Oleh Satria Dharma
Kemarin saya berkesempatan masuk ke Museum Aceh, di Banda Aceh dan melihat-lihat sejarah bangsa Aceh. Saya sungguh kagum melihat sejarah perjuangan bangsa Aceh melawan para penjajah Portugis dan Belanda di zaman dulu (dan merasa ngilu melihat sejarah konflik dengan pemerintah Indonesia di zaman DOM). Sungguh luar biasa berani dan pantang menyerah mereka itu. Bukan hanya para lelakinya yang pemberani, tapi juga para perempuan ya. Di antaranya adalah Keumalahayati, yang dianggap sebagai Laksamana perempuan Pertama di dunia, dan Cut Nyak Dien.
Cut Nyak Dien adalah seorang tokoh perempuan hebat Aceh yang tak kenal menyerah dalam berjuang melawan penjajah. Cut Nyak Dien bahkan dijuluki sebagai “Ratu Aceh” karena tekadnya yang pantang menyerah dalam melawan kolonial Belanda di Aceh. Sepanjang masa hidupnya, Cut Nyak Dien terus melakukan pertempuran dan perlawanan tanpa mau menyerah sampai usia tua.
Meski ditinggal mati oleh suami keduanya, Teuku Umar, Cut Nyak Dien tetap bergerilya dari satu wilayah ke wilayah lain. Dalam masa itu, ia bersama rakyat dan pejuang Aceh lainnya, dihadapkan pada kesulitan hidup dan penderitaan, kehabisan makanan, uang, dan pasokan senjata.
Usia Cut Nyak Dien yang saat itu sudah relatif tua serta kondisi tubuhnya digerogoti berbagai penyakit seperti encok dan rabun, membuat satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh.
Keberadaan Cut Nyak Dhien yang dianggap masih memberikan pengaruh kuat terhadap perlawanan rakyat Aceh serta hubungannya dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap membuatnya kemudian diasingkan ke Sumedang. Cut Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Ketika saya melihat foto Cut Nyak Dhien di masa tuanya ketika di pengasingan dengan ekspresinya yang tampak kesakitan, saya tiba-tiba diserang rasa iba. Dan tanpa terasa air mata saya mengalir tanpa bisa saya cegah. Ya, Allah..! Sungguh kasihan beliau, salah seorang pejuang bangsa yang gagah berani dan pantang menyerah dalam kondisi yang demikian menyedihkan. Ingin rasanya saya memeluk beliau seandainya bisa bertemu dengannya dalam situasi itu. Ingin rasanya saya menghibur beliau.
Beristirahatlah, wahai Pahlawan Bangsa. Kami tidak akan pernah melupakan keberanian, keteguhan hati, dan sikap pantang menyerahmu. Kami akan mewarisi nilai-nilai perjuanganmu yang luar biasa itu.
Madigondo, 21 Maret 2023
Satria Dharma