Oleh: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute
Kita ini sebagai bangsa memang senang banget tawuran, baku hantam, adu jotos, atau bikin goro-goro. Anehnya, kalau saya pelajari idiom-idiom di berbagai khazanah perbendaharaan budaya lokal, utamanya Jawa, sama sekali tidak ada yang berkaitan dengan falsafah perang untuk menghadapi musuh.
Padahal falsafah perang itulah dasar penyusunan strategi dan siasat peperangan. Baik perang fisik maupun perang nirfisik. Baik perang militer maupun perang nonmiliter. Inilah mengapa sejarah perjuangan bangsa kita selalu menggambarkan kegagalan kita dalam kancah perang melawan musuh dari luar.
Pati Unus, sultan kedua Demak, gagal dalam ekspedisi menaklukkan Portugis di Malaka. Bukan karena kalah perang dalam benturan di arena perang, bahkan Pati Unus sudah gugur di tengah perjalanan.
Sultan Agung Mataram gagal menaklukkan Batavia yang dikuasai Belanda di bawah gubernur jenderal Peterzoen Coen, juga bukan karena kalah dalam perang hadap hadapan ketika memasuki Batavia, melainkan kalah sebelum memasuki Batavia. Ketika dukungan logistik buat sultan Agung berhasil dilumpuhkan oleh Belanda di tengah perjalanan.
Sekelumit kisah sejarah ini menggambarkan bahwa bangsa kita bukan kalah teknologi militer, tapi gagal mengelola dan mendayagunakan kekuatan yang dimilikinya, baik kasatmata maupun yang tidak kasatmata.
Coba perhatikan Cina. Khazanah dan perbendaharaan lama negeri kain sutra ini, kaya akan falsafah perang yang ditulis oleh para penasihat strategis kerajaan seperti misalnya Sun Tzu.
Sedemikian rupa kayanya khazanah Cina mengenai falsafah perang, bahkan Carl von Clausewitz, pemikir dan konseptor perang Jerman. Juga merujuk pada Sun Tzu, ketika menulis bukunya yang monumental On War.
Cina kaya akan idiom-idiom budaya yang bisa jadi inspirasi untuk menyusun konsepsi perang. Idiom di sini bisa berupa peribahasa atau ungkapan. Misalnya, Man tian guo hai artinya Mengecoh Langit Menyeberangi Lautan.
Ini adalah falsafah perang yang kemudian oleh para panglima perang Cina pada masa dinasti Chen, menjadi dasar menyusun strategi perang. Bagaimana untuk mengelabui pandangan pihak musuh, Raja Chen Shubao, menyusun Falsafah Perang yaitu menyembunyikan sesuatu dari penglihatan musuh, dengan cara bersembunyi dalam keterbukaan.
Sun Tzu, juga punya idiom budaya yang kemudian jadi dasar menyusun falsafah perang. Misal: Siapa yang mengetahui seni pendekatan langsung dan tak langsung akan menang. Inilah seni bermanuver.
Idiom Cina ini oleh Sun Tzu dikembangkan sebagai falsafah perang yaitu: Wei wei jiu zhao. Menyerbu Kerajaan Wei untuk Menyelamatkan Kerajaan Zhao. Bagaimana praktiknya ini?
Ide dasar Sun Tzu adalah mengalahkan musuh melalui konfrontasi secara tidak langsung. Di sinilah Sun Ben, yang masih keturunan dari Sun Tzu, menerapkan strategi menyerbu kerajaan Wei demi menyelamatkan kerajaan Zhao, negara mana Sun Ben mengabdi.
Suatu ketika, raja Wei mengirim pasukan militer menyerbu kerajaan Zhao di bawah pimpinan panglima perang Pang Juan. Sun Ben, yang waktu itu penasihat militer raja Zhao, bukannya mengerahkan tentara kerajaan Zhao secara frontal menghadapi pasukannya Pang Juan. Tapi malah mengerahkan pasukannya menyerbu ibu kota Wei, negeri sang penyerang.
Akibatnya, raja Wei terkecoh, kontan memanggil pulang Pang Juan dan pasukannya kembali ke Wei untuk menghadapi skema serangan yang disusun Sun Ben. Di sinilah Pang Juan terpancing karena gagal membaca falsafah perang Sun Ben.
Begitu pasukan Pang Juan beserta 20 ribu prajuritnya kembali ke ibukota Wei, maka Sun Ben sudah siap menghadang pasukan Pang Juan sepanjang rute pulang pasukan Pang Juan ke Wei. Di sanalah Sun Ben menghabisi pasukan Pang Juan di rute perjalanan kembali tersebut.
Strategi ini sukses bukan saja semasa kekaisaran Zhao. Mao Zhe Dong juga terinspirasi oleh falsafah perang Sun Tzu tersebut, ketika menaklukkan pasukan militer Jenderal Chiang Kai Shek. Seperti juga Sun Ben yang melancarkan serangan tak terduga ke wilayah musuh, yaitu jantung pertahanannya sendiri, ibukota Wei, Mao juga sama. Menyerang ke daerah yang justru merupakan daerah yang sepenuhnya dikontrol jendral Kai Shek.
Kata kunci adalah falsafah perang. Bahwa dalam perang ada yang namanya konsentrasi atau pemusatan kekuatan, namun memecah konsentrasi kekuatan namun dengan daya kekuatan yang tetap sama, juga penting.
Memusatkan kekuatan yang jadi keunggulan kita sendiri, seraya mengambil keuntungan dari kelemahan lawan. Dan satu lagi. Dalam peperangan, sering kali berhasil dengan cara memusatkan perhatian dan prioritas pada satu aspek yang kelihatannya remeh, namun sangat penting dan vital.
Dalam bisnis pun falsafah perang yang bertumpu pada strategi menyerbu Wei untuk menyelamatkan Zhao juga diterapkan oleh Cina sekarang menghadapi dominasi Barat. Misal?
Ketika sebuah perusahaan pendatang baru dalam industri komputer, Sun Microsystem, bermaksud membuka jalan masuk ke industri komputer yang sudah dikuasai perusahaan komputer raksasa IBM, Sun Microsytem menerapkan falsafah perang menyerbu Wei menyelamatkan Zhao.
Maka strategi Sun Microsystem, menciptakan peluang khusus, membangun stasiun kerja (workstation), dengan menjadi produsen utama stasiun kantor penghubung yang dikitari minikomputer yang kuat.
Perusahaan Lembah Silikon (Silicon Valley) lainnya, Netframe System, juga menerapkan strategi atas dasar falsafah menyerbu Wei menyelamatkan Zhao. Yaitu menciptakan “komputer penghidang” yang khusus dirancang untuk mengkoordinasikan aktivitas di antara komputer pribadi yang berjaringan atau stasiun kerja. Suatu pekerjaan yang sebelumnya membutuhkan adaptasi dari mesin-mesin dengan kegunaan yang lebih umum.
Pada tataran ini, falsafah perang menyerbu Wei menyelamatkan Zhao, senafas dengan falsafah perang Cina lainnya yaitu Wu zhong sheng you.
Bagaimana menciptakan sesuatu dari ketiadaan. Lagi-lagi tidak seperti budaya lokal kita, Cina kaya idiom budaya yang bisa mengilhami penyusunan falsafah perang. Misalnya ungkapan atau peribahasa Cina, “Segalanya dalam alam semesta diciptakan dari sesuatu, dan sesuatu itu diciptakan dari ketiadaan.”
Atas dasar falsafah perang tersebut, Apple juga menyerap inspirasi dari idiom budaya Cina tersebut, ketika membangun wilayah kekuasaannya di bidang aplikasi pendidikan yang sebelumnya diabaikan dan tidak terpikirkan oleh para pelaku bisnis konvensional.
Bisa jadi, tidak adanya idiom budaya yang bisa jadi inspirasi dan bahan penyusunan falsafah dan strategi perang di khazanah dan perbendaharaan lama budaya lokal kita, bukan saja kalah di militer. Bahkan kita sekarang juga kalah di bidang-bidang strategis akibat tidak mampu mengantisipasi serangan musuh. Dan tidak bisa membaca falsafah perang pihak lawan.
Sehingga kita juga kalah dalam perang nirmiliter di ranah politik, ekonomi, hukum, bahkan juga di bidang bisnis dan teknologi. Pesan sentral yang mau saya sampaikan, kemenangan dalam sebuah peperangan bukan ditentukan oleh kualitas dan kecanggihan teknologi. Tapi punya atau tidaknya yang namanya Falsafah Perang.