Cross-cultural Studies dan Rihlah Ilmiah

(Sebuah Catatan Perjalanan ke Negeri Gajah)

Bagian Pertama


Oleh Dr. Azharsyah, SE.Ak., M.S.O.M.

Tanggal 26 November 2019, saya tiba-tiba mendapatkan notifikasi bahwa telah dimasukkan dalam satu grup WA (WAG) ‘penguatan LP2M/reviewer 2019’. Saya eksplorasi WAG ini dan ternyata ini adalah grup kandidat yang lulus seleksi penguatan LP2M/reviewer program dari Direktorat Pendidikan tinggi Islam kementerian Agama RI. Awalnya saya tidak tahu akan lulus kemana walaupun negara tujuan ketika saya melamar Brunei Darussalam, tetapi biasanya disesuaikan dengan kuota yang tersedia.

 

Beberapa hari setelah WAG ini dibentuk, keluar SK dari Direktur PTKI tentang negara tujuan keberangkatan. Saya sendiri pertama tidak ada nama dalam SK tersebut, tetapi diberitahukan bahwa masih ada satu negara lagi yang belum konfirmasi dan saya kemungkinan berangkat ke situ. Sehari kemudian, saya mendapat kiriman SK bahwa saya akan berangkat ke Filipina, walau kemudian diinformasikan akan pending dulu sampai ada kejelasan lebih lanjut.

 

Tanggal 6 Desember 2019, saya tiba-tiba menerima notifikasi lagi sudah dimasukkan ke WAG baru ‘PENDIS GO THAILAND’ yang mengindikasikan bahwa saya dan juga teman-teman yang lulus ke Filipina dialihkan untuk berangkat ke Thailand. Informasi yang berkembang di WAG tersebut mengindikasikan juga bahwa para kandidat yang lulus akan berangkat ke Thailand dengan talangan biaya masing-masing terlebih dahulu untuk kemudian akan direimburse ketika anggaran PENDIS keluar. It’s okay with me. Anggap ini sebagai bagian dari refreshing akhir tahun.

 

Secara personal, saya sebenarnya bukan tipe orang yang suka jalan-jalan, tetapi dengan ikut program seperti ini akan membuka cakrawala dan menambah koneksi, tidak hanya dengan teman-teman dari seantero nusantara, tetapi juga dengan membuka peluang kolaborasi secara internasional dengan para ahli dari berbagai universitas di Thailand. Sebagai akademisi, ini akan sangat berguna jika ingin melakukan riset kolaboratif atau sekedar memperluas jaringan riset.

 

Menurut jadwal, acara pre departure diadakan tanggal 10 Desember 2019, yaitu sehari sebelum jadwal penerbangan. Saya tiba di Jakarta sekitar pukul 13.15 dengan Citilink yang berangkat jam 09.25 dari Banda Aceh. Dari Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta saya langsung menuju ke Kementerian Agama di lapangan Banteng. Saya tiba sekitar pukul 15.00 ketika acara sedang dimulai tetapi masih menunggu Direktur Diktis, Prof. Arskal Salim untuk menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan kegiatan ini. Acara ini berakhir sekitar pukul 16.30, dan kami semua bubar untuk menuju ke hotel masing-masing.

 

Saya sendiri telah booking hotel tidak jauh dari kementerian, sekitar 10 menit dengan menggunakan transportasi online. Di sekitar hotel saya tinggal kebetulan ada Carrefour sehingga malam itu bisa mencari perlengkapan konsumsi ke Thailand. Selain mencari makan, malam itu saya gunakan waktu untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda.

 

Esoknya saya berangkat sekitar pukul 12.00 WIB, meluncur ke bandara menggunakan transportasi online. Jadwal terbang ke Bangkok sebenarnya masih jam 19.30 dengan boarding pukul 18.45, tetapi karena check out hotel jam 12 , waktunya disesuaikan dengan itu saja dengan harapan di bandara bisa buka laptop untuk kerja lagi. Teman-teman lain juga seperti itu ternyata karena tidak berapa setelah itu saya langsung berjumpa dengan mereka.

Gambar 1. Sesaat sesudah check-in di Bandara Soekarno Hatta

 

Sore hari sekitar jam 17.00 kami sudah menuju ke check in counter. Sebenarnya check in bisa dilakukan via aplikasi, tetapi untuk nomor booking dengan group ternyata tidak tersedia. Dengan paspor di tangan kami mulai antri di konter-konter yang tersedia. Untungnya, jumlah konter yang tersedia sesuai dengan jumlah penumpang sehingga antrian tidak terlalu lama.

Selesai check in kami langsung mengarah ke gate tujuan. Karena kebetulan sudah masuk waktu Maghrib, kami shalat dulu di Mushalla terdekat. Setelah melewati pemeriksaan rutin, kami langsung menuju ke departure gate. Sekitar pukul 19-an, kami semua sudah dipanggil untuk boarding. Untuk ke Thailand, kami menggunakan Thai Lion Air yang merupakan anak usaha dari Lion Air Group, maskapai berbiaya murah kebanggaan Indonesia.

Gambar 2. Pesawat Thai Lion Air yang kami tumpangi siap take off

 

Walaupun merupakan pesawat asal tanah air, nuansa Thai sangat terasa karena pesawat ini memang dioperasikan oleh perusahaan Thailand, sehingga tidak heran seluruh flight attendantnya orang Thailand dan berbahasa Thai. Sekilas bahasa ini terdengar penuh irama. Seorang teman menjelaskan bahwa bahasa Thai memang kebanyakannya hanya dibedakan oleh bunyi vokal atau nada pengucapannya saja, artinya beda nada beda arti.

 

Perjalanan ke dari Jakarta – Bangkok kami tempuh sekitar 3,5 jam, waktu yang relatif tidak terlalu lama untuk suatu penerbangan internasional yang pernah saya alami. Kami mendarat sekitar pukul 23.17, dan berkumpul di pintu masuk agar bisa masuk bersamaan untuk kemudian langsung menuju imigrasi. Tiba di imigrasi, antrian untuk foreign passport cukup panjang. Untuk mengisi waktu, saya mencoba mengambil beberapa foto sebagai kenang-kenangan di Don Mueang Airport, Bangkok.

Tetapi, sama seperti di konter imigrasi di berbagai negara, mereka juga tidak memperbolehkan kamera yang ditunjukkan sign yang mereka tempatkan di sisi-sisi atas jalur menuju imigrasi. Saya sudah melihat tanda itu, tapi saya juga melihat beberapa orang tetap mengambil foto dan tidak ada masalah. Kemudian saya berpikir mungkin kamera yang tidak boleh itu adalah yang mempunyai blitz. Saya telah mengambil tiga atau empat foto ketika seorang perempuan berseragam berteriak keras dengan bahasa Inggris logat Thailand yang kental sambil menyuruh saya menghapus foto-foto tersebut. Sedikit syok, saya menuruti permintaan wanita tersebut untuk menghapus foto-foto yang telah saya ambil, tidak cukup sampai disitu dia ambil smartphone saya kemudian membuka recycle bin dan kembali dengan keras berteriak menyuruh saya menghapus tuntas itu semua sambil mengancam akan mendeportasi saya kembali ke Indonesia.

Hal seperti ini pernah juga saya lihat dialami oleh seorang teman di tahun 2016 ketika kami berangkat ke Leiden Belanda yang merekam aktivitas orang-orang di imigrasi Indonesia. Tetapi perbedaannya, saat itu petugas imigrasinya tidak teriak-teriak, hanya memerintah saja untuk menghapus foto-foto tersebut.

Gambar 3. Suasana di depan imigrasi

 

Dari sana, kami sudah ditunggu oleh tim penjemput dan kemudian bersama-sama menuju hotel yang sudah disewa sebelumnya selama 10 malam. Kami tiba di hotel sekitar pukul pukul 01.00 dini hari dan segera melakukan check-in. Uniknya, hotel tempat kami tinggal ini ketika melewati jam 12 malam akses lewat pintu ditutup dan kami harus masuk lewat samping. Grand Royal Holiday Inn itulah nama hotel tempat kami menginap selama di Bangkok. Hotel ini mempunyai lobby hotel yang sangat luas, tetapi digunakan untuk membuka lapak beberapa toko, seperti toko bunga, souvenir, dua restoran, massage, dsb. Hal ini menyebabkan udara di sekitar lobby terasa pengap dan terasa tidak enak.

 

Dari sisi ekonomi, model one for all business seperti ini menguntungkan dari sisi fix cost seperti air, listrik, tenaga kerja, dan biaya overhead. Tetapi dari sisi kualitas bisnis, hal ini dapat dianggap tidak baik karena menunjukkan ketidakseriusan menggarap satu bisnis tertentu. Dengan pola seperti ini, orang-orang yang mencari kenyamanan tinggi mungkin tidak akan memilih hotel ini. Untuk saya sendiri, hal seperti ini tidak terlalu bermasalah. Toh saya juga tidak memanfaatkan lobby bawah untuk makan atau sekedar melepaskan kepenatan karena persoalan selera dan kehalalan makanannya

Exit mobile version