Oleh Nur Dewi S.Pd
Sepeda dan kenangan merupakan dua hal yang saling terkait bagi beberapa orang dan bagi saya khususnya. Begitu banyak kenangan berkesan yang tertaut pada mode transportasi yang satu ini. Tiga puluh tahun silam ketika teknologi transportasi belum begitu berkembang seperti sekarang, sepeda menjadi solusi sarana transportasi yang sangat memudahkan mobilitas untuk melakukan berbagai kegiatan harian. Demikian juga dengan saya, mulai dari bersekolah, mengaji, menonton sandiwara, sepeda tua milik ayah selalu setia menemani perjalanan kami. Terkadang saya mengayuhnya sendiri, namun tidak jarang pula saya duduk di bagian belakang dan ayah dengan perlahan tapi pasti mengayuh sepeda. Karena sudah tua, sesekali terdengar suara rantai sepeda jatuh, terpaksa kami harus menghentikan perjalanan dan membenarkan letak rantainya.
Pada saat itu, keluarga kami hanya memiliki satu sepeda. Awalnya ayah membeli sepeda itu untuk berjualan udang hasil tangkapannya di pasar. Namun karena hanya memiliki satu sepeda dengan jarak antara rumah ke sekolah yang berkilo-kilo meter, sepeda itu akhirnya lebih sering saya gunakan untuk perjalanan ke sekolah. Pada Tahun 2004, tepatnya tanggal 26 Desember bencana tsunami dahsyat menimpa bumi serambi mekkah. Beberapa waktu sebelum terjadinya bencana tersebut, ayah bersiap menjalani rutinitas seperti biasa yaitu berjualan udang dengan menggunakan sepeda tua miliknya. Tidak ada yang menyangka bahwa itu merupakan kali terakhir saya melihat ayah dan sepeda tua yang telah menemani perjalanan kami selama hampir 10 tahun. Bahkan di perpisahan kami pun ayah pergi dengan membawa sepeda kesayangannya itu. Ketika mengingat kenangan itu saya menyadari, tanpa sepeda milik ayah mungkin saya tidak akan dapat menyelesaikan sekolah dan mungkin tidak banyak kenangan indah yang dapat dikenang sekarang.
Pengalaman yang saya alami, mungkin juga dialami oleh mereka yang menghabiskan masa remaja pada tahun 1980 hingga 1990-an. Dulu, sepeda motor tergolong sangat mahal dan hanya mampu dimiliki oleh orang-orang tertentu. Sehingga, untuk bersekolah biasanya kami memilih menggunakan sepeda, angkutan umum yang sebenarnya digunakan untuk mengangkut sayur ke pasar, atau jika terpaksa maka harus berjalan kaki sedikit demi sedikit. Saat itu di daerah saya bahkan kami harus melewati beberapa kampung tetangga dan hutan untuk tiba ke sekolah. Meskipun begitu, semangat untuk terus menuntut ilmu tidak pernah luntur. Berbeda dengan keadaan sekarang, dengan munculnya berbagai mode transportasi yang dinilai lebih efisien dari sepeda, tentunya tanpa melihat dampak negatif yang
ditimbulkan, masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas bebas memilih mode transportasi yang diinginkan. Mulai dari harga belasan juta hingga ratusan juta dapat dimiliki selama uang dalam genggaman.
Lalu, pernahkah terlintas dipikiran kita bagaimana dengan nasib mereka yang kesulitan secara finansial ? Bagaimana dengan anak-anak yang harus bersusah payah untuk menuntut ilmu karena tidak didukung oleh sarana transportasi yang memadai? Bahkan saya pribadi hampir dilalaikan dengan kemajuan yang dipersembahkan di perkotaan padahal belum tentu kemajuan yang kita saksikan juga dapat dirasakan oleh mereka yang di desa. Tanpa kita sadari banyak anak-anak di kawasan pedesaan yang masih mengalami kesulitan untuk mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Salah satu penyebabnya yaitu karena mereka tidak memiliki sarana transportasi yang efisien. Ketika banyak dari kita lupa dengan hal ini, Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh justru menyebarkan semangat mereka demi membantu anak-anak kurang mampu, yatim, piatu dan disabilitas melalui program „1000 Sepeda‟. Berkaca pada pengalaman, saya menyadari betapa program ini menjadi harapan baru bagi mereka yang membutuhkan. Melalui program ini banyak anak di seluruh wilayah di Provinsi Aceh yang semakin bersemangat menuju ke sekolah sambil mengayuh sepeda baru mereka. Anak-anak yang terlahir dengan kondisi mungkin dapat dikatakan “kurang beruntung secara finansial” sangat membutuhkan dukungan untuk dapat terus bergerak maju demi meraih cita-cita mereka. Bagi anak-anak penerima bantuan sepeda dari CCDE, kelak akan banyak pengalaman mengesankan yang dapat dikenang ketika telah berhasil mewujudkan impian. Sepeda yang diberikan tidak hanya mengantarkan mereka ke depan pintu gerbang sekolah dan balai-balai pengajian namun juga menuntut mereka menuju kesuksesan.
Jika ditinjau dari aspek kebermanfaatan, program 1000 Sepeda tidak hanya meringankan beban mereka yang membutuhkan. Secara tidak langsung program ini juga berkontribusi terhadap pengurangan angka kecelakaan lalu lintas di kalangan pelajar yang terjadi di Provinsi Aceh. Saat ini, sudah menjadi hal yang lumrah ketika pelajar yang belum memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) menggunakan sepeda motor atau bahkan mobil untuk menuju ke sekolah. Layaknya dua sisi mata koin, di satu sisi hal tersebut memang dapat dimaklumi mengingat jarak sekolah dan tempat tinggal tentunya bervariasi. Tetapi di sisi lainnya, kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pelajar juga sangat sering terjadi. Berdasarkan data yang diperoleh oleh World Health Organization (WHO) disebutkan bahwa sekitar 1,25 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat kecelakaan lalu lintas. Bahkan kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama kematian di kalangan anak muda mulai rentang
usia 15-29 tahun. Belum lagi jika mereka bertindak ugal-ugalan di jalanan tidak hanya membahayakan diri sendiri, namun pengguna jalan lainnya juga dapat menjadi korban. Oleh karena itu, melalui dari gerakan 1000 Sepeda semoga dapat menciptakan budaya bersepeda yang semakin tinggi di kalangan pelajar, sehingga angka kecelakan lalu lintas dapat semakin ditekan.
Tentang Penulis
Nur Dewi S.Pd adalah perempuan kelahiran Glee Bruek, 8 Agustus 1981. Saat ini penulis memiliki kesibukan sebagai seorang guru di SD Negeri 19 Kota Sabang. Hobi menulis sudah ditekuninya sejak di bangku sekolah hingga sekarang.