Oleh Cici Lestari
“Kayoh laju bek dile piyoh” merupakan sepenggal kalimat dalam dialek bahasa Aceh yang berarti „Teruslah Mengayuh Jangan Dulu Berhenti‟. Kalimat yang sederhana namun sejalan dengan entitas program 1000 sepeda yang mulai dicanangkan sejak beberapa tahun silam. Kata kayoh dalam bahasa Aceh umumnya digunakan untuk menunjukkan aktivitas mengayuh sepeda. Di zaman sekarang dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat, penggunaan sepeda sebagai transportasi utama jarang ditemui. Terlebih di kota-kota besar, penggunaan sepeda kini lebih menekankan kepada fungsi bersepeda terhadap kesehatan tubuh atau gaya hidup serta sebagai salah satu mode transportasi ramah lingkungan. Hal tersebut memang benar jika ditinjau dari aspek kelebihan sepeda dibandingkan mode transportasi lainnya. Namun, penggunaan sepeda bagi beberapa individu tidak dilakukan demi mencapai tujuan-tujuan tersebut secara langsung. Khususnya bagi masyarakat pedesaan dengan status ekonomi menengah ke bawah atau yang sering disebut dengan istilah keluarga „kurang mampu‟dimana sepeda digunakan dengan tujuan utama sebagai sarana transportasi untuk memudahkan akses ke berbagai aktivitas harian seperti bersekolah, bekerja, belanja kebutuhan harian dan lain sebagainya.
Program 1000 sepeda yang dicanangkan oleh bapak Tabrani Yunis sebagai Direktur salah satu Lembaga Swadya Masyarakat (LSM) Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh telah dilakukan secara kontinu dengan tujuan memberikan bantuan sepeda dan kursi roda bagi anak-anak dari kaum dhuafa, yatim, piatu dan disabilitas di seluruh wilayah provinsi Aceh. Sejak program ini dirilis hingga sekarang lebih dari 180 anak sudah merasakan manfaat dari program ini. Program yang dilatarbelakangi karena rasa kepedulian yang begitu tinggi dari founder yaitu bapak Tabrani dan tim CCDE telah berkontribusi secara nyata untuk memberikan dukungan kepada mereka. Aktivitas sehari-hari yang tidak dapat dipisahkan dari sarana transportasi menjadikan program ini patut terus di apresiasi. Anak-anak dari keluarga dengan status ekonomi ke bawah, yang harus berjalan kaki dengan jarak yang lumayan jauh atau bergantung kepada transportasi umum, tentunya akan sangat terbantu dengan adanya program ini. Bantuan sepeda akan memotivasi mereka untuk terus bersemangat dalam menuntut ilmu. Sembari mengayuh sepeda mereka dapat menuju sekolah atau balai-balai pengajian untuk mengenyam pendidikan agar kelak dapat mewujudkan 1000 asa dan impian.
Sebagai seorang anak yang juga berasal dari keluarga dengan status ekonomi menengah kebawah, saya dapat membayangkan bagaimana kebahagiaan mereka yang membutuhkan dengan adanya program ini. Saya kembali mengingat momen-momen ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Saat itu, setiap harinya sepulang sekolah kami harus menempuh jarak sekitar 2 km dengan berjalan kaki. Melelahkan tentunya, belum lagi nantinya harus mengikuti pengajian malam dan lain sebagainya. Sehingga ketika mengetahui adanya suatu program yang bergerak untuk memfasilitasi anak-anak yang membutuhkan bantuan berupa sepeda, saya sangat terkesan. Ternyata di zaman dimana semua orang sibuk dengan berbagai urusan pribadi dan terkadang lupa terhadap sesama, kelompok-kelompok seperti CCDE justru sangat bersemangat untuk membantu mereka sesuai porsi yang memungkinkan. Sebagaimana mana kalimat “kayoh laju bek dile piyoh” maka begitulah semangat yang ditularkan oleh CCDE kepada anak-anak penerima bantuan ini.
Ketika membaca dari beberapa artikel yang membahas terkait program 1000 sepeda yang dirilis oleh CCDE, saya sempat bertanya-tanya “Lantas mengapa harus sepeda dan mengapa tidak berupa santunan dalam bentuk uang atau keperluan sekolah lainnya?”. Akhirnya saya menemukan jawaban setelah membaca salah satu artikel yang ditulis oleh bapak Tabrani Yunis, yang menyebutkan bahwa awalnya santunan yang diberikan memang dalam bentuk uang. Namun ternyata santunan tersebut justru tidak dimanfaatkaan untuk kepentingan penunjang pendidikan, tetapi digunakan untuk membeli smartphone dan lain sebagainya. Sehingga akhirnya, santunan yang diberikan diganti menjadi dalam bentuk satu unit sepeda yang dapat digunakan oleh anak-anak untuk bersekolah dan aktivitas lainnya. Sehingga penerima bantuan ini pun dipastikan benar-benar anak-anak dari keluarga kurang mampu, yatim atau piatu yang sesuai dengan spesifikasi kelayakan penerima bantuan.
Sebagaimana tujuan utamanya program ini yaitu pemberian sepeda sebagai sarana transportasi bagi mereka menuju sekolah. Maka jarak lokasi tempat tinggal dan sekolah juga menjadi salah satu indikator kelayakan penerima bantuan. Namun menurut saya pribadi, sedikit disayangkan ketika mencoba mencari artikel atau semacam cerita dari anak-anak penerima bantuan ini, saya tidak dapat menemukannya sama sekali. Padahal sepertinya akan lebih mengesankan jika cerita atau kisah-kisah inspiratif dari mereka diunggah di platform media sosial atau juga ditulis di website potret.com. Sehingga akan lebih banyak orang mengetahui program ini dan mungkin dapat menggerakkan lebih banyak pihak yang tertarik untuk ikut mengambil peran dalam mewujudkan cita-cita 1000 sepeda bagi anak-anak pejuang asa. Kayuh menuju asa, kayoh laju bek dile piyoh. Semoga CCDE dan Program 1000 sepeda dapat terus bergerak membantu sesama kedepannya.
Tentang Penulis
Cici Lestari merupakan perempuan kelahiran Sabang, 11 Maret 2002. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di program studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala. Penulis sangat membuat beragam karangan tulisan, terutama puisi dan esai. Penulis aktif memposting beberapa puisi hasil karangannya di akun instragram pribadi @cicilestari1103.