Oleh: Nelliani, M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Seulimeum, Aceh
Sejak pandemic menerjang dunia pendidikan, anak-anak kita akrab dengan gawai dan internet. Sejak itu pula gawai dan internet menjadi bagian tak terpisahkan dalam keseharian mereka. Mulai bangun tidur sampai tidur kembali, gawai senantiasa menemani mereka dalam beragam aktivitas seperti belajar, bermain atau menjalin interaksi dengan komunitas maya.
Data yang dihimpun We Are Social and Hootsuite pada Februari 2022, tren pengguna digital di Indonesia menunjukkan kenaikan dari tahun sebelumnya. We Are Social mencatat, jumlah pengguna internet mencapai 204,7 juta dari total jumlah penduduk Indonesia 277,7 juta jiwa, jika dibandingkan tahun 2021 hanya 202,6 juta. Sedangkan pengguna media sosial aktif tahun 2022 menjadi 191,4 juta dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya 170 juta. Umumnya pengguna digital didominasi generasi muda, yang sebagian besar berstatus pelajar dan mahasiswa.
Tidak dimungkiri, internet menyediakan beragam kemudahan. Bagi remaja, internet sebagai media belajar, bersosialisasi, bermain, maupun wadah mengembangkan kreativitas. Namun, penggunaan berlebihan memunculkan kekhawatiran guru dan orang tua karena remaja merupakan kelompok paling rentan terjebak dampak buruk teknologi digital.
Banyak kasus adiksi internet menimpa anak dan remaja akhir-akhir ini. Kecanduan media sosial, game online, judi online maupun konten pornografi yang sangat meresahkan. Namun, tidak kalah mengkhawatirkan dan luput dari perhatian adalah maraknya perundungan digital atau cyberbullyingyang mengancam mereka.
Hasil survey U-Report dan UNICEF tahun 2019 menunjukkan, 45% dari 2.777 responden muda Indonesia pernah mengalami perundungan siber, 45% responden tersebut mengalami pelecehan seksual melalui aplikasi chatting, sedangkan 41% lainnya mengaku foto/video milik mereka disebarkan tanpa izin (ditsmp.kemdikbud.go.id/ 07/06/2021). Data itu dikhawatirkan akan terus meningkat seiring meningkatnya kebutuhan media digital di kalangan generasi muda.
Cyberbullying
Andri Priyatna dalam bukunya Let’s End Bullying: Memahami, Mencegah dan Mengatasi Bullying (2010) mengatakan, Cyberbullying adalah bullying yang menggunakan alat bantu, seperti: telepon genggam, sms, klip gambar/video, Email, instant messaging, chat rooms, website dan game online. Menurut UNICEF, Cyberbullying (perundungan dunia maya) adalah bullying dengan menggunakan perangkat digital. Hal ini dapat terjadi di media sosial seperti facebook, instagram, snapchat dan tik tok, platform bermain game dan ponsel.
Merujuk laman unicef.org, beberapa tindakan dapat dikategorikan sebagai perundungan siber yaitu menyebar kebohongan, memposting foto/video vulgar seseorang di media sosial, mengirim pesan/ancaman untuk menyakiti, mengintimidasi, menghina atau mempermalukan melalui platform chatting, menggunakan akun orang lain tanpa izin, memaksa anak mengirimkan gambar pribadi atau terlibat dalam percakapan bermuatan pornografi.
Sedangkan cyberbullying dalam game online berupa saling ejek atau saling ancam antar pemain melalui fitur chat /voice yang tersedia dari game yang mereka mainkan.
Dalam kelompok pertemanan sebaya, dimana antara pelaku dan korban saling kenal, cyberbullyingbiasanya bermula dari persoalan sepele. Bahkan pelaku dan korban sering tidak menyadari tindakan yang dilakukan menjurus pada perundungan. Berawal dari candaan, tetapi individu yang menjadi sasaran candaan tersakiti, merasa dihina dan direndahkan. Jika itu terus berlanjut sehingga membuat anak tidak nyaman, orang tua patut waspada, bisa jadi tindakan tersebut menjurus pada perilaku bullying.
Cyberbullying merupakan jenis perundungan yang mudah dilakukan. Pelaku tidak membutuhkan pertemuan tatap muka dengan korban dan tanpa melibatkan kekuatan fisik. Pada kebanyakan kasus, korban dan pelaku tidak saling kenal. Hal tersebut membuat pelaku relatif aman karena dapat menyamarkan identitas sehingga sulit diungkap. Dengan memanfaatkan media digital, pelaku bebas melancarkan aksinya. Sayangnya, korban tidak punya kesempatan bersembunyi, dia bisa menerima “serangan” kapan dan dimana pun.
Pada kondisi tertentu, korban perundungan siber berpeluang dimanfaatkan untuk mencari keuntungan. Pelaku bisa memeras korban dengan mengancam menyebarkan foto/video pribadi. Begitu pun, melihat banyaknya kasus pelecehan seksual di ranah maya, bisa dikatakan cyberbullying merupakan pintu masuk kejahatan seksual siber. Pelaku dengan mudah melakukan tindakan tersebut dengan mengancam mempublikasikan data-data pribadi korban jika permintaannya tidak dituruti.
Meskipun cyberbullying bukanlah isu baru, namun orang tua kerap abai menyikapi fenomena ini. Kecenderungan membebaskan anak pada gawai tanpa pengawasan dan edukasi menjadi sebab terjebak perundungan siber, baik sebagai pelaku, korban maupun saksi. Di sisi lain, keterbatasan pengetahuan terhadap perkembangan teknologi membuat orang tua tidak maksimal melindungi putra putrinya dari pengaruh negatif dunia digital.
Aksi bullying di ranah digital tidak boleh disepelekan. Orang tua dan guru harus peka dengan kondisi anak yang berbeda dari biasa. Terlebih bila ia menyembunyikan kasusnya karena malu, takut atau tidak ingin keadaan bertambah buruk. Identifikasi dini bisa menyelamatkan mereka dari ancaman yang lebih serius.
Priyatna (2010) mengungkapkan, tanda anak sudah menjadi korban cyberbullying dapat dikenali dari beberapa hal. Anak enggan menggunakan gawainya, gugup/ tidak suka membuka media sosialnya, membaca email atau menerima pesan. Menarik diri dari keluarga dan lingkungan pertemanan dan menjadi malas sekolah. Menunjukkan emosi negatif seperti sedih, marah, frustasi dan cemas tanpa sebab. Prestasi belajar menurun, kurang tidur dan kurang nafsu makan.
Dampak
Dampak perundungan siber dapat bertahan lama dan mempengaruhi orang dari banyak sisi. Secara mental, timbul rasa malu, terhina dan mudah marah. Secara emosional, kehilangan minat, motivasi dan menurunnya kepercayaan diri. Dari segi fisik, korban merasa kelelahan, munculnya keluhan sakit perut dan kepala. Pada kasus berat, korban mengalami depresi bahkan meningkatkan resiko bunuh diri.
Melihat seriusnya risiko yang ditimbulkan, sudah saatnya kita mewaspadai tindakan perundungan yang mengintai anak. Menjauhkan mereka dari media sosial hari ini bukanlah solusi, orang tua hanya perlu memberi edukasi sehingga mereka dapat menggunakan media digital dengan aman. Jika anak mengalami kondisi tersebut, pendampingan yang baik dapat membantunya melewati masa-masa sulit. Tanpa intervensi orang tua, guru dan orang-orang terdekat, cyberbullying akan sulit diatasi.