Oleh: T.A. Sakti
Seiring dengan masuknya agama Islam ke Aceh dan Nusantara, masyarakat di wilayah ini mulai mengenali huruf Arab. Lama kelamaan dengan penyesuaian seperlunya huruf Arab itu dapat digunakan buat menulis bahasa Melayu, sehingga aksara itu disebut huruf Arab Melayu.
Melalui tulisan Arab Melayu inilah selama berabad-abad para pengarang di Aceh dan Asia Tenggara telah menghasilkan beribu-ribu karya tulis mereka yang sekarang dinamakan Manuskrip Arab Melayu.
Akibat masuknya huruf Latin yang diperkenalkan kolonial Barat, maka popularitas huruf Arab Melayu dari waktu ke waktu semakin surut. Ujung dari desakan huruf Latin itu berakibat mayoritas masyarakat Aceh dan Nusantara dewasa ini; nyaris tidak dapat lagi membaca naskah dalam huruf Arab Melayu.
Dalam usaha menyelamatkan warisan peradaban nasional itu, kini amat diharapkan munculnya upaya-upaya pelestarian manuskrip-manuskrip itu, seperti melakukan transliterasi ke huruf Latin, penterjemahan ke bahasa nasional Indonesia serta menerbitkannya; guna diedarkan kembali bagi bacaan masyarakat luas. Upaya pelestarian inilah yang sedang penulis lakukan secara kecil-kecilan sejak tahun 1992 hingga sekarang ini.
Sejak kedatangan agama Islam di Aceh, terjadilah islamisasi dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam bidang seni-budaya, misalnya digunakan huruf Arab dalam hal penulisan. Sesudah dibuat penyesuaian seperlunya, huruf Arab ini diberi nama huruf Arab Melayu (huruf Jawi, bahasa Aceh: harah jawoe). Penulisannya menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Aceh dengan tulisan tangan; khusus bagi bahasa Aceh amat langka dijumpai yang sudah tercetak.
Sisi lain pengaruh islamisasi terhadap sastra Aceh adalah melahirkan sastra agama atau ‘hikayat agama’, baik yang berbentuk nadham maupun tambeh. Sementara terhadap hikayat dilakukan berbagai penyisipan sehingga tidak lagi bertentangan dengan ‘aqidah Islam. Sebagai sumber informasi seluk-beluk agama Islam, pada masa lampau sastra agama dipelajari masyarakat Aceh baik melalui lembaga-lembaga pendidikan masa itu seperti di meunasah, mesjid, dayah dan rangkang ataupun secara pribadi.
Hasil dari mempelajari itu, sebagian orang kadang-kadang bisa menghafal sebagian besar isi naskahnya. Kandungan isi sastra agama adalah berbagai ajaran agama Islam seperti hukum, akhlak, tasawuf, filsafat dan sebagainya. Begitu pula dengan hikayat, isinya banyak mengandung nasihat, petuah, dan sebagainya.
A. Asal Mula Huruf Arab Melayu
Berdasarkan berbagai penyelidikan yang telah dilakukan para sarjana, penulis menjadi yakin bahwa huruf Arab Melayu yang berkembang di Nusantara/Asia Tenggara berasal dari Aceh. Daerah Aceh merupakan daerah pertama masuk dan berkembangnya Agama Islam untuk kawasan Asia Tenggara.
Hampir semua sejarawan Barat dan Timur berkesimpulan demikian. Bersamaan masuknya Islam ke Aceh, maka masuk pula bacaan huruf Arab ke dalam kehidupan masyarakat Aceh, antara lain melalui kitab suci Al-Qur’anul Karim. Bersumber huruf Arab Melayu itu, lambat laun berkembanglah penulisan Arab Melayu tersebut.
Sejauh bukti yang tersedia hingga hari ini, penulis pertama alias pencipta huruf Arab Melayu adalah Abu Ishak Al Makarany yang mengarang kitab Idhharul Haq fi Mamlakatil Perlak wal Pasy, yakni tentang sejarah Kerajaan Peureulak dan Pasai. Kitab ini ditulis dalam huruf Arab Melayu. Semua kitab lain yang tertulis dalam huruf Arab Melayu diyakini ditulis setelah penulisan kitab Idhharul Haq itu.
Sejarah mencatat, bahwa di Aceh telah berkembang beberapa kerajaan Islam, yaitu Kerajaan Peureulak, Kerajaan Pasai, Kerajaan Benua, Kerajaan Linge, Kerajaan Pidie, Kerajaan Lamuri, Kerajaan Daya dan terakhir kerajaan Aceh Darussalam. Di Kerajaan-kerajaan itu, banyak melahirkan para Ulama yang sebagiannya berbakat mengarang.
Melalui tangan-tangan terampil inilah telah ditulis beratus-ratus buah kitab dan karangan dalam bahasa Melayu, Arab dan bahasa Aceh. Tulisan yang digunakan adalah tulisan Arab dan tulisan Jawi (Arab Melayu). Dalam hal ini kita dapat menyimak halaman terakhir kitab Fat al-Mubin ala `i-Mulhidin karya Nuruddin Ar-Raniry yang menyatakan bahwa kitab ini dikarang untuk dikirim kepada: ……… segala saudaraku yang ada di Pulau Aceh, dan yang di Negeri Kedah, dan yang di Pulau Banten, dan yang di Negeri Patani, dan yang di Pulau Mengkasar, dan yang di Negeri Johor, dan yang di Negeri Pahang, dan yang di Negeri Senggora, dan pada segala Negeri di bawah angin”.
Dengan beredarnya kitab Nuruddin Ar-Raniry tersebut di atas, maka berkembang pula penulisan Arab Melayu (huruf Jawi) ke negeri-negeri yang bersangkutan.
Dalam Kerajaan Aceh Darussalam penulisan Arab Melayu juga berkembang pesat. Dalam hal ini UU Hamidy menjelaskan:
“Bahasa Melayu Aceh berperan penting dalam tradisi pemakaian Arab Melayu. Tak diragukan lagi ulama Aceh-lah yang telah memakai tulisan Arab Melayu secara luas dalam berbagai kitab karangan mereka. Dari sinilah agaknya tulisan Arab Melayu kemudian menjadi tradisi pula dalam penulisan hikayat di Aceh.
Sebab itu tulisan Arab Melayu mungkin juga telah ditaja pada awalnya oleh para ulama di Aceh. Karena tulisan ini juga mempunyai beberpa ragam (versi), maka ragam Arab Melayu yang dipakai di Aceh mungkin merupakan ragam yang tertua. Dalam bidang ini patut dilakukan penelitian yang memadai, sehingga peranan bahasa Melayu Aceh akan semakin kentara lagi di belantara perkembangan bahasa Melayu” (Serambi Indonesia, 8 Juli 2007).
Memang tidak berlebihan bila penulis berpendapat, bahwa huruf Arab Melayu di tulis pertama kali di Aceh. Sampai sejauh ini, tulisan Jawi tertua yang sudah pernah dijumpai adalah surat sultan Aceh kepada raja Inggris. Tentang hal ini, DR. Muhammad Yusof Hashim menyebut :
“Kalau kita mengatakan bahawa naskah Melayu terawal yang pernah ditemui di awal abad ke-17, iaitu warkah daripada Sultan Aceh kepada Raja England, besar kemungkinan naskah warkah itu hanyalah naskah salinan. Adalah mengkagumkan juga sebuah naskah di atas kertas seperti itu boleh wujud hampir empat abad lamanya, sekiranya ia betul-betul naskah yang asli”.
Abad ke 16-17 merupakan puncak kebesaran bagi kerajaan Aceh Darussalam. Ketika itu, selain sempat diperintah beberapa Sultan terkemuka, Aceh juga telah dibimbing beberapa ulama kaliber dunia, yaitu Hamzah Fansury, Syamsudin As-Sumatrani, Syekh Nuruddin Ar-Raniry dan Syekh Abdurrauf As-Singkily atau Syiah Kuala.
Keempat ulama Aceh ini amat banyak karangan mereka, baik dalam bahasa Melayu maupun dalam bahasa Arab. Kitab-kitab tulisan keempat ulama ini tidak hanya beredar di Aceh, tetapi meluas ke seluruh Asia Tenggara dan dunia Islam lainnya.
Ditinjau dari segi perkembangan penulisan Arab Melayu dan pertumbuhan bahasa Melayu; keempat ulama Aceh inilah serta beberapa ulama Aceh lainnya; betul-betul telah berjasa dalam menyebarkan “kebudayaan” Melayu tersebut. Sewaktu sumpah pemuda 1928, bahasa Melayu telah diakui sebagai Bahasa Nasional Indonesia.
Karena itu tidaklah berlebihan bila kita mengatakan, bahwa orang Aceh ikut membidani lahirnya bahasa Indonesia, yakni melalui ratusan karya tulis para pujangga-ulama yang mengarang dalam bahasa Melayu dengan menggunakan tulisan huruf Arab Melayu. Para penulis asal Aceh, sebenarnya tidak perlu malu-malu mengungkapkan “Jasa Aceh dalam Pembinaan Bahasa Indonesia”, karena Aceh memiliki banyak bukti yang dapat ditampilkan serta dapat dipertanggung jawabkan.
Tulisan Arab Melayu terus berkembang selama berabad-abad. Kehidupan masyarakat di seluruh Nusantara sudah menyatu dengan huruf Arab Melayu. Seseorang yang mampu membaca dalam huruf Jawi dianggap sebagai “orang terpandang” dalam masyarakat. Apalagi kalau ia mampu pula menulis, tentu derajat orang yang bersangkutan semakin tinggi lagi.
Oleh karena itu, masyarakat di Aceh dan daerah-daerah lain berlomba-lomba mempelajari cara penulisan Arab Melayu, karena dengan pengetahuan itu akan meningkatkan status mereka dalam masyarakat.
B. Dunia Melayu Raya
Menurut UU Hamidy dalam tulisannya “Aceh sebagai pusat bahasa Melayu” menyatakan :
“Kesungguhan memelihara bahasa Melayu, sehingga seluruh kitab-kitab yang dikarang ulama Aceh yang berisi kajian agama Islam dan ilmu pengetahuan telah ditulis dalam bahasa Melayu. Sebab, dengan bahasa itu kitab-kitab ini dengan mudah dipelajari oleh khalayak antar bangsa di Asia Tenggara.
Misalnya, Syair Perahu karangan Hamzah Fansuri yang berisi pandangan tasauf telah dikarang dalam bahasa Melayu. Sandingannya, karya Nuruddin Ar-Raniry, Asrar al Insan fi Ma`rifah wa Rahman, juga memakai bahasa Melayu.
Hikayat raja Aceh juga memakai bahasa Melayu, tentulah atas pertimbangan agar pembaca mancanegara mengetahui kebesaran raja-raja Aceh. Sementara sandingannya Tajussalatin (mahkota raja) karangan Buchari al Jauhari juga ditulis dalam bahasa Melayu. Kitab ini berisi pandangan ilmu Islam, bagaimana semestinya perangai seorang raja memegang teraju pemerintahan” (Serambi Indonesia, 8 Juli 2007).
Istilah Melayu mengandung makna yang luas, baik dari segi bahasa maupun mengenai suku-suku bangsa yang berdiam di Asia Tenggara yang, biasa disebut Dunia Melayu Raya.
Dalam hal ini Dr. Muhammad Yusuf Hasyim mengatakan: Apa dan siapakah yang dikatakan Melayu? Untuk merujuk kepada bahasa, yaitu Bahasa Melayu (Bahasa Kebangsaan di Malaysia dan Bahasa Melayu di Indonesia), saja tidak mencukupi bagi mencari penentuan konsep Melayu itu.
Sekiranya kita merujuk kepada faktor ethnicity dan ilmu alam pula, Melayu meliputi suatu “alam” yang amat luas, memasuki kawasan-kawasan daripada selatan Thailand, mencakupi Malaysia pada hari ini, melingkungi seluruh Nusantara/Indonesia sekarang, melingkupi Darussalam hinggalah menjangkau kepulauan dan gugusan Filipina.
Sekirannya kriteria ini yang kita terima, maka istilah Melayu sebagai suatu ras dalam ilmuan antropologi merangkumi pelbagai suku etnik seperti Aceh, Bugis, Batak, Patani, Minang, Lampong, Bauyan, Banjar, Mandahiling, Mengkasar, dan lain-lain, menjadikan Melayu Aceh, Melayu Bugis, Melayu Batak, Melayu Patani, Melayu Minang, Melayu Lampong, Melayu Banjar dan seterusnya. .
Tentang perkembangan naskah-naskah Arab Melayu tulisan tangan yang merupakan warisan zaman lampau Profesor Dr. Ismail Husein menjelaskan :
“Bahasa Melayu kini menjadi bahasa utama di nusantara, malah dapat dikatakan bahasa peribumi moden yang utama di Asia Tenggara, yaitu dari segi jumlah penggunanya, dan juga dari segi keragaman kandungan kebudayaannya. Tetapi kedudukan dan sifat bahasa Melayu seperti itu tidak banyak berbeda dengan zaman lampau.
Kini kita warisi sekitar 8,000 buah naskah-naskah tulisan tangan dalam bahasa Melayu dari zaman pracetakan. Ini adalah jumlah warisan naskah yang kedua terbesar di nusantara, selepas yang di dalam bahasa Jawa. Semua naskah-naskah Melayu lama yang kita warisi itu adalah di dalam tulisan Jawi, di dalam huruf Arab, yakni dicipta dan disalin dalam zaman Islam. Tetapi tak kurang pentingnya hampir semua naskah yang ada itu nampaknya dicipta semula ataupun disalin semula selepas abad yang ke-15, yakni selepas kejatuhan Malaka, yakni di dalam zaman penjajahan”.
Perlu juga dicatat, bahwa di Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda sampai kini masih tersimpan 265 naskah Aceh yang terawat dengan baik(Serambi Indonesia, 28 Oktober 1993).
Memang sebelum abad ke 18 istilah bahasa Melayu “belum dikenal.
Pada abad ke 16 dan 17 penyebutan bahasa Melayu adalah dengan menggunakan istilah “bahasa Jawi”, karena bahasa itu ditulis dalam huruf Jawi, yakni huruf Arab yang telah disesuaikan dengan ucapan-lidah masyarakat Nusantara.
Sementara “Jawi” ialah sebutan orang-orang Arab dimasa itu untuk negeri-negeri di wilayah Nusantara/Asia Tenggara .
C. Upaya Penghancuran Oleh Bangsa Barat
Pada abad ke-17 bangsa Eropa mulai berdatangan ke Asia Tenggara. Dari waktu ke waktu sampai ke abad ke-20, mereka semakin merata berada di berbagai negeri di Nusantara. Akhirnya semua Negeri secara umum berkebudayaan Melayu telah menjadi jajahan dari bangsa Barat.
Kesemua bangsa penjajah itu, yaitu Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Perancis dan Amerika Serikat adalah bangsa-bangsa yang tidak memakai huruf Arab (Arab Melayu) dalam penulisannya. Mereka memiliki huruf sendiri yang berasal dari peradaban Yunani-Romawi, yaitu huruf Latin.
Sejak itu, peranan huruf Arab Melayu secara berangsur-angsur terus berkurang dalam kehidupan orang-orang pribumi. Sebab, para penjajah memaksakan huruf Latin kepada rakyat di Nusantara ini melalui lembaga-lembaga pendidikan yang dibangun mereka.
Khusus di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), penggusuran secara besar-besaran huruf Arab Melayu baru terjadi secara resmi pada tahun 1901. Ketika itu, pada tanggal 1 Januari 1901, Raja Belanda Ratu Welhelmina mengeluarkan Dekrit tentang Politik Etis dalam sistem penjajahan di Hindia Belanda.
Politik “balas budi” itu antara lain memberikan pendidikan modern ala Barat kepada anak negeri jajahan Belanda. Karena itu, dibangunlah beribu-ribu tempat pendidikan umum di seluruh Hindia Belanda dengan memakai huruf Latin dalam penulisannya (Sartono Kartodirdjo, 1975: 14).
Hal ini secara langsung telah menjatuhkan martabat huruf Arab Melayu dalam pandangan sebagian pribumi. Tinggallah Dunia Pesantren, Surau dan Pondok (Dayah di Aceh), Bale Seumeubeuet (Balai Pengajian) sebagai benteng terakhir, sehingga penulisan Arab Melayu masih kekal lestari hingga saat ini.
Sebagai bukti, perpustakaan Dayah Tanoh Abee Seulimum, Aceh besar, masih memiliki beribu-ribu naskah kitab lama (Perpustakaan Tanoh Abee, Buku I, 1980).
Kemunduran bagi penulisan Arab Melayu di Aceh lebih kemudian. Ketika Belanda sedang menggayang huruf Arab Melayu secara gencar di daerah-daerah lain- lewat pendidikan ala Barat, malah di Aceh (thn 1901), Belanda sedang bertempur habis-habisan melawan rakyat Aceh, yang telah di tempa dengan baris-baris tulisan Arab Melayu, yakni Hikayat Prang Sabi (Hikayat Perang Sabil).
Akhirnya para ilmuan Belanda yang dipelopori Snouck Hurgronje berusaha mempelajari karya-karya berhuruf Arab Melayu milik orang Aceh guna mengetahui jalan “lurus” mengalahkan perlawanan orang Aceh sendiri (Snouck Hurgronje, 1985).
Tidak kurang 600 naskah hikayat berhuruf Jawi/Jawoe (Arab Melayu) telah dialihkan ke huruf Latin saat itu. (Tempo, 23-39 Juli 2006: 70).
Tentang strategi perang akal budi” yang ditempuh Belanda ini, Prof. Madya. DR. Muhammad Yusof Hashim dari jabatan Sejarah Universiti Malaya menulis : Bayangkan saja bagaimana Malaicus Snouck Hurgronje mengguna dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya naskah-naskah Melayu yang ada di Aceh pada penghujung abad ke-19 bagi meneliti “hati budi dan nurani” penduduk-penduduk Aceh sehingga Aceh berjaya ditakluki oleh Belanda setelah bertungkus-lumus dan berhempas pulas kuasa penjajah ini gagal menawan dan menjajah Aceh melalui saluran diplomatik, perang urat saraf dan paksaan senjata” (Muhammad Yusof Hashim, 1985: 77).
Sebuah pengumuman/maklumat Residen Aceh di tahun 1948 secara tak langsung juga ikut menggusur huruf Arab Melayu.
Isi pengumuman tentang syarat-syarat pemilihan anggota Dewan Kota/DPR Kutaraja saat itu, antara lain berbunyi : Yang berhak dipilih untuk menjadi anggota Dewan Kota adalah bangsa Indonesia, berumur 25 tahun ke atas, tahu membaca dan menulis haruf Latin, tidak dalam tahanan preventif atau dalam menjalani hukuman, dalam keadaan berpikir sehat, dan sekurang-kurangnya 1 tahun terus-menerus telah menjadi penduduk Haminte Banda Aceh (T.A. Talsya, 1990: 238).
Dalam era Indonesia merdeka, perhatian pemerintah terhadap penulisan Arab Melayu mulai Tumbuh, namun tidak berumur panjang. Di saat itu, pelajaran membaca dan menulis huruf Arab Melayu telah diajarkan di sekolah-sekolah pada tingkat sekolah dasar.
Tetapi sekitar tahun 60-an pelajaran tersebut dihapuskan, yang kemungkinan besar akibat desakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sedang merajarela ketika itu.
Sebatas penulis ketahui, khusus di Aceh sejak beberapa tahun yang lalu juga diajarkan kembali tulisan Arab Melayu dengan nama Tulisan Arab Indonesia (TAI). Namun, pembelajaran ini masih perlu ditingkatkan terutama dalam bidang pengadaan buku bacaan/pedoman penulisan Arab Melayu dan memberikan pendidikan khusus bagi para guru tentang bahan pengajaran tersebut.
Perkembangan terakhir dari penulisan Arab Melayu di Aceh adalah keluarnya Instruksi Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tanggal 1 Muharram 1423 atau 16 Maret 2002, yang menggalakkan kembali penggunaan huruf Arab Jawi di Bumi Aceh Serambi Mekkah.
Sejauh pengamatan penulis, sebagian dari isi instruksi itu memang telah berjalan, khususnya penulisan nama kantor/lembaga/toko dengan menggunakan huruf Arab Melayu disamping huruf Latin.
Akan tetapi penulisan Arab Melayu pada lembaga-lembaga tersebut belum memadai, karena masih ada kaidah-kaidah penulisan Arab Melayu yang diabaikan (Mohd. Kalam Daud, 2003: 5).
(Sumber: Cuplikan dan editan dari sebuah tulisan panjang 5.100 kata).