Oleh: T. Abdullah alias T.A. Sakti
Asia Tenggara adalah sebutan untuk wilayah daratan Asia bagian timur yang terdiri dari jazirah Indo-Cina, dan memiliki kepulauan yang banyak serta termasuk dalamnya negara Indonesia dan Filipina. Melihat sejarah masa lalu, terlihat bahwa Islam bukanlah agama pertama yang tumbuh pesat di Asia Tenggara, akan tetapi Islam masuk ke lapisan masyarakat yang waktu itu telah memiliki peradaban, budaya, dan agama.
Taufiq Abdullah menulis dalam bukunya Renaisans Islam di Asia Tenggara, bahwa kawasan Asia Tenggara terbagi menjadi 3 bagian berdasarkan atas pengaruh yang diterima wilayah tersebut.
Pertama, adalah wilayah Indianized Southeast Asia, wilayah Asia Tenggara yang dipengaruhi India yang dalam hal ini ajaran Hindu dan Budha. Kedua,Sinized South East Asia, wilayah yang mendapatkan pengaruh China, adalah Vietnam. Ketiga, yaitu wilayah Asia Tenggara yang di Spanyolkan, atau Hispainized South East Asia, yaitu Filipina.
Ketiga pembagian tersebut seolah meniadakan pengaruh Islam yang begitu besar di Asia Tenggara, khususnya Filipina.Seperti tertulis bahwa Filipina termasuk negara yang terpengaruhi oleh Spanyol. Hal itu benar adanya, akan tetapi pranata kehidupan di Filipina juga terpengaruhi oleh Islam pada masa penjajahan Amerika dan Spanyol.
- Dalam tulisan ini, penulis mencoba membahas beberapa hal penting tentang Islam di Filipina. Antara lain: Sejarah masuknya Islam di Filipina, faktor-faktor Islam menjadi agama minoritas di Filipina, fase-fase perlawanan umat Islam di Filipina.
Sejarah Masuknya Islam ke Filipina
Negara Filipina merupakan sebuah wilayah yang terdiri dari beberapa pulau besar-kecil; yang paling besar adalah Pulau Luzon dan Mindanao, yang merupakan duapertiga seluruh Filipina. Pulau lainnya yaitu Mindoro, Panay, Negros, Cebu, Bohol, Leyte, Samar, dan Masbate, serta Pulau Palawan. Orang Islam merupakan komunitas agama kedua terbesar di Filipina, sebuah negara dengan dominasi Katolik.
Sedikitnya terdapat 3 juta orang Islam di Filipina pada tahun 1975, atau 7 % dari seluruh penduduk negara tersebut yang berjumlah 42.070.600, dan pada tahun 2002 jumlah penduduk Filipina sebanyak 82.841.518.
Sejarah masuknya Islam di Filipina tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosio kultural wilayah tersebut sebelum kedatangan Islam.Filipina adalah sebuah negara kepulauan yang terdiri dari 7.107 pulau dengan berbagai suku dan komunitas etnis.
Sebelum kedatangan Islam, Filipina adalah sebuah wilayah yang dikuasai oleh kerajaan-kerajaan kecil. Islam dapat masuk dan diterima dengan baik oleh penduduk setempat setidaknya karena ajaran Islam dapat mengakomodir berbagai tradisi yang telah mendarah daging di hati mereka.
Para ahli sejarah menemukan bukti abad ke-16 dan abad ke-17 dari sumber-sumber Spanyol tentang keyakinan agama penduduk Asia Tenggara termasuk Luzon, yang merupakan bagian dari negara Filipina saat ini, sebelum datangnya Islam.
Sumber-sumber tersebut memberikan penjelasan bahwa sistem keyakinan agama yang sangat dominan ketika Islam datang pada abad ke-14 sarat dengan berbagai upacara pemujaan untuk orang yang sudah meninggal.Hal ini jelas sekali tidak sejalan dengan ajaran Islam yang menentang keras penyembahan berhala dan politeisme.
Namun tampaknya Islam dapat memperlihatkan kepada mereka bahwa agama ini memiliki cara tersendiri yang menjamin arwah orang yang meninggal dunia berada dalam keadaan tenang, yang ternyata dapat mereka terima.
Di sisi lain, tidak dapat diragukan lagi bahwa skala perdagangan Asia Tenggara mulai melesat sangat pesat pada penghujung abad ke-14. Hasil dari perdagangan ini, kota-kota berkembang dengan kecepatan sangat mencengangkan termasuk sepanjang wilayah pesisir kepulauan Filipina.
Para pedagang dari berbagai negeri bertemu dan menimbulkan adanya pertukaran baik di bidang ilmu pengetahuan maupun agama.Di antara semua agama besar di dunia, Islam barangkali yang paling serasi dengan dunia perdagangan. Al-Qur’an maupun al-Hadits sebagai sumber tertinggi dalam agama Islam banyak memuji kepada pedagang yang dapat dipercaya.
Hal ini mengakibatkan orang yang cenderung bergerak dalam dunia perniagaan pasti terpikat dengan ajaran Islam. Dari sini, Islam terus memperluas pengaruhnya secara kultural yaitu dengan melalui perkawinan antar etnis hingga akhirnya melalui sistem politik.
Jalur yang terakhir ini (politik) terjadi ketika Islam telah dipeluk oleh para penguasa khususnya para raja. Menurut para ahli sejarah, pada penghujung akhir abad ke-14 seorang raja terkenal dari Manguindanao memeluk Islam.
Begitu juga, pengaruh Arab dalam penyebaran Islam di Filipina bermula dari Sulu yang dibawa oleh seorang Syekh yang kemudian menikah dengan putri Raja Sulu pada awal abad ke-8 H/14 M. setelah itu dikutip pula seorang bangsa Arab keturunan Syekh bernama Makhdum Karim atau Tuan Syarif ‘awliya’.
Beliau tiba di Sulu pada pertengahan abad ke-14.Setelah itu datang seorang pendakwah atau da’i Arab yang bernama Syekh Abu Bakar atau Syarif al-Hasyim yang berasal dari Mekkah.Kemudian beliau dilantik menjadi sultan di Sulu dan memerintah selama 30 tahun pada tahun 1450-1480.Kesultanan di Sulu kemudian diwarisi oleh 32 sultan dan yang terakhir adalah Sultan Jumal al-Karim II (1884-1936).
Dari Sulu inilah kemudian Islam tersebar ke Mindanau pada abad ke-10 H yang dibawa oleh ‘Ali Zainal Abidin yang bergelar “Kabungsuwan” yang merupakan keturunan Sayed ‘awlawiyyah yang memiliki hubungan keluarga dengan kerabat raja di Johor. Kedudukan dan pengaruh Kabungsuwan semakin hari semakin kuat sehingga beliau berjaya mengislamkan hampir semua penduduk Mindanau dan seterusnya mengasaskan sebuah Kerajaan Islam yang berdaulat di sana.
Kerajaan Islam di Mindanau ini telah diwarisi oleh kaum keluarga Kabungsuwan yang kemudian telah meluaskan kerajaan taklukan mereka ke beberapa buah kerajaan Islam yang lain, seperti Kerajaan Mindanau, Kerajaan Buayan, dan Kerajaan Butig.
Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis.Raja Manguindanao kemudian menjadi seorang Datuk yang berkuasa di propinsi Davao di bagian tenggara pulau Mindanao.
Setelah itu, Islam disebarkan ke pulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta daerah pantai lainnya.Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya berada dibawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam yang bergelar Datuk atau Raja.
Proses Islamisasi di Filipina
Filipina adalah negara kepulauan dengan 7.107 buah pulau.Penduduknya yang berjumlah 47 juta jiwa, menggunakan 87 dialek bahasa yang berbeda-beda dan mencerminkan banyaknya suku serta komunitas etnis.
Islam telah mempunyai sejarah yang panjang di Filipina,sejak zaman pra-kolonial, masyarakat muslim dibagian selatan tercatat sebagai masyarakat yang mampu mempertahankan diri dari penetrasi Spanyol selama 300 tahun.
Proses islamisasi di Filipina pada masa awal adalah melalui tiga cara, yaitu perdagangan, perkawinan dan politik. Islam diterima oleh orang-orang Mindanao, Sulu, dan Manila serta sepanjang pesisir pantai kepulauan Filipina dan seterusnya dapat mengakomodasi dengan tradisi tempatan.
Proses Kristenisasi oleh Sepanyol menjadi titik tolak kepada perjuangan bagi menegakkan syiar Islam di bumi Filipina. Umat Islam Filipina yang kemudian dikenal dengan bangsa Moro, pada akhirnya menghadapi berbagai hambatan baik pada masa kolonial maupun pasca kemerdekaan.
Bila diteliti ke belakang, perjuangan bangsa Moro dapat dibahagi menjaditiga fase: Pertama, Moro berjuang melawan penguasa Sepanyol selama lebih dari 375 tahun (1521-1898).
Kedua, Moro berusaha bebas dari kolonialisme Amerika selama 47 tahun (1898-1946).
Ketiga, Moro melawan pemerintah Filipina (1970-sekarang). Lima abad melawan penjajahan Sepanyol, Amerika, penaklukan Jepang dan Filipina ditempuh bangsa Moro melalui peperangan bagi meraih kemerdekaan.
Namun, pembahagian pola pemilikan tanah yang tidak adil dan kebanjiran pendatang luar ke wilayah ini menimbulkan kemarahan bangsa Moro yang miskin dan tersisih selama ratusan tahun.
Akibat dari penindasan, mereka bertekad keluar dari kepompong jajahan melalui peperangan.Namun kini, dunia sering menyalahtafsirkan perjuangan mereka,kecaman demi kecaman mereka hadapi sehingga ada yang menganggap bangsa Moro adalah teroris.
Hal ini menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Filipina dengan jalan yang berliku menghadapi rintangan serta hambatan dari dalam maupun luar negeri.Pada awal tahun 1970-an, Islam diFilipina merupakan komunitas minoritas yang tinggal di beberapa daerah dan pulau khusus. Dengan suatu pihak bagi kaum minoritas Islam berhadapan dengan kepentingan pemerintah, hinggatimbullah konflik yang berkepanjangan antara pemerintah dan komunitas muslim.
Perjuangan orang Islam di Filipina Selatan dapat dianggap sebagai bahagian dari warisan seluruh penduduk Filipina dalam sejarah perjuangan mereka untuk mendapatkan kebebasan.
, dan hubungan-hubungan hukum sipil.
Holbrook dalam catatan lebih lanjut menyatakan bahwa, Muslim awal dilaksanakan “pluralisme hukum untuk menjalin hubungan dengan orang-orang dari keyakinan yang berbeda…”, menunjukkan bahwa mereka tinggal Bangsa Filipina menganut teori yang memisahkan kekuasaan pengadilan dari segala bentuk kekuasaan konstitusional seperti tradisi Amerika.
Konsep pemikiran Komite UU Kepresidenan dipengaruhi oleh teori konstitusi klasik ini. Dalam mengkaji “Ajuan UU tentang Administrasi UU Islam 1974” yang dipersiapkan oleh Staf Riset dan juga dalam rancangan tentang “Kitab UU Perseorangan Muslim Filipina”, kerja Komite diarahkan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
a. Mengenai sistem hukum Islam, yang dipertimbangkan merupakan sebuah sistem yang lengkap yang terdiri dari hukum perdata, pidana, perdagangan, politik, internasional, serta agama, hanya yang secara benar-benar bersifat pribadilah yang dikodifikasi.
b. Hukum perorangan memasukkan tindakan serta praktik yang diwajibkan oleh hukum Islam. Sementara itu, sesuatu yang dilarang serta membutuhkan hukuman tak bersyarat tetap berstatus larangan.
c. Jika aturan hukum mengenai suatu masalah dirasa terlalu rumit, maka hanya prinsip umumnya yang dicantumkan. Adapun rincian dari aturan tersebut diserahkan kepada hakim untuk menjabarkan secara tepat.
d. Tidak ada aturan dalam bentuk apa pun untuk dimasukkan ke dalam UU jika hal itu bertentangan dengan Konstitusi Filipina.
e. Tidak ada aturan yang harus dimasukkan, kecuali hal itu didasarkan pada prinsip hukum Islam yang telah dikemukakan oleh empat mazhab fiqih.
f. Bangsa Moro menetap di tanah muslim yang penduduknya mengikuti mazhab Syafi’i, Selama periode pra-Islam tidak memiliki hukum tertulis dan dipimpin oleh Datus (kepala suku) dengan hak atas tanah leluhur.
Menjelang akhir abad ke-13, pulau Sulu pemukim Muslim dari Arab, Kalimantan, Sumatera, dan Malaya yang bekerja sebagai pedagang dan misionaris, beberapa di antaranya perempuan lokal menikah, berbagi keyakinan agama mereka, dan menjalin aliansi politik.
Islam kemudian disebarkan di Filipina selatan.pra-kolonial melalui sarana ekonomi dan relasional sebagai pengganti penaklukan, yang mengakibatkan integrasi hukum adat baru dan yang sudah ada. Ketika Datu masuk Islam, kesultanan didirikan di Magindanao dan Sulu.
Ini, menurut Justin Holbrook (2009): “berfungsi seperti” –negara mini “, dengan pemerintah memiliki kekuatan baik dan peradilan administrasi Agama pengadilan Moro diterapkan hukum adat, atau adat, serta hukum syariah ” ini didefinisikan sifat komprehensif dari sistem hukum Islam (juga disebut sebagai agama sara-sistem) yang mencakup, sosio-politik ko-eksistensi damai dengan dan tidak memaksakan iman mereka terhadap non-Muslim.
Pada masa itu, sudah dikenal sistem pemerintahan dan peraturan hukum yaitu Manguindanao Code of Law atau Luwaran yang didasarkan atas Minhaj dan Fathu-i-Qareeb, Taqreebu-i-Intifa dan Mir-atu-Thullab( kitab asal Aceh –TA)
Manguindanao kemudian menjadikan seorang Datuk yang berkuasa di propinsi Davao di bagian tenggara pulau Mindanao.Setelah itu, Islam disebarkan ke pulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta daerah pantai lainnya.
Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya berada dibawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam yang bergelar Datuk atau Raja.Istilah luwaran, yang dipakai oleh orang Moro Mindanao dalam kitab hukum, berarti “pilihan” atau “terpilih”.Undang-undang yang terkandung didalam kitab Luwaran merupakan pilihan dari hukum Arab lama yang kemudian diterjemaahkan dan dikompilasikan untuk digunakan sebagai pegangan serta informasi bagi para datu, hakim di Mindanao yang tidak mengerti bahasa Arab.
Kitab luwaran dari Mindanao tidak ada tanggalnya samasekali, tak ada seorangpun yang mengetahui kapan kitab ini dibuat. Sebagian orang berpendapat bahwa kitab Mindanao ini disusun beberapa waktu yang lalu oleh para hakim Mindanaao. Kitab utama yang dirujuk oleh kitab luwaran adalah Minhaj Al Thalibin karya Zakaria Yahya bin Syaraf al-Nawawi (Madzhab Syafi’i).
Fase- Fase Perjuangan Umat Islam di Filipina
a. Masa Kolonial Spanyol
Sejak masuknya orang-orang Spanyol ke Filipina, pada 16 Maret 1521 M, penduduk pribumi telah mencium adanya maksud lain dibalik “ekspedisi ilmiah” Ferdinand de Magellans.
Ketika kolonial Spanyol menaklukan wilayah utara dengan mudah dan tanpa perlawanan berarti, tidak demikian halnya dengan wilayah selatan. Mereka justru menemukan penduduk wilayah selatan melakukan perlawanan sangat gigih, berani dan pantang menyerah.
Tentara kolonial Spanyol harus bertempur mati-matian kilometer demi kilometer untuk mencapai Mindanao-Sulu (kesultanan Sulu takluk pada tahun 1876 M). Menghabiskan lebih dari 375 tahun masa kolonialisme dengan perang berkelanjutan melawan kaum Muslimin.
Walaupun demikian, kaum Muslimin tidak pernah dapat ditundukan secara total. Selama masa kolonial, Spanyol menerapkan politik devide and rule (pecah belah dan kuasai) serta mision-sacre (misi suci Kristenisasi) terhadap orang-orang Islam.
Bahkan orang-orang Islam di-stigmatisasi (julukan terhadap hal-hal yang buruk) sebagai “Moor” (Moro). Artinya orang yang buta huruf, jahat, tidak bertuhan dan huramentados (tukang bunuh). Sejak saat itu julukan Moro melekat pada orang-orang Islam yang mendiami kawasan Filipina Selatan tersebut.
Tahun 1578 M terjadi perang besar yang melibatkan orang Filipina sendiri. Penduduk pribumi wilayah Utara yang telah dikristenkan dilibatkan dalam ketentaraan kolonial Spanyol, kemudian diadu domba dan disuruh berperang melawan orang-orang Islam di selatan.
Sehingga terjadilah peperangan antar orang Filipina sendiri dengan mengatasnamakan “misi suci”. Dari sinilah kemudian timbul kebencian dan rasa curiga orang-orang Kristen Filipina terhadap bangsa Moro yang Islam hingga sekarang. Sejarah mencatat, orang Islam pertama yang masuk Kristen akibat politik yang dijalankan kolonial Spanyol ini adalah istri Datu dari pulau Cebu.
b. Masa Imperialisme Amerika Serikat
Sekalipun Spanyol gagal menundukkan Mindanao dan Sulu, Spanyol tetap menganggap kedua wilayah itu merupakan bagian dari teritorialnya. Secara tidak sah dan tak bermoral, Spanyol kemudian menjual Filipina kepada Amerika Serikat seharga US$ 20 juta pada tahun 1898 M melalui Traktat Paris.
Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri sebagai seorang sahabat yang baik dan dapat dipercaya, dan inilah karakter musuh-musuh Islam sebenarnya pada abad ini.
Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya Traktat Bates (20 Agustus 1898 M) yang menjanjikan kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, kebebasan mendapatkan pendidikan bagi bangsa Moro.
Namun traktat tersebut hanya taktik mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak, karena pada saat yang sama Amerika tengah disibukkan dengan pemberontakan kaum revolusioner Filipina Utara pimpinan Emilio Aguinaldo.
Terbukti setelah kaum revolusioner kalah pada 1902 M, kebijakan AS di Mindanao dan Sulu bergeser kepada sikap campur tangan langsung dan penjajahan terbuka. Setahun kemudian (1903 M) Mindanao dan Sulu disatukan menjadi wilayah propinsi Moroland dengan alasan untuk memberadabkan (civilizing) rakyat Mindanao dan Sulu.
Periode berikutnya tercatat pertempuran antara kedua belah pihak. Teofisto Guingona, Sr. mencatat antara tahun 1914-1920 rata-rata terjadi 19 kali pertempuran. Tahun 1921-1923, terjadi 21 kali pertempuran. Patut dicatat bahwa selama periode 1898-1902, AS ternyata telah menggunakan waktu tersebut untuk membebaskan tanah serta hutan di wilayah Moro untuk keperluan ekspansi para kapitalis.
Bahkan periode 1903-1913 dihabiskan AS untuk memerangi berbagai kelompok perlawanan bangsa Moro. Namun Amerika memandang peperangan tak cukup efektif meredam perlawanan bangsa Moro, Amerika akhirnya menerapkan strategi penjajahan melalui kebijakan pendidikan dan bujukan.
Kebijakan ini kemudian disempurnakan oleh orang-orang Amerika sebagai ciri khas penjajahan mereka. Kebijakan pendidikan dan bujukan yang diterapkan Amerika terbukti merupakan strategi yang sangat efektif dalam meredam perlawanan bangsa Moro.
Sebagai hasilnya, kohesitas politik dan kesatuan diantara masyarakat Muslim mulai berantakan dan basis budaya mulai diserang oleh norma-norma Barat. Pada dasarnya kebijakan ini lebih disebabkan keinginan Amerika memasukkan kaum Muslimin ke dalam arus utama masyarakat Filipina di Utara dan mengasimilasi kaum Muslim ke dalam tradisi dan kebiasaan orang-orang Kristen.
Seiring dengan berkurangnya kekuasaan politik para Sultan dan berpindahnya kekuasaan secara bertahap ke Manila, pendekatan ini sedikit demi sedikit mengancam tradisi kemandirian.
c. Masa Pasca Kemerdekaan hingga Sekarang
Kemerdekaan yang didapatkan Filipina (1946 M) dari Amerika Serikat ternyata tidak memiliki arti khusus bagi bangsa Moro. Hengkangnya penjajah pertama (Amerika Serikat) dari Filipina ternyata memunculkan penjajah lainnya (pemerintah Filipina).
Namun patut dicatat, pada masa ini perjuangan bangsa Moro memasuki babak baru dengan dibentuknya front perlawanan yang lebih terorganisir dan maju, seperti MIM, Anshar-el-Islam, MNLF (Moro National Liberation Front), MILF (Moro Islamic Liberation Front), MNLF-Reformis, BMIF.
Namun pada saat yang sama juga sebagai masa terpecahnya kekuatan bangsa Moro menjadi faksi-faksi yang melemahkan perjuangan mereka secara keseluruhan.
d. Pada awal kemerdekaan, pemerintah Filipina disibukkan dengan pemberontakan kaum komunis Hukbalahab dan Hukbong Bayan Laban Sa Hapon. Sehingga tekanan terhadap perlawanan bangsa Moro dikurangi.
e. Gerombolan komunis Hukbalahab ini awalnya merupakan gerakan rakyat anti penjajahan Jepang. Setelah Jepang menyerah, mereka mengarahkan perlawanannya ke pemerintah Filipina.
f. Pemberontakan ini baru bisa diatasi di masa Ramon Magsaysay, Menteri Pertahanan pada masa pemerintahan Eipidio Qurino (1948-1953). Tekanan semakin terasa hebat dan berat ketika Ferdinand Marcos berkuasa (1965-1986). Dibandingkan dengan masa pemerintahan semua presiden Filipina.
Masa Peralihan
Masa pra-kemerdekaan ditandai dengan masa peralihan kekuasaan dari penjajah Amerika ke pemerintah Kristen Filipina di Utara. Untuk menggabungkan ekonomi Moroland ke dalam sistem kapitalis, diberlakukanlah hukum-hukum tanah warisan jajahan AS yang sangat kapitalistis seperti Land Registration Act No. 496 (November 1902) yang menyatakan keharusan pendaftaran tanah dalam bentuk tertulis, ditandatangani dan di bawah sumpah.
Kemudian Philippine Commission Act No. 718 (4 April 1903) yang menyatakan hibah tanah dari para Sultan, Datu, atau kepala Suku Non-Kristen sebagai tidak sah, jika dilakukan tanpa ada wewenang atau izin dari pemerintah.
Demikian juga Public Land Act No. 296 (7 Oktober 1903) yang menyatakan semua tanah yang tidak didaftarkan sesuai dengan Land Registration Act No. 496 sebagai tanah negara, The Mining Law of 1905 yang menyatakan semua tanah negara di Filipina sebagai tanah yang bebas, terbuka untuk eksplorasi, pemilikan dan pembelian oleh WN Filipina dan AS, serta Cadastral Act of 1907 yang membolehkan penduduk setempat (Filipina) yang berpendidikan, dan para spekulan tanah Amerika, yang lebih paham dengan urusan birokrasi, untuk melegalisasi klaim-klaim atas tanah.
Pada intinya ketentuan tentang hukum tanah ini merupakan legalisasi penyitaan tanah-tanah kaum Muslimin (tanah adat dan ulayat) oleh pemerintah kolonial AS dan pemerintah Filipina di Utara yang menguntungkan para kapitalis.
Pemberlakukan Quino-Recto Colonialization Act No. 4197 pada 12 Februari 1935 menandai upaya pemerintah Filipina yang lebih agresif untuk membuka tanah dan menjajah Mindanao. Pemerintah mula-mula berkonsentrasi pada pembangunan jalan dan survei-survei tanah negara, sebelum membangun koloni-koloni pertanian yang baru. NLSA – National Land Settlement Administration – didirikan berdasarkan Act No. 441 pada 1939. Di bawah NLSA, tiga pemukiman besar yang menampung ribuan pemukim dari Utara dibangun di propinsi Cotabato Lama.
Bahkan seorang senator Manuel L. Quezon pada 1936-1944 gigih mengkampanyekan program pemukiman besar-besaran orang-orang Utara dengan tujuan untuk menghancurkan keragaman (homogenity) dan keunggulan jumlah bangsa Moro di Mindanao serta berusaha mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat Filipina secara umum.
Kepemilikan tanah yang begitu mudah dan mendapat legalisasi dari pemerintah tersebut mendorong migrasi dan pemukiman besar-besaran orang-orang Utara ke Mindanao.
Banyak pemukim yang datang, seperti di Kidapawan, Manguindanao, mengakui bahwa motif utama kedatangan mereka ke Mindanao adalah untuk mendapatkan tanah. Untuk menarik banyak pemukim dari utara ke Mindanao, pemerintah membangun koloni-koloni yang disubsidi lengkap dengan seluruh alat bantu yang diperlukan.
Konsep penjajahan melalui koloni ini diteruskan oleh pemerintah Filipina begitu AS keluar dari negeri tersebut. Sehingga perlahan tapi pasti orang-orang Moro menjadi minoritas di tanah mereka.
Fidel Ramos, maka masa pemerintahan Ferdinand Marcos merupakan masa pemerintahan paling represif bagi bangsa Moro. Pembentukan Muslim Independent Movement (MIM) pada 1968 dan Moro Liberation Front (MLF) pada 1971 tidak bisa dilepaskan dari sikap politik Marcos yang lebih dikenal dengan Presidential Proclamation No. 1081 itu.
Perkembangan berikutnya kita semua tahu. MLF sebagai induk perjuangan bangsa Moro akhirnya terpecah. Pertama, Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nur Misuari yang berideologikan nasionalis-sekuler.
Kedua, Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Salamat Hashim, seorang ulama pejuang, yang murni berideologikan Islam dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Filipina Selatan. Namun dalam perjalanannya, ternyata MNLF pimpinan Nur Misuari mengalami perpecahan kembali menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993).
Tentu saja perpecahan ini memperlemah perjuangan bangsa Moro secara keseluruhan dan memperkuat posisi pemerintah Filipina dalam menghadapi bangsa Moro.
Ditandatanganinya perjanjian perdamaian antara Nur Misuari (ketua MNLF) dengan Fidel Ramos (Presiden Filipina) pada 30 Agustus 1996 di Istana Merdeka Jakarta lebih menunjukkan ketidaksepakatan bangsa Moro dalam menyelesaikan konflik yang telah memasuki 2 dasawarsa itu.
Disatu pihak mereka menghendaki diselesaikannya konflik dengan cara diplomatik (diwakili oleh MNLF), sementara pihak lainnya menghendaki perjuangan bersenjata/jihad (diwakili oleh MILF). Semua pihak memandang caranyalah yang paling tepat dan efektif.
Namun agaknya Ramos telah memilih salah satu diantara mereka walaupun dengan penuh resiko. “Semua orang harus memilih, tidak mungkin memuaskan semua pihak,” katanya. Dan jadilah bangsa Moro seperti saat ini, minoritas di negeri sendiri.
Penyelesaian dan masa Depan Umat Islam Filipina
Tidak dapat disanggah bahwa selama ini, setiap orang membicarakan Islam di Filipina, yang terbayang adalah perjuangan bersenjata, separatisme Islam Moro untuk berusaha lepas dari cengkraman Filipina yang dianggap menekan umat Islam, dengan semua polemik argumentasi masing-masing.
Tapi sebenarnya kajian tentang Islam di Filipina juga mengandung banyak ragam dan nuansa, seperti munculnya “kebangkitan” Islam yang cukup dinamis, namun yang berada dalam kerangka Filipina, pembangunan Muslim Filipina dalam suasana harmoni,sinergis dan mulai belajar saling percaya.
Bahwa menumbuhkan suasana harmoni itu memang sulit dan tidak mudah, tapi tetap mungkin dilakukan kalau diperjuangkan secara sungguh-sungguh dan terus menerus.
Seorang ilmuan Muslim Filipina, Asiri Abu Bakar menguraikan beberapa faktor yang turut menyumbang bagi kebangkitan Islam Filipina di masa depan: (a). Bertambahnya hubungan dengan ulama dan para pendatang Muslim yang terpelajar dari dunia Arab dan sekitar Filipina, (b). Bertambahnya jumlah warga Moro yang pergi naik haji, (c). Bertambahnya kesempatan melakukan studi di berbagai pusat studi Islam di seluruh dunia,
(d). Partisipasi aktif dalam berbagai pertemuan regional dan internasional, (e). Kembalinya ratusan pelajar Muslim Filipina dari luar negeri, (f). Semakin banyaknya didirikan madaris (madrasah, sekolah agama) di daerah-daerah yang selama ini terisolir, dan (g). Berbagai konferensi pers internasional dan peliputan perang yang sedang berlangsung di Mindanao serta kekejaman yang dilakukan oleh beberapa personil militer di wilayah tersebut.
Umat Islam Filipina mempunyai satu tujuan bersama, yaitu “pemberdayaan (enpowering)” umat Islam dan institusi Islam, namun mereka berbeda dalam stategi pencapaiannya. Kelompokgaris keras melakukan dua strategi: 1). Menarik perhatian internasional, khususnya negara-negara Islam, tentang nasib mereka yang malang, ditindas oleh penguasa Filipina yang tirani, 2). Menjalankan perang gerilya untuk melemahkan pemerintah Filipina.
Kelompok moderat, yang didukung oleh mayoritas masyarakat Muslim, berusaha mempertahankan diri dan identitas mereka, dengan memasuki sistem politik Filipina, dengan menggunakan semua cara yang legal dan konstitusionalyang tersedia, termasuk menyebarluaskan pikiran-pikiran, mengorganisir kelompok-kelompok penekan dan berpartisipasi dalam usaha-usaha pemerintah untuk menemukan suatu penyelesaian yang damai, adil dan menyeluruh bagi umat Islam Filipina.
Sedang dari aspek Pemerintah Filipina sendiri, melakukan dua sikap sekaligus: Pertama,Konsiliasi, yaitu berbagai upaya damai, dialog-dialog terbuka dengan semua kelompok yang terlibat dalam pemberontakan dan membahas semua persoalan untuk sampai pada penyelesaian yang dapat diterima.
Kedua, pembangunan wilayah, melakukan pembangunan yang melibatkan semua sumber-sumber daya nasional bagi penyediaan berbagai fasilitas ekonomi, sosial, kultural dan kebudayaan serta perluasan partisipasi penduduk dalam pembangunan tersebut.
Tidak dapat dibantah, juga menggunakan kekerasan dan tekanan, pada waktu dan tempat tertentu, merupakansalah satu implementasi dari dua sikap pemerintah untuk menubuhkan pemerintah regional yang otonom.
Ketika umat Islam telah menjadi satu payung dengan pemerintah Filipina yang telah merdeka, maka terdapat persoalan yang sulit untuk segera diatasi berkaitan dengan sistem Undang-Undang Pemerintah yang belum mengakomodir kepentingan umat Islam.
Ada tiga alasan mengapa orang Islam tidak memiliki rasa identitas nasional:
a. Orang-orang Islam merasa sulit untuk menghargai Undang-undang Nasional, khususnya yang mengenal hubungan-hubungan pribadi dan keluarga, karena Undang-undang itu jelas berasal dari nilai-nilai moral Barat dan Katolik. Orang-orang Islam tidak dapat memahami mengapa hukum nasional tidak membolehkan poligami dan perceraian, sedangkan Hukum Islam yang suci membolehkannya bagi orang-orang mukmin.
b. Sistem Sekolah Umum di bawah Republik tidak berbeda banyak dengan yang diperkenalkan oleh orang-orang Amerika dan yang telah dikembangkan oleh Persemakmuran. Sekalipun pemerintah telah mencoba, namun masih terdapat kesulitan untuk meyakinkan orang-orang tua Islam bahwa system sekolah yang ada tidak berarti mengasingkan anak-anak mereka dari Islam.
Namun sayangnya, pemerintah tidak mencoba meyakinkan orang-orang Islam dengan system yang lain. Malahan system tersebut menerapkan kurikulum yang sama bagi setiap anak Filipina di semua daerah, tanpa menghiraukan perbedaan-perbedaan agama atau kultural.
Karena tujuannya akan menggalang semua kelompok penduduk ke dalam komunitas nasional dan dapat memupuk nasionalisme, maka pemerintah akan menjaganya agar semua siswa terdidik dalam satu arah tertentu. Tujuan ini memang berfaedah dan dapat dimengerti, namun pemerintah telah gagal untuk mempertimbangkan bahwa orang-orang Islam memiliki beberapa karakteristik agama yang unik dan sejarah tertentu mereka sendiri, sehingga mereka menghendaki anak-anaknya dapat mempelajarinya.
c. Ketidakmampuan orang-orang Islam untuk menganggap diri mereka sendiri sebagai warga negara Republik Filipina adalah kebenciannya yang mendalam dan kemudian menjadi reaksi kekerasan terhadap gelombang kaum penetap yang terus menerus datang ke bagian-bagian Mindanao.
Nah, Filipina merupakan salah satu negara yang terdapat di Asia Tenggara yang mayoritas penduduknya beragama Katolik dan Islam menjadi agama minoritas.Meskipun Islam menjadi minoritas, terdapat wilayah yang menjadikan Islam sebagai agama mayoritas yaitu di Filipina bagian Selatan. Perlu perjuangan untuk menjadikan Islam sebagai agama mayoritas di sana.
Banyak negara yang menjajah negera itu seperti Spanyol dan Amerika, selain menjajah mereka juga sebagai misionaris yang mempersulit untuk berkembangnya agama Islam.Dengan perjuangan dan persatuan yang tinggi, akhirnya membuat Filipina wilayah selatan penduduknya merdeka dari penjajah dan misionaris.
Proses islamisasi di Filipina pada masa awal adalah melalui tiga hal, yaitu perdagangan, perkawinan dan politik. Diterimanya Islam oleh orang-orang Mindanao, Sulu, Manila dan sepanjang pesisir pantai kepulauan Filipina tidak terlepas dari ajaran Islam yang dibawa oleh para pedagang tersebut dapat mengakomodasi tradisi lokal.
Umat Islam Filipina yang kemudian dikenal dengan bangsa Moro, pada akhirnya menghadapi berbagai hambatan baik pada masa kolonial maupun pasca kemerdekaan. Bila direntang ke belakang, perjuangan bangsa Moro dapat dibagi menjadi tiga fase:
a. Moro berjuang melawan penguasa Spanyol selamalebih dari 375 tahun (1521-1898).
b. Moro berusaha bebas dari kolonialismeAmerika selama 47 tahun (1898-1946).
c. Moro melawan pemerintah Filipina (1970-sekarang).
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Asy’ari, Akhwan Mukarrom dkk, Pengantar Studi Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2008.
Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique dan Yasmin Hussain, Islam di Asia Tenggara Perspektif Sejarah, Jakarta: LP3ES, 1989.
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004.
Antony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004.
Budi Priambodo, Atlas Indonesia dan Dunia, Pustaka Amani: Jakarta, 2006.
Cesar A. Majul, Dinamika Islam Filipina, LP3ES: Jakarta, 1989.
Fikri, Konflik Moro di Filipina, Banda Aceh: Skripsi Universitas Syiah Kuala, 1999.
Hamid A. Rabie, Islam Sebagai Kekuatan International, Rosda: Bandung, 1985.
Ilyas Ismail, Sejarah Perkembangan Islam di Philipina, Makalah Seminar Kepemudaan, Jabal Ghafur, 3 Januari 1989.
John Bresnan, Krisis Filipina Zaman Marcos dan Keruntuhannya, Terj, Jakarta: Gramedia, 1988.
Kettani M Ali, Minoritas Muslim di dewasa ini, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Muzani Saiful, Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1993.
Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2010.
Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam: Lkis, 2004.
Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1988.
Tebba Sudirman, Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasinya, Bandung: Mizan, 1993.