Oleh Sri Rahayu
Semua kita pasti kenal dengan sepeda. Alat transportasi tanpa bahan bakar yang dikemudikan dengan setang, memiliki sadel dan digerakkan dengan cara di kayuh menggunakan pedal. Pedal ini terhubung dengan gulungan rantai yang menyatu pada pangkal roda belakang. Sepeda di kenal juga dengan kereta angin. Mungkin karena kalo di kayuh dengan cepat akan terasa dingin dan menimbulkan suara wusshh… wusshhh… Entahlah, cerita ini aku dapatkan waktu kecil dari embah Akung, begitulah panggilanku untuk kakekku. Kata sepeda sendiri berasal dari bahasa perancis yaitu velocipede. Dengan berbagai macam namadan sebutan, sepeda menjadi alat transportasi yang umum dipakai oleh masyarakat di Indonesia sejak jaman penjajahan Kolonial Belanda. Saat itu sepeda yang paling terkenal adalah sepeda onthel, ada yang menyebutnya sepeda jengki yang berasal dari kata yankee sebutan dari Amerika. Ada juga yang menyebutnya sepeda kumbang bahkan sepeda janda.
Pada jaman itu sepeda menjadi alat transportasi para pejabat di pemerintahan Hindia Belanda. Harga sepeda pada masa itu masih sangat mahal. Hanya pejabat pemerintah, saudagar kaya dan orang-orang tertentu saja yang memakai sepeda sebagai alat transportasi. Para demang ataupun lurah menjadi sangat berwibawa dengan pakaian jariknyamengendarai sepeda melintasi jalan-jalan kampung. Selain itu sepeda juga menjadi alat transportasi untuk mengantar surat di kantor pos. Pak pos mengantar surat dari rumah ke rumah, dengan dua buah kantong surat yang terbuat dari terpal, dipasang pada boncengan belakang dan akan membunyikan bel sepedanya sebagai pertanda ada surat yang sampai. Ada juga beberapa sepeda pos yang ditambahkan rangka besi berbentuk kotak didepannya untuk meletakkan barang-barang ataupun paket selain surat.
Aku baru mengenal yang namanya sepeda onthel saat aku duduk di Sekolah Dasar, karena melihat milik Wak Ali tetangga sebelah rumahku. Wak Ali bekerja sebagai PNS di kantorpemerintahan. Wak Ali biasa memakai sepeda untuk pergi ke kebun untuk membawa buah kapuk yang sudah kering dan cengkeh pada saat musin panen cengkeh tiba. Setiap siang selepas pulang kantor, Wak Ali bersiap berangkat ke kebun. Dengan memakai topi bulat anyaman pandan dan membawa karung goni besar berwarna coklat yang terbuat dari serat rami/jute serta satu botol minuman yang digantung di setang sepedanya. Waktu itu aku dan adikku baru dibelikan sepeda oleh bapak sebagai hadiah karena naik kelas. Walaupun sepeda bekas tapi membuat hati kami membuncah bahagia. Bagaimana tidak, bertahun-tahun kami memimpikan memiliki sepeda sendiri. Aku dibelikan sepeda mini, dengan setang berbentuk huruf Y dihiasi rumbai-rumbai warna warni di ujungnya yang sudah lepas beberapa helai dan memiliki keranjang kecil di depan setang yang sudah sedikit berkarat. Dibelakang sadel terpasang besi putih sebagai boncengan yang juga sudah sedikit berkarat yang bertumpu pada besi di roda belakang. Walaupun bekas, tapi masih nyaman untuk dinaiki. Sementara adikku dibelikan sepeda BMX dengan setang lurus tanpa boncengan belakang. Ku lihat Wak Ali mendorong sepeda onthel keluar dari rumahnya. Aku langsung berteriak, Waaak… aku juga udah punya sepeda, seruku. Wak Ali tertawa sambil menghisap gulungan rokok daun nipah dan menghembuskan asapnya ke udara. “Sepeda apanamanya tu, tanya Wak Ali. Ini sepeda mini Wak, kalo adik punya namanya sepeda BMX, aku menjelaskan dengan bangga.Kalo sepeda wawak sepeda apa namanya tanya ku lagi. Ooooo…. Ini namanya sepeda janda, kata Wak Ali sambil tertawa terkekeh kekeh. Waktu itu aku hanya melongo mendengarnya karena tidak mengerti apa itu janda.
Adalah sebutan sepeda kumbang. Saya sendiri bingung dengan nama itu. Pernah saya bertanya dengan bapak, “koq sepedanya di kasih nama kumbang” ? Waktu itu bapak tertawa mendengar pertanyaan ku. Lalu bapak menjelaskan bahwa sepeda itu diberi nama kumbang karena suaranya berdengungseperti kumbang. Loh… koq bisa pak ? bukannya suara sepeda itu kalo lagi kenceng bunyinya wushh…wushh… gitu, seperti kata embah. Kata ku lagi menegaskan cerita yang kudengar dari mbah Akung. Bapak kembali tertawa. Iya… kalo bunyinya wushh.. wusshh gitu namanya sepeda angin. Nah, kalo sepeda kumbang bunyinya berdengung seperti kumbang, karena sepedanya sudah dipasang dinamo agar tidak capek di kayuh dengan pedal. Jadi kalo dinamonya nyala maka bunyinya akanberdengung. Tapi saat dinamonya mati maka sepeda akandikayuh kembali seperti biasa. Bapak menjelaskan panjang lebar. Aku hanya bisa ber Oh panjang mendengar penjelasan bapak.
Pada tahun 70-an sepeda kumbang sangat akrab dengan kehidupan seorang guru. Begitu hebatnya sepeda kumbang sampai-sampai penyanyi iwan fals mengabadikannya dalam sebuah nyanyian. Dan sepeda kumbang ini sangat lekat dan identik dengan Bapak Omar Bakrie. Dikisahkan bahwa gaji guru yang saat itu sangat pas pasan sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bapak Omar Bakrie menjadikan sepeda sebagai kendaraan untuk pulang pergi sekolah menunaikan kewajibannya. Beliau melintasi jalan tanah yang berlubang karena memang pada jaman itu belum tersentuh aspal.Kehadiran sepeda sangat membantu para guru, terutama guru-guru yang berada di pedalaman. Sepeda menjadi penghubung dan mempercepat akses antar satu daerah dengan daerah lainnya, yang notabene pada jaman itu harus dilalui dengan berjalan kaki.
Seiring dengan perkembangan industri otomotif dan transportasi, fungsi sepeda sedikit demi sedikit bergeser dan digantikan dengan alat transportasi bermesin. Bahkan kemudian sepeda sempat menghilang dari kehidupan sehari-hari. Saat itu menggunakan sepeda seperti layaknya orang kuno dan ketinggalan jaman. Hanya beberapa gelintir orang saja yang berada di pelosok dan pedalaman yang masih menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Tahun-tahun berikutnya, seiring dengan meningkatnya perubahan iklim dan global warming karena meningkatnya gas rumah kaca, pemerintah mulai mengkampanyekan Go Green. Emisi kendaraan bermotor menjadi salah satu penyebab gas rumah kaca sehingga kehadiran sepeda mulai dilirik kembali.
Namun sayang, hal ini hanya menjadi lifestyle dan trend saja. Meskipun komunitas sepeda sudah mulai banyak terbentuk, tapi hanya sebatas untuk kumpul-kumpul dan menyalurkan hobi.Karena secara umum masyarakat kita dalam keseharian belum kembali membudaya dengan sepeda. Bagaimana tidak, sehari-hari kita tidak bisa lepas dari kendaraan bermotor. Ke sekolah, ke pasar, ke kantor, ke rumah, ke kede depan lorong, ke mesjid yang masih di dalam komplek, bahkan ke rumah tetangga sebelah. Gowes hanya satu jam seminggu sekali untuk kumpul-kumpul dan menyalurkan hobi dan berharap Go Green bisa terjadi.
Namun kembali ke kata pepatah, apalah arti sebuah nama. Sepeda onthel ataupun sepeda jengki ataupun sepeda kumbang dan bahkan sepeda janda, apapun itu sebutannya, yang pasti saat ini sepeda kini sangat digemari dan menjadi idola. Dari rakyat, pejabat sampai wakil rakyat. Trend bersepeda menjadi gayahidup, bukan lagi dijadikan sebagai alat transportasi tapi lebih kepada pemenuhan kepuasan, hobi dan koleksi. Apalagi bagi si sepeda onthel atau sepeda jengki, menjadi benda antik, unik dengan harga tak tertandingi. Begitupun dengan nasib si sepeda kumbang, legendanya hilang ditelan jaman. Ia hanya menjadi bagian dari hobi dan koleksi para muridnya Omar Bakrie. Yang hanya muncul saat car free day seminggu sekali. Mungkin sudah saatnya bagi kita masing-masing memikirkan untuk “back to onthel” Semoga semangat sepeda kumbang Omar Bakrie dapat menginspirasi kita untuk membantu mengurangi Global Warming. Ayoo Go Green dengan Onthel..!!
Sri Rahayu, S.Sos. dilahirkan di Sabang, sebuahkota kecil di Pulau Weh yang terletak di ujungbarat Pulau Sumatera pada tanggal 15 Mei 1972.Anak ke empat dari enam bersaudara. Memilikihobi membaca dan traveling. Menyelesaikanpendidikan SD sampai SMA di Kota Sabang. Setamat dariSMA, pada tahun 1991 melanjutkan pendidikan pada D-III Fakultas Ekonomi Program Studi PDPK (Program Diploma Pendidikan Kesekretariatan) Universitas SyiahKuala-Banda Aceh. Setelah menamatkan pendidikanDiploma, langsung diterima bekerja di Exxon Mobil Oil Indonesia. Karena kondisi keamanan yang tidak kondusif, pada tahun 2000 penulis memilih resign dari pekerjaandan kembali ke kampung halaman. Pada tahun yang samapenulis mulai mengabdikan diri di dunia pendidikantepatnya di SMK Negeri 1 Sabang. Sempat diangkatmenjadi guru kontrak pada Dinas Pendidikan Aceh daritahun 2001 sampai tahun 2004. Pada tahun 2005 diangkatmenjadi guru tetap di SMK Negeri 1 Sabang untukkompetensi keahlian Perkantoran, dan dilanjutkan denganmengambil program Akta Mengajar di UniversitasTerbuka pada tahun 2007. Pendidikan Sarjanadiselesaikan di STIA Bandung, program studiAdministrasi Negara pada tahun 2009 dalam program beasiswa Pemerintah Aceh. Sampai saat ini masihmengabdikan diri pada dunia pendidikan di SMK Negeri 1 Sabang sebagai guru pada jurusan Kompetensi KeahlianOtomatisasi dan Tata Kelola Perkantoran.
WA/Telegram:08126976399
Email :srirahayualdeni@gmail.com