ALKISAH, dua hari yang lalu saya mengantar istri kontrol kesehatan berkala ke Rumah Sakit.
Sejak memasuki gerbang RS, dan ketika menyusuri koridor serta lorong-lorong antar blok suasananya terasa sangat nyaman.
Desain dan tata ruang RS yang dibangun oleh NGO Jerman pasca tsunami di Aceh itu memang membuat kita betah ketika berada di sana, apalagi bagi yang bukan sebagai pesakitan.
Mulai dari kebersihan, penataan ruang yang sangat apik dan lanskap lingkungan yang tertata asri, membuat pengunjung merasa nyaman berlama-lama di sana.
Apalagi di salah satu pojok RS yang terbilang luas itu ada Cafetaria yang menyediakan berbagai macam menu. Mulai dari makanan ringan seperti kue-kue, juga ada mie Aceh, martabak, pecal serta berbagai jenis minuman segar tersedia di sana.
Ya, Kantin dengan nuansa Cafe saja layaknya.
Dengan suasana RS yang senyaman itu, pantas saja tidak terasa kami berada di sana mulai sejak kedatangan pukul 11.00 hingga menjelang petang.
Waktu yang lumayan lama itu tak lain karena harus antri menunggu giliran dipanggil dokter spesialis untuk berkonsultasi.
Ada hal yang menarik ketika kami hendak meninggalkan RS, pada saat kami menuju pelataran parkir yang kebetulan tempat kendaraan kami berada agak jauh.
Sehingga kami pun bersepakat, sementara saya mengambil kendaraan, istri saya menunggu saja di depan salah satu gedung yang masih berada di dalam komplek RS tersebut.
Tak lama kemudian saya keluar dari areal parkir dan menyambangi istri yang sedang berdiri di dekat penjual buah-buahan.
Kami pun memutuskan untuk langsung saja pulang dan akan menunaikan shalat Ashar di rumah.
Dalam perjalanan pulang, istri saya mengawali cerita, bahwa ketika berdiri menunggu saya pergi ke areal parkiran tadi, ada pemandangan yang menarik perhatiannya.
Secara kebetulan ada satu keluarga yang baru saja keluar dari RS, dan mereka juga sedang menuju ke pelataran parkir.
Mereka terlihat berjalan santai beriringan, terdiri dari suami-istri dengan tiga orang anak yang masih belia, yang paling tua diperkirakan berusia 10 tahun dan dua adiknya berusia sekira 8 dan 6 tahun.
Kata istri saya, mereka berlima terlihat berjalan bersama dengan riang gembira, layaknya keluarga yang bersahaja namun penuh kehangatan.
Kendati mereka melintas di depan istri saya hanya sekilas lalu saja, tetapi istri saya sempat memperhatikan dan menangkap percakapan “ringan” diantara mereka.
Salah seorang anak yang ditengarai paling tua dari tiga bersaudara itu, tiba-tiba saja secara spontan bertanya pada sang ayah, “ayah, mobil kita dimana yah?”, katanya dengan wajah sumringah sambil sedikit tersenyum menggoda ayahnya.
Sang ayah pun menimpali, “oh mobil kita itu kan ada di sana”, kata ayah mereka dengan enteng dalam logat Aceh yang “kental”, tanpa ada kesan dibuat-buat.
Ketika saya keluar dari areal parkir dan menghampiri istri, rombongan keluarga yang terlihat “ceria” itu telah terlebih dulu berlalu, karena kendaraan mereka di parkir tidak terlalu jauh.
Yang mengejutkan istri saya, ternyata mereka berlima melintas di depannya dengan mengendarai becak barang, bukan mobil seperti yang diduga sebelumnya.
Mereka berlalu dengan wajah yang terkesan sangat gembira, sang ayah yang mengendarai becak yang mereka tumpangi dan ibu mereka duduk berboncengan di belakangnya.
Sementara anak-anak mereka bertiga duduk lesehan di atas bak becak, yang boleh jadi mereka gunakan untuk mencari nafkah sehari-hari.
Pemandangan itu membuat istri saya terharu, bahkan ketika menceritakan “momen indah” itu pada saya mulutnya seakan tersekat dan nyaris meneteskan airmata.
Kata istri saya, dia terharu sekaligus bangga bahkan juga diliputi rasa cemburu melihat secuil “pragmen” kehidupan yang mencerminkan nuansa “human interest” yang menggugah rasa itu.
Mengenang peristiwa yang disaksikannya secara tidak sengaja itu, kami pun berkesimpulan, bahwa ternyata kebahagiaan itu bisa saja hadir dalam bentuk yang sangat sederhana dan bersahaja.
Namun keceriaan dan kegembiraan mereka akhirnya “hilang” dari pandangan, manakala becak angkutan keluarga itu menyelinap di tengah keramaian lalu lintas yang mulai macet senja itu.
Dapat dimaklumi karena saat itu merupakan hari-hari menjelang memasuki bulan suci Ramadhan, sehingga geliat kota terlihat lebih “hidup” dibanding biasanya.
Apa yang mereka perlihatkan senja itu, sungguh merupakan ekspresi kebahagiaan yang sepertinya tak ingin mereka sembunyikan.
Sekelumit kisah itu tak luput mewarnai perbincangan kami di sepanjang perjalanan pulang, sehingga tanpa terasa akhirnya kami pun agak terlambat sampai di rumah.
Kebahagiaan yang hadir dalam kemewahan adalah sesuatu yang lumrah dan sangat manusiawi. Tetapi keceriaan yang hadir dalam kebersahajaan, sungguh merupakan sesuatu yang langka dalam kehidupan masa kini yang selalu diukur dengan parameter yang serba materialistik.
Ternyata kebahagiaan itu tidak selamanya ditentukan oleh limpahan kebendaan semata.
Tetapi sangat mungkin pula menghampiri hati dan jiwa setiap manusia yang ikhlas dalam menjalani kehidupan ini apa adanya, dengan senantiasa bersyukur atas nikmat dan anugerah Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Kebahagiaan itu adakalanya bukan hanya dari apa yang kita punya, tetapi lebih dari apa yang kita rasa.
Agaknya itulah tabir dari rahasia kehidupan ini yang hanya dapat kita singkap melalui tirai nurani yang berserah diri dan senantiasa bersyukur dalam menerima takdir Ilahi.
(Z.A -Banda Aceh, 23 Maret 2023).
#Kisah nyata, foto hanya ilustrasi.