Oleh: Nelliani, M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Seulimeum,
Sejarawan Islam, Ibnu Khaldun pernah menulis pemikirannya yang sangat menarik, “Dalam perjalanan sebuah peradaban selalu ada generasi perintis yang memiliki tekad dan kekuatan, lalu disusul generasi pembangun, kemudian disusul generasi penikmat dan disusul lagi oleh generasi penghancur, yaitu generasi yang kehilangan rasa malu dan rasa takut terhadap hukum agama dan sosial”(Jamaludin:2015). Kalimat tersebut patut menjadi renungan, apakah kita sedang berada pada generasi terakhir yang disebutkan, dengan berbagai fenomena akhir-akhir ini di mana maraknya berita kenakalan yang dilakukan remaja seperti penyalahgunaan narkoba, pembunuhan, pergaulan bebas, perundungan, tindak asusila dan sebagainya.
Jika mau sejenak memperhatikan dunia remaja, maka kita akan tahu kenakalan remaja di era milenial kian memprihatinkan. Bahkan tidak jarang menjurus pada tindakan kriminal, merusak, meresahkan dan kerap menabrak norma, etika dan hukum. Dahulu perilaku “nakal” remaja hanya ekspresi dari fase pencarian jati diri. Suatu hal wajar yang dialami setiap anak ketika berada pada masa transisi dalam perkembangan usianya.
Kenakalan khas anak remaja, tidak menimbulkan kekhawatiran guru, orang tua apa lagi keresahan masyarakat. Tetapi kini, kita harus mengelus dada melihat tingkah mereka yang makin garang.
Sekolah sebagai tempat pembentukan karakter tidak sepi dari perilaku menyimpang remaja khususnya pelajar. Bullying, tawuran atau perilaku negatif lainnya sering kita dengar. Alih-alih berharap anak-anak ini belajar dengan baik untuk cita-citanya, persoalan tersebut malah menghambat tujuan utama mempersiapkan masa depan. Karena tidak jarang perilaku tersebut menyeret mereka ke ranah hukum yang membuat harus berurusan dengan penjara.
Remaja
Masa remaja merupakan fase peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada periode ini banyak terjadi perubahan fisik maupun psikis. Ciri khas remaja memiliki emosi cenderung labil dan mood berubah. Hal tersebut membuat orang tua atau guru terkadang sulit memahami cara berpikir mereka.
Para ahli mengatakan masa remaja berada antara usia 12 sampai 21 tahun. Para ahli membaginya dalam tiga kelompokyaitu, masa remaja awal 12-15 tahun, remaja pertengahanpada usia 15-18 tahun dan remaja akhir di rentang 18-21 tahun.
Remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap hal-hal baru. Hal itu membuat mereka berani mencoba tanpa mempertimbangkan risikonya. Terkadang didasari keinginan mendapat pengakuan dari kelompok sebaya, menjadi penyebab mereka mudah terjerumus pada tindak kenakalan.
Menyalahkan sepenuhnya anak-anak ini tidaklah bijak. Jika ditilik ke belakang, apa yang menyebabkan remaja bersikap demikian sangatlah banyak. Dari faktor diri sendiri, lingkungan, pengaruh teman, orang tua, dan sebagainya. Umumnya, ahli sepakat penyebab utama maraknya kenakalan remaja berawal dari keluarga.
Sebagai pengajar, penulis punya pengalaman menangani anak bermasalah di sekolah kami. Kasusnya beragam, mulai dari yang ringan sampai berat. Bisa jadi, pengalaman serupa pernah dialami guru-guru lain dan menjadi tantangan sendiri bagi seorang pendidik.
Sebagaimana dikemukakan pakar psikologi, keluarga bermasalah berpotensi menjadikan perilaku anak-anaknya cenderung bermasalah. Penulis mengambil contoh kasus siswa terjerat narkoba. Pihak sekolah melakukan penyelidikan sederhana untuk mengetahui latar belakang anak terjerumus narkoba. Dari hasil penyelidikan diketahui, terdapat anggota keluarga dari anak ini terlibat narkoba. Dan lebih mencengangkan, orang tua yang diharapkan sebagai figur ideal juga menjadi pengguna barang haram tersebut. Meskipun tidak dimungkiri, bisa jadi dalam kasus ini ada anak terjerumus narkoba karena factor lain di luar kendali keluarganya.
Demikian juga siswa yang memiliki catatan buruk dengan kehadiran, hoby berkelahi, sering bolos, membantah guru atau lainnya. Setelah menggali pengalaman anak, komunikasi dengan orang tua serta dukungan fakta-fakta lain bisa dikatakan siswa berlaku demikian karena mereka berada dalam lingkungan keluarga yang kurang harmonis. Penyebabnya beragam, perceraian orang tua, persoalan ekonomi, minimnya kasih sayang dan perhatian serta komunikasi yang buruk antara anak dengan orang tua.
Laning, dalam buku Kenakalan Remaja dan Penanggulangannya (2018) mengungkapkan, keluarga memainkan peranan penting dalam pembentukan perilaku anak terutama remaja. Keluarga mampu menjadi penyebab munculnya kenakalan remaja. Menurut Laning, terdapat beberapa faktor dari keluarga yang membuat anak berperilaku menyimpang seperti keluarga broken, keluarga bisu serta pola pengasuhan.
Keluarga broken merupakan keadaan suatu keluarga yang tidak harmonis. Misalnya keluarga yang berantakan karena perceraian, ditinggal pergi ayah atau ibu,perselingkuhan atau sering menyaksikan pertengkaran di rumah. Biasanya anak yang hidup dalam keluarga seperti ini cenderung berperilaku menyimpang, emosional, senang berbuat onar atau menjadi pelaku bullying.
Keluarga bisu sebagai pemicu kenakalan pada anak. Keluarga bisu merupakan istilah yang menggambarkan kurangnya komunikasi bahkan hampir tidak ada komunikasi antar anggota keluarga. Kondisi demikian disebabkan rasa benci, marah atau tidak suka. Minimnya komunikasi juga disebabkan kesibukan orang tua. Meskipun tercukupi secara materi, namun anak-anak ini merasa ditelantarkan dan kesepian.
Setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Tanpa sadar mereka juga melakukan kesalahan dengan menerapkan pola asuh yang salah. Meskipun pada awalnya bertujuan baik, namun tidak semua anak mampu menjalani dan menerima. Pola asuh otoriter dan cenderung kaku mempengaruhi karakter anak. Anak menganggap kekerasan merupakan hal yang normal jika orang tua terbiasa menggunakan kekerasan sebagai hukuman. Akibatnya anak mudah berperilaku agresif karena tidak mampu mengelola emosi.
Sebaliknya, gaya pengasuhan orang tua yang permisif juga berdampak buruk terhadap perilaku anak. Anak tidak terbiasa dengan bimbingan, arahan maupun pengawasan dari orang tua. Akibatnya rentan melakukan pelanggaran karena tidak memiliki pengendalian diri yang baik.
Tidak diragukan lagi, keluarga merupakan kunci maju mundurnya sebuah generasi. Generasi cerdas berkarakter adalah karya dari peran pendidikan keluarga. Keluarga tempat anak tumbuh dan berkembang serta sebagai madrasah pertama baginya belajar nilai-nilai kehidupan. Merupakan kewajiban orang tua menghadirkan suasana rumah yang mendukung, mampu menjadi panutan dan tidak boleh dilupakan adalah kepedulian orang tua menanamkan nilai-nilai agama sebagai pondasi awal membentuk anak berperilaku mulia.