Oleh DR. Azharsyah Ibrahim
Dosen FEBI UIN-Ar Raniry, Banda Aceh
Salah satu nama Ramadhan adalah syahrul quran yaitu bulan alquran. Bulan yang di mana alquran sebagai petunjuk hidup kita umat manusia diturunkan. Akan tetapi, banyak di antara kita yang tidak benar-benar memahami al-Qur’an sebagaimana mestinya. Sebagian kita hanya sekadar membaca, tanpa memahami makna yang terkandung di dalamnya. Sehingga kita kadang-kadang telah mengkhatamkan al-Qur’an berulang kali, tetapi ironisnya kita tidak mengetahui isi dari al-Qur’an itu sendiri.
Nah, kalau kita masih seperti itu, artinya pemahaman kita terhadap al-Qur’an masih berada di level dasar. Kita jangan terus-menerus berada di tahapan ini, kita harus bertekad untuk naik level.
Perintah iqra dalam al-Qur’an bagi kita yang ingin naik kelas jangan hanya dipahami sebagai membaca saja, tetapi lebih dari memahami maksud perintah tersebut.
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ – ١
“Iqra` bismi rabbikallażī khalaq”.
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.
خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ – ٢
“Khalaqal-insāna min ‘alaq”.
Artinya: Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ – ٣
“Iqra` wa rabbukal-akram”.
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia,
Yang perlu kita ingat bahwa perintah membaca pertama kali ditujukan kepada orang yang berbicara bahasa Arab, sehingga tidak perlu lagi ada embel-embel baca dan pahami artinya. Kan tidak mungkin kita menyuruh seseorang membaca dalam bahasa Indonesia kemudian kita sampaikan juga “tolong pahami artinya ya..”
Untuk memahami al-Qur’an secara tepat, diperlukan sejumlah pengetahuan, cara, metode dan alat memahami dan menafsirkan Qur’an.
Yang perlu diingat bahwa pengetahuan itu tidak hanya ilmu agama, karena pada hakikatnya semua ilmu itu adalah kegunaan Allah. Kita perlu belajar Ilmu Agama sebagai jalan kita mengenal Allah. Kita belajar ilmu ekonomi agar bisa menjemput yang Allah janjikan dengan cara-cara yang benar. Kita perlu belajar ilmu astronomi agar mengenal ciptaan Allah di angkasa, kita belajar biologi agar kita mengenal makhluk- makhluk Allah selain kita sendiri. Kita mungkin tidak akan ahli dalam segala hal, tetapi kita perlu tahu secara umum saja sebagai bekal hidup dalam beramal di dunia ini.
Kita tahu ulama-ulama terdahulu semisal Imam Ghazali, Imam Syafii, Imam Hanafi, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun merupakan orang-orang yang selain berkompeten dalam ilmu tapi juga ahli dalam bidang yang lain. Imam Hanafi, misalnya, selain ulama, beliau dikenal sebagai pedagang, Ibnu khaldun dalam kitabnya Al Muqaddimah juga banyak tentang ekonomi yang masih relevan dipakai sampai sekarang. Innu Sina, selain dikenal seorang filsuf, beliau dikenal sebagai salah satu bapak kedokteran modern.
Oleh karena itu, jangan takut untuk banyak-banyak ber iqra, banyak membaca, agar pengetahuan kita luas sehingga kita cerdas dan tidak mudah termakan isu-isu yang tidak jelas. Ingat bahwa dulu di suatu masa di zaman Harun al Rasyid, Islam pernah mencapai puncak kejayaannya, di mana masa itu merupakan masa kegelapan Eropa/barat (dark ages). Waktu itu mereka kalau demam atau batuk itu masih pergi ke dukun bukan ke dokter, masih disumbo atau dirajah, sementara di dunia Islam, ilmu pengetahuan tentang kedokteran sudah berkembang dengan pesat.
Kenapa kemudian kita mundur dan peradaban Barat naik? Salah satunya adalah karena kita sudah malas menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup kita.
Di antara beberapa perangkat untuk memahami al-Qur’an adalah pengetahuan tentang makna, tafsir, dan asbabun nuzul, Jika kita membaca asbabun nuzul dan tafsir suatu ayat, maka sedikit banyak kita memahami sebab-sebab dan makna di balik turunnya ayat tersebut.
Misalnya, di dalam surat al Baqarah Allah menceritakan tentang Sapi Betina. Ini merupakan salah satu peristiwa cukup terkenal yang terjadi pada zaman Nabi Musa as yang Allah swt abadikan menjadi nama dari surat terpanjang di dalam Al-Qur’an yaitu Surat Al-Baqarah yang memiliki arti ‘Sapi betina’. [67-73]
Ibn Katsir dalam Kitab Tafsirnya menuturkan di kalangan Bani Israil ada seorang laki-laki kaya raya yang tidak memiliki anak. Satu-satunya ahli waris yang dimiliki adalah anak dari saudaranya. Sayangnya, ia justru membunuh pamannya, mungkin karena tidak sabar ingin mendapatkan warisan.
Pada malam harinya, ia meletakkan jasad Sang Paman di depan rumah seorang dari kaum Bani Israil. Hal ini menyebabkan sang pemilik rumah dituduh sebagai pembunuh keesokan harinya, terjadilah pertengkaran dan perdebatan. Sampai akhirnya, salah seorang dari mereka mengusulkan untuk mendatangi Nabi Musa as dan bertanya padanya siapakah yang sudah membunuh laki-laki tersebut.
Mereka bertanya, “wahai Musa, engkau Nabi Allah. Maka tanyakanlah kepada Allah siapa yang membunuh lelaki itu.” Nabi Musa as pun memohon kepada Allah swt yang kemudian dijawab oleh Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat ke 67, yang artinya :
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” Mereka berkata: “Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” Musa menjawab: “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil.” (Q.S. Al-Baqaah 2:67)
Mendengar perintah tersebut, Bani Israil justru memberikan reaksi yang negatif dan menuduh Nabi Musa as hanya mengolok-olok mereka saja. Sekalipun sudah banyak peristiwa hebat yang mereka alami bersama Nabi Musa as, mereka tetap meragukannya.
Apa hubungannya, mencari pembunuh dengan menyembelih sapi betina, begitu pikir mereka.
Kemudian, Nabi Musa as berkata, “aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil.”
Sebenarnya, mereka bisa dengan mudah mencari seekor sapi betina mana saja, lalu menyembelihnya sesuai perintah Allah swt. Namun, mereka malah bertanya lagi tentang sifat sapi yang akan disembelih itu. Allah swt berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 68 yang artinya :
“Mereka menjawab: “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina apakah itu.” Musa menjawab: “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.” (Q.S. Al-Baqarah 2:68).
Mereka menyebut Allah swt dengan menggunakan “Tuhanmu”, seolah-olah Allah swt hanya Tuhan Nabi Musa as, bukan mereka. Hal ini menunjukkan masih berjaraknya hati mereka dengan Allah swt. Kemudian, setelah dijelaskan sapi yang akan disembelih adalah sapi yang tidak tua dan tidak muda, mereka tetap tidak mencarinya dan bertanya perihal warnanya. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 69, yang artinya :
“Mereka berkata: “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya.” Musa menjawab: “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya.” (Q.S. Al-Baqaah 2:69)
Mereka tidak menyadari bahwa tugas yang diberikan semakin sulit ketika mereka terus-berterus bertanya dan tidak melaksanakannya. Sayangnya, mereka justru kembali bertanya sapi kuning yang bagaimana yang harus mereka sembelih? Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 70, yang artinya :
“Mereka berkata: “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu).” (Q.S. Al-Baqaah 2:70).
Kriteria yang diberikan sudah cukup jelas sebenarnya, sapi betina yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda serta berwarna kuning tua. Namun, alih-alih menjalankan perintah mereka justru bertanya secara terus-menerus. Hingga akhirnya, Allah swt menambahkan satu sifat lagi dari sapi betina dalam surah al-baqarah itu, seperti dalam Firman-Nya di Surat Al-Baqarah ayat 71, yang artinya :
Musa berkata: “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya.” Mereka berkata: “Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya”. Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.” (Q.S. Al-Baqaah 2:71).
Akibat dari banyak bertanya, tugas yang tadinya sederhana menjadi sulit dilakukan. Mereka hampir saja tidak dapat menunaikan perintah itu. Setelah itu, Allah mengungkapkan latar belakang mengapa perintah itu diberikan dalam Surat Al-Baqarah ayat 72 dan 73, yang artinya :
“Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh menuduh tentang itu. dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu sembunyikan.” (Q.S. Al-Baqarah 2:72).
“Lalu Kami berfirman: “Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu !” Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaanNya agar kamu mengerti.” (Q.S. Al-Baqarah 2:73).
Setelah menemukan sapi betina tersebut dan menyembelihnya, mereka memotong ekor sapi tersebut untuk dipukulkan kepada jasad di lelaki korban pembunuhan tadi. Lelaki itu tiba-tiba bangun dan mengatakan bahwa yang membunuhnya adalah keponakannya sendiri, lalu kembali meninggal.
Dengan ini, Allah swt memperlihatkan kekuasannya dalam menghidupkan orang mati dan menjadi salah satu bukti bahwa Allah swt akan menghidupkan kembali umat manusia di akhirat nanti.
Pelajaran penting yang dapat diambil dari kisah sapi betina dalam surah al-baqarah ini adalah berhenti bertanya-tanya atau meminta penjelasan untuk sesuatu yang sudah jelas adanya. Bertanya untuk sesuatu hal yang samar-samar itu wajar, tetapi banyak bertanya untuk sesuatu hal yang sudah jelas hanya akan mempersulit dirimu sendiri.
Selain dari kisah ini, dari perangkat tersebut kita juga mengetahui tentang surga. Waktu itu nabi baru pulang dari isra miraj, ditanya tentang syurga. Waktu itu Nabi tidak bisa menjawab karena beliau susah mencari padanan kata-kata untuk menggambarkan bagaimana indahnya surga. Sehingga mereka menunjuk ke aose atau daerah subur di tengah-tengah padang pasir. Kemudian turunan ayat mengenai surga yang membenarkan seperti apa yang mereka gambarkan. Beberapa mufassir seperti Ibnu Katsir kemudian memaknai ini sebagai salah satu bentuk surga karena penggambaran surga seperti tentu terbatas pada orang-orang yang sangat suka atau jarang terdapat di daerahnya.
Bagi kita yang di daerah dengan sungai yang bersih, pohon-pohon hijau dimana-mana tentu bentuk surga seperti ini menjadi kurang indah. Tetapi di asbabun nuzul kita mengetahui bahwa penggambaran surga seperti ini cocok bagi orang-orang yang hidup di gurun yang sejauh mata memandang hanya hamparan padang pasir.
Oleh karena itu para mufassir menyebutkan bahwa makna surga secara hakiki dalam al-Qur’an adalah kenikmatan tiada tara yang mungkin bentuknya berbeda menurut kesukaan masing-masing.
Dua kisah di atas, diantara banyak kisah lainnya itu, hanya bisa diketahui jika kita membaca al-Qur’an dengan memahami makna dan Tafsir serta asbab nuzulnya.