Oleh Dewi Sofiana
Berdomisili di Bireun, Aceh
Saat ini, tema literasi ramai dibicarakan. Secara seremonial banyak kegiatan yang mengusung tema tersebut, terutama di sektor pendidikan. Literasi sering akrab dalam ucapan, tetapi masih kurang diakrabi dalam kehidupan. Padahal, literasi merupakan sebuah keniscayaan dalam hidup. Peradaban manusia tak terlepas dari literasi. Literasi menjadi bagian yang mengiringi perjalanan hidup manusia hingga sampai pada zaman modern sekarang ini. Oleh karena itu, tak berlebihan jika dikatakan literasi memegang peranan penting dalam membidani lahirnya peradaban dan kejayaan suatu bangsa.
Seiring perkembangan kehidupan manusia, literasi menjadi jantung pendidikan dan urat nadi peradaban. Sedemikian pentingnya, sehingga kita patut merasa khawatir jika literasi belum dianggap penting oleh kita.
Apakah literasi itu? Penulis yakin, istilah literasi bukan lagi kata yang asing didengar, terlebih bagi dunia pendidikan. Menilik Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), literasi adalah kemampuan menulis dan membaca, suatu kegiatan atau aktivitas untuk membudayakan gerakan membaca dan menulis. Dalam definisi yang sederhana, literasi adalah kegiatan membaca dan menulis. Sebagai ummat Islam membaca bukanlah hal yang baru bagi kita. Ayat pertama yang diwahyukan kepada Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril adalah Iqra’, yang artinya bacalah.
Betapa pentingnya membaca dalam Islam, hingga penegasannya disebutkan melalui kalam Illahi, jauh sebelum budaya literasi dicanangkan oleh kehidupan sekarang.
Islam merupakan agama yang menuntun kehidupan umat dengan membaca. Lalu mengapa kita sebagai negara dengan ummat muslim terbesar dunia justru menjadi negara dengan minat baca rendah ?
Membaca merupakan kegiatan yang sarat manfaat. Membaca bisa dari buku, majalah, surat kabar, ataupun sumber bacaan lainnya, baik dalam bentuk kertas maupun digital. Membaca dapat memberi wawasan seluas dunia. Membaca dapat membentuk karakter bijak, menciptakan insan cerdas, dan berilmu. Intinya dengan membaca kita bisa mengenal dunia sekaligus membentuk pola pikir kritis dan terarah. Membaca mampu membuka cakrawala berpikir seseorang. Sedangkan menulis sebagaimana yang disebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertiannya adalah melahirkan pikiran atau gagasan dengan tulisan. Secara sederhana menulis dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan mentransformasikan pikiran melalui bahasa tertulis dengan menggunakan huruf sebagai pembentuk kata dan kalimat.
Dalam berbagai kesempatan, penulis sering menyampaikan bahwa menulis tidak sesulit yang dibayangkan. Ibarat kita mengubah sesuatu yang hendak disampaikan secara lisan diganti dengan bahasa tulis. Gampang bukan? Selanjutnya hanya tinggal berlatih dan berlatih. Menulis merupakan kegiatan yang bisa melahirkan kreativitas seseorang dan membuat pembacanya tercerahkan. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan tulisan mempunyai kekuatan dahsyat dalam melahirkan peradaban manusia.
Membaca dan menulis ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi satu sama lain. Membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Apabila tidak menulis, maka tidak ada tulisan yang bisa dibaca. Sebaliknya, apabila tidak membaca, maka akan sulit untuk menulis karena kurang terbukanya wawasan dan kreatifitas untuk melahirkan sebuah gagasan lain.
Sebuah petuah bijak menyatakan; membaca membuat kita bisa mengenal dunia, menulis membuat kita bisa dikenal dunia. Jadi betapa pentingnya literasi baca tulis itu dalam kehidupan.
Kita dapat mengambil pembelajaran dari sejarah terdahulu, bagaimana suatu bangsa dan negara menjadi masyur dan berjaya karena literasi telah menjadi budaya dalam kehidupan mereka. Sebagai contoh, dalam sejarah peradaban Islam dapat dilihat bagaimana tradisi literasi Islam melahirkan tulisan –tulisan para pemikir dan ulama yang sudah berumur ratusan tahun sampai saat ini masih eksis dipelajari sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Namun sangat menyedihkan, sampai saat ini Indonesia masih tergolong negara dengan budaya literasi amat rendah dibandingkan dengan negara lainnya di dunia.
Beberapa survei dari lembaga terpercaya dunia menyuguhkan hasil yang menyedihkan. Data UNESCO tahun 2016, menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, yaitu hanya 0,001%. Artinya dari 1000 orang Indonesia, hanya satu orang yang rajin membaca. UNESCO (United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization) merupakan Badan PBB yang bertugas mengurus bidang pendidikan, ilmu dan kebudayaan.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh PISA (Program for International Student Assesment) menunjukkan data yang tidak jauh berbeda, dimana tingkat literasi Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara – negara di dunia.
Responden pada survei ini adalah anak sekolah usia 15 tahun ke atas (kelas menengah). Survei PISA 2015 menyebutkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 64 dari 70 negara, sedangkan hasil survei tahun 2018 menunjukkan posisi Indonesia berada pada peringkat 74 dari 79 negara.
Suka atau tidak, kita tak bisa menolak hasil survei tersebut. Inilah kenyataan yang sesungguhnya. Kenyataan yang menyuguhi kita tentang kondisi budaya literasi masyarakat Indonesia . Pun di era global yang tingkat persaingan dan daya saing semakin kompetitif. Lalu peran apa yang bisa kita lakukan sebagai bentuk kepedulian terhadap realita ini?
Sebagai orang Indonesia, terlebih praktisi pendidikan pastinya kita akan merasa sedih dengan fakta yang disuguhkan tersebut. Apakah kondisi demikian akan membuat kita merasa tersudutkan atau justru menjadi pelecut agar segera bertindak membuat perubahan?
Perubahan dapat dilakukan, dengan memfungsikan Iqra’ dalam berbagai esensi kehidupan, Bukankah kita ummat yang memegang teguh kitab suci Al quran, dimana ayat pertama diturunkan adalah Iqra’, yang artinya bacalah?
Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, umumnya karena masih kurangnya kesadaran orang tua, masyarakat, lembaga pendidikan dan pemerintah tentang pentingnya budaya membaca. Sebagai gambaran yang dapat dijadikan bukti terkait dengan rendahnya minat baca, adalah perpustakaan kalah populer dengan tempat – tempat publik lainnya. Buku atau bahan bacaan lainnya adalah benda yang sepi peminat dan jarang disentuh. Rasanya tak berlebihan jika dalam hal ini penulis beranggapan bahwa umumnya masyarakat kita belum mengganggap buku dan sumber bahan bacaan lainnya sebagai sesuatu yang penting.
Ironisnya, sekolah sebagai institusi pendidikan belum juga sepenuhnya mampu menghadirkan suasana cinta literasi kepada insan didiknya. Buku terpajang rapi di rak – rak perpustakaan. Tertata indah pada pojok – pojok baca. Namun kehilangan esensi karena tidak dihidupkan ruh literasinya. Misalnya , bagaimana mungkin siswa suka membaca, jika gurunya tidak mencontohkan dengan sikap serupa? Bagaimana mungkin siswa tergugah semangatnya untuk mencintai dunia literasi jika gurunya justru tak menunjukkan cinta baca kecuali sekadar kewajiban memahami dan membaca buku pelajaran yang wajib saja.
Sejatinya, sekolah sebagai tempat yang mewadahi terlaksananya kegiatan pendidikan, diharapkan benar – benar mampu menggiatkan literasi sesuai tujuan dan fungsinya, bukan semata – mata slogan belaka. Melihat dari ruang lingkupnya, institusi pendidikan seharusnya menjadi tempat untuk menumbuh kembangkan dan memajukan budaya literasi. Sekolah sebagai institusi pendidikan formal bertanggung jawab terhadap upaya tersebut, karena disinilah wadah pendidikan terhadap para generasi. Sekolah merupakan cikal terbentuknya insan bangsa yang maju, terdidik dan berkarakter.
Pendidik menjadi ujung tombak dalam program besar ini dan menjadi pelaksana di garda terdepan. Meskipun demikian, alangkah bijaknya jika kita semua memiliki tanggung jawab yang sama untuk menjadikan literasi menjadi budaya kehidupan.
Patut diapresiasi terhadap mereka dari berbagai kalangan yang telah melakukan upaya sedemikian rupa untuk menghadirkan minat baca dan menghidupkan budaya literasi baik terhadap anak maupun masyarakat pada umumnya. Mereka berbentuk komunitas, gerakan atau perseorangan pegiat literasi. Berbekal komitmen yang patut diacungi jempol, mereka ikut mengabdikan dirinya dalam memajukan literasi. Banyak upaya yang telah dilakukan. Diantaranya, memberi motivasi literasi kepada para siswa di sekolah – sekolah, menginisiasi hadirnya Pustaka Desa, dan mendirikan pojok baca di rumahnya agar bisa diakses oleh anak – anak sekampung. Bahkan ada yang menyumbangkan tenaga dan waktunya, menjangkau daerah – daerah pelosok dengan sepeda motor yang membawa keranjang penuh buku untuk dibagikan dan dibaca oleh anak atau masyarakat setempat. Berbagai upaya ini tentu tak akan berarti bila segenap elemen tidak saling mendukung dan bersinergi.
Selain itu peran pemerintah memegang kendali utama. Sebagai pemangku kebijakan pemerintah diharapkan mampu melahirkan kebijakan – kebijakan yang menciptakan atmosfir cinta literasi dalam kehidupan masyarakatnya khususnya usia pelajar. Apalagi di tengah gempuran arus negatif teknologi informasi yang kian menyeret anak ke dalam jebakan pengaruh negatif internet seperti game online, konten pornografi, konten kekerasan, dan konten negatif lainnya. Keadaan bertambah runyam akibat pandemi corona yang turut melumpuhkan sektor pendidikan.
Sejatinya, literasi tak akan maju melainkan dengan segenap upaya serius untuk menumbuh kembangkan dan menyuburkannya hingga menjadi budaya yang melekat dalam kehidupan. Selama kita masih memandang sebelah mata terhadap literasi, maka cita – cita menjadi bangsa yang maju dan berjaya hanya sebuah mimpi belaka !
Dewi Sofiana, Domisili Bireuen
Email: dewi_sp17@ymail.com