontribusi anak negeri dalam membangun dan membumikan literasi di tingkat keluarga, masyarakat dan bangsa.