Aku dan Sepedaku, Antara Harapan dan Kenyataan

Tulisan dalam rangka Lomba Menulis Essai Majalah POTRET yang diselenggarakan oleh CCDE, POTRET Gallery, Majalah POTRET dan Majalah Anak Cerdas dengan dukungan Toko Serikat Bike dan Jasaroda. Tulisan ditayangkan Apa adanya dari penulis, tanpa diedit oleh pihak penyelenggara. Silakan baca dan berikan komentar terhadap tulisan dan berikan like

Oleh: Zulfadli Kawom

Aku berharap ayah membeli sepeda baru buatku untuk ku kayuh ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) setelah tamat Sekolah Dasar (SD), tapi ayah membeli sepeda sudah pernah dipakai tapi bermerk, phoenix di pasar Geurugok pada agen sepeda kenalannya.

Kini langlahku makin panjang, setiap pulang sekolah, daya jelajahku makin jauh menjangkau luar kampungku, melewati persawahan, perbukitan bahkan laut, pergi ke rumah teman sekolah, rumah saudara bahkan tempat-tempat untuk bermain. Aku mulai menghafal jalan dan lorong-lorong tikus dan landmark-landmark sebagai penanda, misalnya kedai, mesjid, tugu, paberik, bahkan pohon-pohon besar, biasanya di tempat kuburan umum.

Aku sangat ingin sekali mengayuh sampai jauh, Krueng Geukuh, Lhok Weeng, Jamuan, PT.KKA tercapai, jaraknya sekitar 12 batu dari rumahku.

Hingga aku target Kota Lhokseumawe berjarak 50 Batu dari kamlungku,  dan itu tercapai ketika Suloi yang tinggal dengan neneknya mengajak ke rumah orang tuanya yang telah pindah ke Loh Kala, Blang Panyang.

Pagi-pagi kami mulai meminjam pompa di Bengkel Sepeda Apa Raoh dan memompa ban sampai keras. Berangkatlah kami ada empat sepeda, Yadi, Midi dan Amat.

Kami telah melewati Krueng Geukuh, baru 10 Batu, Midi tak sanggup lagi mengayuh, ke lelahan lalu mereka balek. Kini tinggal Amad, Yadi saja. Ternyata sampai Batuphat mereka menyerah. Tinggallah aku dan Suloi yang terus komit.

Kami telah mengayuh hampir tiga jam secara bergantian di jalan nasional Medan-Banda Aceh, sudah mencapai 45 Batu. Akhirnya sampailah kami dirumah orang tua Suloi. Aku sangat senang, rumahnya di perbukitan, nampak Kota Lhokseumawe dan kapal tangker pengangkut migas, kami berlari lari dibukit yang banyak ditumbuhi pohon jomblang dekat Gua Jepang.

Karena sudah sore kamipun pamit pulang ke Krueng Mane pada orang tua Suloi. Di jalan sudah kemalaman, sepeda tanpa lampu terus ku kayuh. Tepat jam sepuluh malam aku sampai di kampung, aku tidak berani pulang kerumah.

Aku kini mulai akrab dengan namanya gemuk, pompa, minyak tanah, dan beberapa bagiam sepeda yang terkadang harus kuganti sendiri ketika rusak.

Apa Mut adalah montir sepeda terkenal di daerah kami, selain beberapa yang lain. Aku selalu memperhatikan saat mereka membongkar pasang agar aku bisa melakukan sendiri untuk menghemat biaya.

Ada juga teman-teman yang tidak punya sepeda ke sekolah, bayangkan tiap pagi harus jalan kaki satu kilometer bahkan dua kilometer lebih, terkadang mereka kutemukan di depan rumahnya, di tengah jalan dan ‘syeet” mereka seperti terlatih meloncat dan berdiri pada tumpuan as belakang yang agak panjang, sengaja aku memasang baut panjang supaya teman-teman juga aku sendiri kalau letih mengayuh bisa berdiri di belakang, terkadang kalau petualangya jauh, bisa berjam-jam berdiri di belakang setelah ganti supir.

Exit mobile version