Oleh Ilhartuty, S.Si, M.Si
Guru SMP Negeri 1 Baitussalam, Aceh Besar
Siapa yang masa kecilnya dihabiskan dengan bersepeda? Pastinya hampir semua pernah mengayuh sepeda bukan? Luka di kiri kanan lutut menjadi pemandangan yang lazim bagi anak-anak yang sedang belajar bersepeda. Konon, obat merah pun menjadi andalan para ibu ketika sang anak mengeluh kesakitan.
Namun, dibalik rasa sakit yang ada tercipta kebahagiaan tak terkira. Ketika kemampuan bersepeda sudah memenuhi prasyarat, waktu yang ada seolah tak pernah cukup untuk memuaskan keinginan untuk terus dan terus mengayuh sepeda. Senyum kemenangan pun terpancar dari wajah-wajah tak berdosa.
Ada kalanya sepeda menjadi barang yang dijanjikan saat meraih prestasi tertentu di sekolah atau bahkan sebagai kado ulang tahun. Tentu saja iming-iming ini dapat memotivasi anak untuk lebih giat dalam belajarnya agar janji tersebut bukan hanya sekadar isapan jempol belaka.
Belakangan bersepeda atau sekarang dikenal dengan istilah gowes menjadi gaya hidup bagi kalangan tertentu. Hari Sabtu dan Minggu menjadi momen bersepeda bareng keluarga atau dengan komunitas tertentu yang berakhir di warung kopi atau kafe sebagai ajang tempat nongkrong.
Gowes kembali mencuri perhatian banyak khalayak di kala pandemi melanda bumi nusantara. Adanya kebijakan pemerintah yang membatasi gerak dan penutupan fasilitas umum menyebabkan masyarakat mencari alternatif lain untuk tetap bisa berolahraga. Olahraga menjadi kunci agar tubuh tetap sehat dan terhindar dari virus Corona yang menghantui pikiran semua orang.
Pengalaman bersepeda bagi sebagian orang mungkin hanya secuil dari pengalaman yang pernah dirasakan dalam hidupnya. Tetapi bagi anak-anak yang terlahir dari keluarga serba kekurangan sepeda seolah menjadi barang mewah yang tidak termasuk dalam daftar list yang wajib ada.
Masa kecil terlewatkan tanpa pernah merasakan sensasi mengayuh sepeda ataupun balapan sepeda. Mereka bermain hanya dengan mengandalkan fisik seperti petak umpet, bermain guli atau bahkan tidak punya kesempatan bermain karena harus bekerja membantu orang tua.
Potret kehidupan seperti ini masih dijumpai di desa-desa pedalaman. Tidak dimungkiri kemiskinan masih menggerogoti bangsa kita meski sumber daya alam melimpah di sekitar. Bahkan Aceh dinyatakan sebagai provinsi termiskin di pulau Sumatra. Miris memang tapi itulah kenyataan yang terbentang di depan mata. Masing-masing kita hanya berpikir cara agar kehidupan tetap berlanjut esok hari dan anak-anak tetap dapat bersekolah.
Maka tidaklah heran jika kita masih menemukan anak-anak yang berjalan kaki hingga beberapa kilometer hanya dengan mengandalkan lutut bergoyang dengan alas kaki sekadarnya. Anak-anak ini tidak punya pilihan selain menjalani kehidupan dengan belajar bersabar dan pasrah dengan semua takdir-Nya.
Ada juga anak-anak yang mengayuh sepeda butut untuk mengejar masa depannya. Sosok inspiratif Lintang yang telah diangkat dalam film layar lebar Laskar Pelangi berhasil mencuri perhatian penonton sehingga dinobatkan sebagai film dengan kategori jumlah penonton terbanyak keempat dalam sepanjang sejarah perfilman Indonesia.
Tokoh Lintang yang bersepeda menempuh puluhan kilometer menuju sekolah dengan melewati beragam tantangan menyadarkan kita betapa pendidikan hanya milik mereka yang bergelimang harta. Kemiskinan membatasi pikiran dan gerak untuk menampilkan potensi besar yang tersembunyi dalam diri.
Ada juga kisah Denias yang kabur dari rumah dan pergi dari kampungnya demi mencapai keinginan besarnya untuk bersekolah. Kisah anak Papua ini terdapat dalam film Denias yang juga mendulang sukses di masa pemutarannya di bioskop-bioskop di berbagai kota di Indonesia.
Pendidikan seharusnya menjadi hak semua warga negara seperti tercantum dalam pasal-pasal UUD tahun 1945. Pendidikan sebagai bekal menghadapi masa depan yang tidak bisa diprediksi oleh siapa pun. Melalui pendidikan juga peradaban sebuah bangsa akan jauh lebih baik.
Berjalan kaki beberapa kilometer pulang pergi sekolah bukan tanpa bahaya. Apalagi jika sendirian. Ancaman kekerasan seksual dan kriminal mengintai anak-anak sekolah. Akankah kita berdiam diri menyaksikan kesenjangan ini? Atau malah tidak pernah peduli dengan semua kenyataan yang terpampang di depan mata.
Kondisi memprihatinkan yang terdapat hampir di semua kabupaten provinsi Aceh inilah yang pada akhirnya menggerakkan lembaga CCDE(Center for Community Development and Education) untuk ikut berpatisipasi agar pendidikan tetap menjadi kepingan kehidupan bagi anak-anak yang kurang beruntung ini.
CCDE merupakan sebuah lembaga yang menitikberatkan programnya pada dua hal yaitu pengembangan masyarakat dan pendidikan. Salah satu programnya adalah gerakan 1000 sepeda dan kursi roda yang diluncurkan pada tanggal 11 Januari 2012.
Program 1000 sepeda dan kursi roda ini diperuntukkan bagi anak yatim,piatu, anak miskin dan disabilitas yang ada di Aceh. Harapannya anak-anak tersebut dapat bersekolah meski tidak ada fasilitas transportasi umum atau ketiadaan alat transportasi yang dimiliki anak tersebut.
Hampir semua kabupaten di Aceh menjadi tujuan CCDE menyalurkan bantuan. CCDE dipercayakan untuk mengalirkan bantuan-bantuan dari para donatur, termasuk dari warga Denmark. Beberapa daerah penerima bantuan seperti kabupaten Aceh besar,Krueng sabe, Panga di Aceh jaya.
Kabupaten Aceh barat daya meliputi beberapa kecamatan yaitu Babah rot, Kota bahagia, Blang pidie dan Manggeng. Untuk kabupaten Aceh selatan meliputi daerah Labuhan haji dan Trumon.
Program 1000 sepeda menumbuhkan rasa sensivitas bagi masyarakat lain agar lebih peka terhadap lingkungan. Sedikit yang kita berikan tetapi bermakna besar bagi mereka. Lihatlah bagaimana wajah-wajah bahagia penerima bantuan saat sepeda diserahkan. Ada Yuyun, Siti julaiha, Fitriani, Salsabila dan sederet nama lainnya yang akan terus bertambah seiring dengan bantuan yang bisa kita berikan.
Mari kita ambil bagian dalam program kemanusiaan ini dengan mulai melakukan sedikit aksi nyata seperti ikut menyebarkan informasi kegiatan CCDE di media sosial kita, Follow akun Instagram yang berkaitan dengan program CCDE serta membuat tulisan tentang kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh CCDE yang berkaitan dengan program ini.
Semakin banyak yang tahu manfaat akan program ini kemungkinan bantuan juga akan terus berdatangan, sehingga berdampak akan semakin banyak pula anak-anak Aceh dapat mengejar impiannya dengan bersekolah.
Penulis merupakan pegiat literasi yang tergabung dalam beberapa komunitas seperti Joeragan Artikel, Arunika dan WIN.
Biodata Penulis
Nama : Ilhartuty, S.Si, M.Si
Profesi : Guru di SMPN 1 Baitussalam Aceh Besar
Alamat : Kp. Mulia Banda Aceh
Email : ilhartuty@gmail.com