Oleh Zulkifli Abdy
ANIES Rasyid Baswedan agaknya telah menjadi sosok yang kerap disorot oleh media dan pengamat politik akhir-akhir ini.
Apalagi sejak yang bersangkutan dideklarasikan oleh partai Nasden sebagai bakal calon presiden beberapa waktu yang lalu.
Tak dapat dimungkiri, sejak saat itu segala sesuatu tentang sosok Anies akhir-akhir ini selalu menjadi topik perbincangan hangat di berbagai kalangan, termasuk kalangan pelaku politik itu sendiri.
Pengamat pun mengulasnya dari berbagai sudut pandang dan menyebar, baik melalui media cetak maupun media sosial.
Yang menarik, suka atau tidak suka kehadiran Anies di panggung politik nasional telah memberi warna tersendiri. Bahkan telah memantik berbagai analisis dan spekulasi di kalangan pengamat dan praktisi politik, yang kemudian menghadirkan berbagai predikasi tentang apa yang bakal terjadi pada Pemilu 2024 nanti.
Dalam perspektif demokrasi dan dinamika politik, sesungguhnya hal tersebut suatu gejala yang wajar-wajar saja. Justru kita berharap fenomena ini akan dapat menghidupkan iklim demokrasi di negeri ini.
Kehadiran seorang Anies Baswedan juga telah menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan masyarakat, terutama dari kelompok-kelompok pendukung bakal calon presiden yang diperkirakan akan bersaing pada Pemilu 2024.
Yang membuat penulis sangat prihatin, kondisi ini telah memunculkan sikap saling menghujat dan menjelek-jelekkan di antara para pendukung bakal calon dan gejala ini dikhawatirkan akan berdampak pada cederanya proses demokrasi yang sedang berlangsung.
Tentu kita semua tidak menginginkan itu, bahkan berharap proses politik ini berjalan dengan baik dengan senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Sehingga kemudian akan menghadirkan pemimpin bangsa yang benar-benar diinginkan dan dipilih langsung oleh rakyat.
Semakin banyak orang yang saling menghujat atau menjelek-jelekkan, bahkan menebar fitnah terhadap diri bakal calon, tentu merupakan gejala yang tidak baik.
Sebutlah berbagai upaya untuk menyudutkan Anies Baswedan misalnya, sebagai salah seorang bakal calon, juga terhadap bakal calon presiden lainnya yang akan bersaing pada ajang kontestasi politik pada Pemilu mendatang.
Boleh jadi sikap saling serang tersebut dalam logika terbalik akan mengundang rasa empati masyarakat, yang justru akan menjadi pemicu menaiknya elektabilitas bakal calon tersebut di ruang publik.
Namun kondisi semacam ini agaknya kurang elok juga, kalau kita benar-benar hendak merawat dan memelihara iklim demokrasi kita agar senantiasa berada pada jalur yang benar.
Demokrasi itu ibarat pompa, semakin besar menerima tekanan, semakin besar pula reaksi yang bakal timbul untuk keluar dari tekanan itu. Orang yang sadar akan dampak buruknya, tentu tidak akan melakukan politik “pembunuhan karakter” terhadap bakal calon yang berseberangan, karena umpan baliknya terhadap calon yang diserang secara elektoral akan dahsyat sekali.
Apalagi kalau itu ditujukan pada seorang Anies Baswedan, tokoh yang memiliki latar belakang pendidikan yang tidak diragukan lagi, dan rekam-jejak kiprahnya di berbagai bidang termasuk riwayat hidupnya sejak masa kecil juga sudah sangat diketahui oleh khalayak ramai.
Menurut hemat penulis, bagi yang tidak menyukai Anies misalnya, akan lebih baik mengekspresikannya secara elegan dengan menunjukkan kelebihan-kelebihan dari bakal calon yang akan mereka usung dan dukung.
Kendati atas nama politik, dalam upaya untuk mempengaruhi opini publik, itu dilakukan dengan sedikit rekayasa, juga tidak mengapa. Lalu kemudian bakal calon tersebut disosialisasikan secara proporsional sedemikian rupa kepada masyarakat.
Hal demikian mungkin lebih baik daripada menghabiskan energi sia-sia, apalagi itu dilakukan dengan menghujat atau menjelek-jelekkan bakal calon lawan. Ini tidak hanya berlaku bagi pendukung bakal calon Anies Baswedan saja, tetapi juga berlaku bagi pendukung bakal calon presiden yang lain.
Sesuai dengan kodratnya, sebagaimana kita semua tahu bahwa tidak ada manusia yang sempurna, dan setiap orang pasti memiliki sisi baik dan sisi buruk.
Dalam kondisi seperti itu, mengapa kemudian kita tidak mencoba melihat melalui “jendela hati” kita sisi-sisi baik dari para bakal calon pemimpin itu. Siapapun calon tersebut, dan dari golongan manapun yang bersangkutan berasal, tanpa disertai sedikitpun rasa kebencian. Bukankah kelak salah seorang diantara mereka akan memimpin bangsa ini ke depan dengan berbagai tantangan yang tidak ringan.
Kalau kita semua menginginkan bangsa ini maju di atas bangunan demokrasi yang “sehat”, tentu dampak dari keterbelahan politik pasca Pemilu sedapatnya kita minimalisir lebih dini. Akan lebih baik lagi kalau seandainya kita dapat menghilangkan sama sekali dampak buruk yang mengancam keutuhan kehidupan berbangsa kita.
Bukankah masyarakat sudah sangat cerdas dalam menilai calon pemimpinnya, dan tentu akan berikhtiar untuk mendapatkan informasi pembanding yang akurat tentang bakal calon yang akan mereka pilih pada saat Pemilu nanti.
Dalam pengamatan penulis, sejauh ini Anies Baswedan sendiri tidak pernah tergoda untuk membalas berbagai cercaan dari lawan politiknya. Bahkan selalu mengalihkannya dengan mengajak para pihak unjuk gagasan dan program dalam kerangka membangun Indonesia yang lebih baik.Hal mana justru semakin memantik rasa simpati masyarakat terhadap dirinya.
Sebagai seorang yang cerdas dan bijak, Anies terkesan sangat paham bahwa politik itu akan terus bergerak dinamis “di ruang senyap”, dimana orang hanya dapat menduga-duga, tetapi tidak akan pernah dapat melihat apa sesungguhnya yang terjadi.
Kendati politik itu suatu seni yang sarat dengan strategi bahkan rekayasa, tetapi di balik semua itu ada etika dan nilai-nilai moral yang menyertainya.
Ketika etika dan nilai-nilai moral tersebut dijadikan rujukan oleh para pelaku politik, tentu kontestasi politik akan menjadi suguhan pesta demokrasi yang menarik untuk ditonton, dan mencerahkan kehidupan berbangsa kita.
Pertanyaannya kini, apakah kita akan mewariskan kondisi bangsa yang “terbelah” pasca Pemilu kepada generasi penerus bangsa, hanya semata-mata akibat ambisi dan kepentingan politik jangka pendek dari para pihak atau sebaliknya, kita akan melanggengkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa untuk Indonesia yang lebih maju di masa mendatang. Kita berharap dan berdoa Pemilu 2024 akan menjawab semua itu.
Akhir kata, teriring doa penulis, semoga Pemilu 2024 akan menjadi pesta demokrasi yang berlangsung jujur, adil, aman dan lancar. Serta menjadi Pemilu yang akan dikenang rakyat Indonesia sepanjang masa.
Semoga Tuhan memberkahi kita semua.
Aamiin.
Zulkifli Abdy
(Pemerhati Sosial, berdomisili di Banda Aceh).