Oleh Farizal Sikumbang
(Buku adalah gudang ilmu,Jendela dunia dan membaca adalah kuncinya)
Sekitar tahun 1990-an, saya menikmati sekali membaca buku-buku dari sebuah kios buku yang ada di tempat saya tinggal di Kota Tapaktuan. Di kios buku tersebut menyediakan khusus buku-buku novel yang sifatnya disewakan. Satu buku novel pemilik kios buku menetapkan tarif kepada pembaca senilai Rp.500-Rp. 1000, tergantung jenis bukunya. Antusias pembaca pada zaman itu cukuplah tinggi.
Hal ini terlihat dari jumlah pembaca yang hampir setiap hari memenuhi kios buku tersebut. Tak terkecuali saya sendiri, yang dua kali atau sekali sehari meski mendatangi kios buku tersebut. Intensitas membaca saya ketika itu lumayan tinggi. Satu novel dapat diselesaikan hanya dua sampai tiga hari. Novel-novel yang biasanya saya baca sampai tuntas seperti Wiro Sableng, Si Buta dari Gowa Hantu, Ko Phin ho, atau cerita komik yang waktu itu sangat digemari oleh para remaja seusia saya .
Namun seiring perjalanan waktu, pada saat ini, menemukan sebuah kios bacaan yang menyewakan buku-buku kepada pembaca di Aceh mungkin sudah tidak ditemukan lagi. Beberapa kios buku bacaan yang dulu pernah beroperasi kini sudah ditutup karena tidak ada lagi pengunjungnya. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh perkembangan teknologi pertelevisian yang berkembang cukup pesat pada pertenghan tahun 90 an. Pada saat itu televisi swasta hampir setiap hari menayangkan cerita-cerita, yang bebentuk drama keluarga, telenovela atau ceria silat.
Daya magis kekuatan televisi tanpa disadari telah menghipnotis masyarakat kita. Tayangan-tayangan yang sengaja dibuat untuk menarik minat masyarakat sangat sukses dilakukan oleh pihak pertelevisian di Indonesia. Keterlenaan tersebut membuat masyarakat, terlebih kaum anak–anak dan remaja seperti di-ninabobo-kan oleh pemutaran film Sin Chan, Doraemon dan film kartun anak-anak lainnya.
Budaya membaca yang dulunya sedikit membanggakan tersebut akhirnya mengalami kemerosotan seiring semakin majunya perkembangan teknologi pada saat ini. Penggunaan smartphone atau telepon pintar yang mewabah di masyarakat membuat buku menjadi termarginalkan. Harus diakui penggunaan smartphone membuat kita seperti dimanjakan oleh kebutuhan akan informasi. Misalnya seorang mahasiswa atau pelajar membutuhkan berbagai referensi untuk tugas kuliah dan sekolah, maka mereka cukup mencarinya lewat geogle. Dan secara otomatis pula, semua yana dinginkan akan dengan begitu cepat terpenuhi. Instensitas dan kemudahan yang diperoleh tersebut membuat animo masyarakat untuk menggunakan geogle sebagai mesin pengetahuan sangat tinggi.
Perpustakaan yang sejatinya merupakan sebuah instansi tempat tersedianya berbagaii jenis buku untuk mencari ilmu pengetahuan bagi masyarakat umum, baik mahasiswa atau pelajar semakin menjadi jauh dari tujuan yang diharapkan.
Berdasarkan kuantitas jumlah pengunjung di perpustakaan wilayah Aceh misalnya turun cukup drastis daripada sebelum smartphone melanda masyarakat kita.
Hal yang mengkuatirkan dari penggunaan smartphone ini adalah pada pengguna berusia remaja. Pengguna smartphone pada usia ini lebih cendrung pada pemanfaatan dari sisi bermain games. Jika eksistensi waktu yang dimanfaatkan cukup tinggi tentu akan membuat penggunanya abai pada minat membaca. Apalagi tiada peran kontrol dari orang tua di rumah dalam bidang literasi, membaca tentu semakin memperburuk kondisi tingkat membaca buku di negeri ini.
Buku yang Kesepian
Sudah begitu banyak toko buku yang pernah ada di Aceh gulung tikar atau tidak beroperasi lagi. Hal ini tidak lepas dari begitu rendahnya minat masyarakat pada buku, terlebih pada buku sastra, seperti novel dan sejenisnya.
Jika pun ada toko buku yang masih beroperasi misalnya, pemilik toko buku lebih banyak mengandalkan pada penjualan pada buku teks pelajaran pada jenjang SD dan jenjang sekolah menengah atau juga pada penjualan alat tulis kebutuhan pelajar. Hal ini merupakan solusi cerdik yang dilakukan oleh pedagang buku agar tidak bangrut atau merugi.
Padahal kita tahu bahwa membaca buku adalah pintu gerbang untuk penambahan intelektual. Bagi pembaca buku tentu akan mendapatkan pengetahuan yang membuka cakrawala berpikir. Bagi ana-anak hal yang teramat positif adalah penambahan perbendaharaan kosa kata yang tentu akan meningkatkan kecakapan berbicara mereka.
Menggalakkan Literasi
Pemerintah, melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah mencanangkan program literasi. Literasi itu sendiri merupakan seperangkat kemampuam membaca,menulis, berbicara, berhitung,dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu. Pada aspek membaca pemerintah sangat mendorong dan memberi nilai positif bagi komunitas taman bacaan atau rumah baca yng mulai marak akhir-akhir ini, termasuk di Aceh. Pegiat literasi jika disimak di Aceh juga mulai merambah ke kampung-kampung. Hal ini dapat kita lihat dengan adanya pustaka desa atau pustaka kampung di Aceh. Meski terkadang operasionalnya kurang maksimal di beberapa tempat. Namun dengan demikian kita memberi apresiasi positif terhadap gerakan membaca yang mereka lakukan dalam upaya mencerdaskan anak bangsa lewat buku.
Mengutip sebuah ungkapan lama dari Milan Kundera, yang berbunyi; jika kau ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan bukunya,maka pastilah bangsa itu akan musnah. Mungkin itu pulah kiranya jika pegiat literasi di Aceh terus mencoba menggeliat dan berbenah diri.
Mengambil contoh, misalnya apa yang dilakukan oleh salah satu penggiat literasi Aceh lewat Taman Bacaan Ruman Aceh yang memberikan layanan membaca kepada masyakat umum setiap hari minggu pagi di lapangan Blangpadang layak diapresiasi oleh masyarakat tentunya. Apresisi tersebut dapat dilakukan dengan mengajak-anak kita untuk berpartisipasi langsung sebagai pembaca, sehingga akan muncul daya tarik bagi masyarakat lain, sebagai donator penyumbang buku juga dapat berperan sebagai upaya meningkatkan ragam buku yang dibaca oleh penikmat buku.
Kita tentu juga berharap kepada pemerintah untuk dapat memberikan solusi terbaik agar minat baca masyarakat kita lebih baik. Misalnya memfokoskan penyaluran buku-buku pada daerah terpencil atau pada daerah yang jauh dari perkotaan. Dengan demikian kita berharap agar masyarakat jaya lewat buku. Dan juga agar buku-buku di negeri ini tidak lagi kesepian di atas rak-rak buku. Juga semoga buku tidak lagi lapuk karena tidak pernah terjamah. Atau yang lebih tragis, agar buku tidak hancur di makan kecoa.
Tentang Penulis
Farizal Sikumbang adalah perajin Sastra. Bukunya yang sudah terbit, “Kupu-Kupu Orang Mati” (Yogyakarta, 2017), “Perempuan dalam Prahara” (Yogyakarta, 2019), “Mata Kuning Muda”( Yogyakarta 2022), “Menunggu Hujan Reda”, (Yogyakarta 2022). Tahun 2020 Mengikuti Resedensi Sastrawan Berkarya le Kalimantan Timur yang dipalilitasi oleh Badan Bahasa Jakarta. Kini tercatat sebagai guru SMA 2 Seulimeum dan SMAS Granada Provinsi Aceh.